Tadarus
Pelaksanaan
tadarus Al-Quran pada malam bulan Ramadlan pada hakikatnya adalah mengamalkan
ajaran Nabi SAW untuk menghidupkan malam
bulan Ramadlan. Sebagaimana tersebut dalam riwayat Imama Al-Bukhari no 1870
pada pembahasan shalat tarawih di atas.
Yang
dimaksud dengan memeriahkan malam bulan Ramadlan, menurut Al-Shan’ani:
“Yang dimaksud dengan qiyam Ramadlan (dalam Hadits itu adalah) mengisi dan
memeriahkan malam bulan Ramadlan dengan melakukan shalat atau membaca Al-Quran.” (Subul Al-Salam, juz II, hal 173)
Keterangan
dari Hadits serta penafsiran para ulama tersebut adalah bersifat sangat umum.
Segala bentuk usaha untuk menghidupkan malam bulan Ramadlan adalah sangat
dianjurkan, tidak ada perbedaan apakah dilakukan sendiri-sendiri ataupun
bersama-sama. Misalnya tadarus Al-Quran. Syaikh Nawawi Al-Bantani mengatakan:
“Termasuk membaca Al-Qur’an (pada
malam Ramadlan) adalah mudarasah (tadarus), yang sering disebut pula dengan
idarah. Yakni seseorang membaca pada orang lain. Kemudian orang lain itu
membaca pada dirinya. (yang seperti ini tetap sunnah) sekalipun apa yang dibaca
(orang tersebut) tidak seperti yang dibaca orang pertama.” (Nihayah Al-Zain, 194-195)
Kesimpulan
Syaikh Nawawi ini didasarkan pada dua dalil. Pertama, Hadits shahih yang
menganjurkan untuk melakukan perkumpulan yang di dalamnya dilaksanakan tadarus.
“Dari Abi Hurairah RA ia berkata, “Rasulullah SAW
bersabda, “Apabila berkumpul suatu kaum di dalam sebuah masjid/ mushalla
sembari membaca Al-Quran dan bertadarus di antara mereka maka Allah SWT akan
menurunkan ketentraman hati dan memberikan rahmat kepada mereka serta memberi
perlindungan kepada mereka, karena Allah bangga kepada mereka. (HR.
Muslim, juz 3 hal. 208 [2620]).
Kedua, walaupun dalam bentuk yang sedikit berbeda, Rasulullah
SAW melakukan tadarus bersama Malaikat Jibril. Dalam sebuah Hadits disebutkan:
“Dari Ibn Abbas RA bahwa Rasululah SAW
adalah orang yang paling pemurah. Sedangkan saat yang paling pemurah bagi
beliau pada bulan Ramadlan adalah pada saat Malaikat Jibril mengunjungi beliau.
Malaikat Jibril selalu mengunjungi Nabi SAW setiap malam bulan Ramadlan,
lalu melakukan mudarasah (tadarus) Al-Quran bersama Nabi. Rasul SAW
ketika dikunjungi Malaikat Jibril, lebih dermawan dari angin yang berhembus.”
(Musnad Ahmad [3358])
Dapat
disimpulkan bahwa tadarus yang dilakukan di masjid-masjid atau di musholla pada
malam bulan Ramadlan tidak bertentangan dengan agama dan merupakan perbuatan
baik, karena sesuai dengan tuntunan dan ajaran Nabi SAW. Jika dirasa perlu
menggunakan pengeras suara, agar menambah syi’ar agama Islam, hendaklah
diupayakan sesuai dengan keperluan dan jangan sampai mengganggu pada
lingkungannya, supaya esensi syi’ar tersebut bisa diraih.
Yang perlu tetap ditekankan oleh orang yang
membaca Al-Quran adalah menjaga makharijul huruf dan tajwidnya harus sesuai
dengan aturan yang sudah baku. Tidak terburu-buru karena ingin mengejar jumlah
hataman dalam satu bulan, sehingga melalaikan aspek bacaan.
Juga
diperlukan memahami dan menghayati arti daripada setiap ayat yang dibaca agar
memperoleh tambahan ilmu, memperkokoh keimanan dan menambah semangat dalam
beribadah. Anjuran untuk memahami makna Al-Quran pada setiap ayat itu memang
diperintahkan sebagaimana dalam firman Allah SWT berikut ini:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah
supaya mereka memahami ayat-ayat dan agar mendapatkan pelajaran bagi
orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS. Shaad, 29)
Dengan
jelas ayat tersebut menganjurkan agar setiap pembaca Al-Quran memahami dan
menghayati makna yang tekandung di dalamnya. Pengertian ini bukan berarti bahwa
orang yang membaca Al-Quran yang tidak memahami maknanya itu tidak dinilai
sebagai ibadah. Siapapun yang membaca Al-Quran tetap saja bernilai ibadah dan setiap
ibadah itu berpahala. Adapun dasarnya ialah hadits Nabi SAW:
“Dari Ibnu Mas’ud RA, ia berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa membaca satu huruf dari Al-Quran, maka dia
akan mendapatkan satu kebaikan dan kebaikan tersebut berlipat sepuluh kali,
sebagai contoh ketika aku membaca “alif laam miim” itu tidak dihitung satu
huruf tetapi alif, laam, miim masing-masing di hitung satu huruf” (HR.
Tirmidzi, juz 1 hal. 496)
Dalam
Hadits tersebut diterangkan bahwa membaca satu huruf Al-Quran itu sudah
berpahala, meskipun yang dibaca satu
huruf itu tidak ada makna yang bisa
diserap artinya. Itulah sebabnya ulama menyatakan bahwa membaca Al-Quran
walaupun tidak paham pada artinya tetap dinilai sebagai ibadah yang berpahala
(Al-Burhan fi Ulum Al-Quran, hal. 133). Tetapi
bagi setiap pembaca Al-Quran itu wajib berusaha memahami dan menghayati
makna yang terkandung di dalam Al-Quran agar Al-Quran benar-benar menjadi
pelita hati dan penerang jiwa dalam merengkuh kehidupan yang bahagia baik di
dunia dan di akhirat.
*) Dimuat di Majalah NU Aula edisi Juli 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar