Jangan Biarkan Mereka Jalan
Sendiri
Ibarat tentara masuk ke medan perang tanpa didukung persenjataan dan
logistik yang memadai; itulah gambaran kondisi IPNU-IPPNU saat ini. Regulasi
negara telah membelenggu mereka sedemikian rupa, perangkat dan infrastruktur NU
tidak banyak mendukung mereka, sementara target yang dibebankan kepada mereka
tetap tinggi.
Berbeda dengan badan otonom NU yang
lain, Ikatan Pelajar NU (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU) seringkali
mengalami dilematis. Dituntut untuk menggarap kaum pelajar dengan sempurna,
namun tidak didukung dengan infrastuktur dan bimbingan yang cukup. Berbeda
dengan masa-masa awal kedua wadah itu didirikan yang seluruh elemen NU
mendukung penuh; kini para pelajar NU serasa dibiarkan berjalan sendiri.
“Jangankan di sekolah-sekolah
negeri, di sekolah di bawah naungan LP Ma’arif saja, tidak semua membuka pintu
untuk kami,” kata Imam Fadli, S.Pd, Ketua PW IPNU Jawa Timur. Tidak hanya
sekolah, pondok-pondok pesantren yang notabene juga milik para kiai NU, tidak
banyak yang menerima kehadiran mereka. Jadilah status mereka mengambang: atas
nama pelajar, namun di tempat belajar sendiri mereka tidak diterima; jangankan
oleh orang lain, keluarga sendiri juga serasa tidak mengakui.
Bila dirunut lebih lanjut,
melemahnya organisasi pelajar NU adalah karena munculnya undang-undang di penghujung
kekuasaan Orde Baru pada 1998. Undang-undang itu tidak mengakui adanya
organisasi pelajar di sekolah selain OSIS dan Pramuka. Dampak dari
undang-undang itu cukup fatal: bukan hanya IPNU dan IPPNU diberangus dari
sekolah, kepanjangan IPNU dan IPPNU pun harus berubah. Yang semula “pelajar”
berganti menjadi “putra” dan “putri”. Komisariat-komisariat yang semula banyak
terdapat di sekolah negeri menjadi hilang dengan sendirinya.
Pada 2003 sebenarnya kedua wadah
pelajar NU itu dapat sedikit bernapas lega dan kepanjangan IPNU dan IPPNU dapat
kembali seperti semula yang berarti pelajar. Namun nasi telah menjadi bubur.
Untuk dapat kembali ke sekolah bukanlah hal yang mudah. Dan sampai kini sejarah
emas mereka belum dapat dibangun kembali seperti semula.
Kasus
Anak Hilang
Kisah lebih memilukan terdengar dari
kampus-kampus perguruan tinggi ternama. Di kampus-kampus negeri non agama,
seringkali terdengar banyak anak NU yang ‘hilang’ setelah masuk ke sana. Mereka
yang berlatar belakang pendidikan sekolah NU, pesantren NU atau putra-putri
kiai pengasuh pesantren NU yang masih belia itu, secara perlahan banyak yang
berubah pandangan. Tidak hanya dalam wawasan, tapi sudah masuk ke dalam
persoalan akidah. Bagi mereka yang rajin biasanya akan menjadi Islam militan dan
cenderung radikal, sedangkan mereka yang longgar menjadi liberal; yang keduanya
sebenarnya bukan garis perjuangan NU.
Mereka menjadi mudah ganti keyakinan
dan pandangan karena terputus dengan NU. Tak ada lagi yang membina mereka. IPNU
dan IPPNU tidak menjangkau, sementara PMII yang diharapkan menangani mereka
juga tidak sepenuhnya bisa diharapkan: selain karena jalur organisasi dengan NU
tidak ada lagi, akidah para pengurus PMII sendiri juga sudah banyak yang
diragukan.
Pada saat yang sama, organisasi lain
cukup serius menggarap mereka. Melalui tarbiyah-tarbiyah dan kajian keislaman
yang mereka lakukan secara intens dan rutin itulah, sedikit demi sedikit para
mahasiswa yang berlatar belakang NU tercerabut akidah. Dan kini, di
kampus-kampus perguruan tinggi ternama telah nyaris tidak terdengar nama NU
lagi. Padahal dari sanalah para pemimpin negeri ini banyak dilahirkan.
Menatap
Masa Depan
Pada 30 Nopember hingga 5 Desember
ini kedua organisasi pelajar NU itu mengadakan kongres bersama di Palembang:
IPNU berkongres ke-17 dan IPPNU ke-16. Dalam perhelatan terbesar tiga tahunan
itulah jati diri kedua organisasi itu perlu ditata kembali, sebab dari luar
seringkali terdengar tudingan negatif pada mereka. Di tingkat atas, para
pengurus seringkali dituduh hanya ingin menjadikan organisasi sebagai batu
loncatan berkarier politik, suka jalan sendiri tanpa mau mendekat kepada NU
sebagai induknya, banyak kecolongan anak-anak yang masuk perguruan tinggi
negeri, dlsb. Di tingkat bawah mereka dituduh hanya menjadikan organisasi
sebagai sarana pacaran, organisasi yang tidak ada manfaat, dlsb.
Sementara persoalan internal mereka
sendiri telah sekian lama tak terpecahkan. Larangan masuk sekolah secara resmi
menjadi organisasi intra, kurangnya
bimbingan dari induk organisasi, pola hubungan dengan Banom dan lembaga
yang kurang kongkret, kurang jelasnya jenjang pengkaderan, dlsb, tidak pernah
mendapatkan pemecahan.
Nah, rupanya IPNU-IPPNU memang
terlahir lebih banyak sebagai obyek daripada subyek. Tidak banyak orang tahu
persoalan yang mereka hadapi saat ini, tapi tuntutan kepada mereka tetap
tinggi. Lewat kongres itulah semua itu dipecahkan sekaligus dicarikan jalan
keluarnya.
Jangan
Biarkan Mereka Jalan Sendiri
Memperkenalkan NU kepada para remaja
memang tidaklah mudah. Apalagi di zaman sekarang, ketika orang semakin banyak
berpikiran pragmatis dan mengutamakan nilai materi, ‘menjual’ IPNU dan IPPNU
menjadi semakin sulit. Mungkin hanya KH Abdul Muchith Muzadi (Mbah Muchith)
tokoh NU yang tetap tekun memperhatikan IPNU-IPPNU. Saking besarnya perhatian
Mbah Muchith kepada anak ragil NU itu, hingga ia mengaku lebih senang diundang
kedua organisasi itu daripada diundang yang lain. “Kalau Ansor, Fatayat, NU,
Muslimat, sudah banyak yang memperhatikan; IPNU-IPPNU ini tidak ada yang
memperhatikan,” begitu salah seorang Mustasyar PBNU itu memberikan alasan.
Yah, semua memang harus berubah.
Semua pihak yang menginginkan IPNU dan IPPNU berubah sesuai dengan harapan
mereka, hendaknya tidak lagi hanya menuntut; tapi juga memberikan bimbingan dan
(lebih-lebih) keteladanan. Jangan biarkan mereka berjalan sendiri lagi. Mohammad
Subhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar