Kamis, 01 Maret 2012
AULA Maret 2012
MENGGALI DANA ORGANISASI
Dalam perang modern, jumlah pasukan bukanlah unsur utama untuk dapat memenangkan pertempuran. Paling penting adalah strategi, penguasaan medan dan senjata yang dipergunakan. Namun akan lebih baik jika jumlah pasukan besar didukung senjata modern pula. Dana adalah ‘senjata utama’ organisasi saat ini. Sayang, problem klasik itu belum terpecahkan hingga kini.
Uang memang bukan segalanya, namun dakwah akan lebih maksimal jika didukung dengan dana yang cukup. Sebuah organisasi besar tanpa dana yang jelas mungkin akan tetap berjalan, selama para anggota masih memiliki semangat yang tinggi dan siap berkorban. Namun, jelas, organisasi besar akan semakin hebat manakala didukung dengan dana yang besar pula. Apalagi di zaman yang mulai edan ini, ketika uang semakin banyak memainkan peran dan orang lebih suka jasanya dihargai dalam bentuk uang daripada janji pahala dan surga di akhirat kelak.
Dana organisasi, itulah masalahnya. Telah sekian puluh tahun persoalan klasik itu tidak pernah digarap secara serius dan berkesinambungan. Biasanya anggota dan pengurus lain hanya njagakno kemampuan ketua untuk mencari. Padahal dana operasional bulanan saja jumlahnya tidaklah sedikit. Untuk PBNU, konon membutuhkan dana Rp 275 juta perbulan, sedangkan PWNU Jawa Timur sekitar Rp 30 juta. Kasihan ketua. Kebutuhan dana biasanya baru terpikirkan ketika akan mengadakan kegiatan. Ketika berhasil dan hajat selesai, selesai pula urusan dana. Ketika akan mempunyai gawe lagi, dana baru dipikirkan lagi, begitu seterusnya.
Padahal pendiri NU telah mengajarkan tentang mengatasi masalah dana ini. Tahun 1929 misalnya, HBNO (istilah lama untuk PBNU) mendirikan Cooperatie Kaoem Moeslimin di Pacarkeling Surabaya, yang 15 persen keuntungannya untuk Jam’iyah Nahdlatoel Oelama. Dalam ART NU bab XXIV pasal 93 dan 95 juga telah diatur tentang iuran anggota. Iuran yang merupakan ‘PAD” murni organisasi itu tidak pernah disentuh. Padahal sumber yang satu ini benar-benar murni: tanpa proposal, tanpa makelar, tanpa potongan, tanpa takut KPK, halal dan bebas pajak. Lebih dari itu sebagai bukti kesetiaan anggota kepada organisasi. Iuran anggota sebenarnya juga selalu tertulis dalam ART NU setiap hasil muktamar, namun belum ditindaklanjuti secara nyata.
Dalam kalkulasi matematika, kalau jumlah anggota NU sebanyak 70 juta orang, masing-masing menyetor iuran Rp 1.000 rutin setiap bulan kepada organisasi, maka dana yang terkumpul sebanyak Rp 70 miliar setiap bulan. Dengan dana sebesar itu NU akan dapat berbuat banyak untuk dirinya, umatnya dan membantu kepada umat lain yang sedang tertimpa musibah. Katakanlah anggota yang sadar mau membayar hanya 10 persen saja, dana yang terkumpul masih Rp 7 miliar.
MENJAGA HARGA DIRI
Organisasi yang menggantungkan dana dari luar akan sangat berbahaya bagi kemandirian organisasi itu sendiri, karena dana dari luar seringkali bermuatan kepentingan (mengikat). “Kalau mengikat, akan merugikan organisasi. Mungkin dapat uang, tapi amar makruf nahi mungkarnya berhenti, karena sudah ‘disewa’ oleh orang lain, hingga pendapat NU tidak bisa independen, dan pasti mengikuti orang yang ngasih duit itu,” kata Rais Syuriah PBNU, Dr KH A Hasyim Muzadi.
Untuk itulah penggalian dana organisasi dari internal perlu disegerakan. “Sudah waktunya orang NU mulai memikirkan bagaimana dia sebagai warga NU membiayai perjuangan NU. Semua orang harus memulai, betapapun sulitnya dan membutuhkan waktu panjang, kita harus memulai itu,” pesan KH Abdul Muchith Muzadi.
Alangkah nikmatnya berorganisasi ketika organisasi itu memiliki dana sendiri. Dengan begitu setiap program dapat diukur dengan kemampuan sendiri, tanpa perlu merepotkan pihak lain. PCNU Kota Pekalongan adalah salah satu contoh nyata. PCNU yang berada di Pantura itu memiliki sumber dana rutin dari unit usaha yang dirintisnya sejak tahun 2004 silam. Kini setiap bulan PCNU ini mendapatkan pemasukan dana antara Rp 35 juta hingga Rp 45 juta. Sementara bendahara telah memiliki simpanan dana abadi sebesar Rp 350 juta. Betapa gagahnya Cabang yang satu ini.
Selengkapnya baca di Majalah AULA Maret 2012. Baca juga ulasan lain mengenai:
Assalamu’alaikum (hal 4)
Kotak SMS (hal 6)
Surat Pembaca (hal 7)
Refleksi (hal 8)
UMMURRISALAH :
- Menggali Dana Organisasi (hal 9)
- Dana Organisasi Dimulai dari Mana? (hal 11)
- Strategi Apik dari Kota Batik (hal 14)
- Kreatifitas Baru Orang Surabaya (hal 16)
Liputan Khusus : Saatnya Berkhidmat untuk Umat (hal 19)
Ihwal Jam’iyah : Evaluasi dan Koordinasi Program (hal 22)
Tokoh : Dr H Ulul Albab, MS (hal 25)
Bahsul Masail : Kontoversi Pusaka Islam, Mana yang Benar? (hal 28)
Kajian Aswaja : Mengapa Kita Perlu Yasinan? (hal 30)
Wirausaha : Bisnis Kakao yang Memukau (hal 32)
Nisa’: Hj Su’adah (hal 36)
Pendidikan : STT Qomaruddin Gresik (hal 40)
Uswah : Haji Andi Mappanyukki (hal 42)
MUHIBAH :
Tahlilan di Goa Ashabul Kahfi (hal 44)
Beberapa kiai baru kembali dari Yordania menghadiri undangan Raja Abdullah II. Mereka berziarah ke tempat-tempat keramat negeri itu. Subhanallah, betapa nikmatnya. Selebihnya, para kiai juga menjenguk para TKW yang nasibnya malang. Mereka lari dari rumah majikan karena tidak kuat lagi diperbudak. Sementara hampir dapat dipastikan mereka adalah warga NU. Jadinya, hati para kiai terbelah : senang sekaligus susah.
Kancah Dakwah : Pengabdian Berbekal Tekad (hal 48)
NUANSA:
Geliat Menggerakkan Ekonomi (hal 50)
Potensi ekonomi yang dimiliki warga NU demikian mengangumkan. Amat disayangkan bila peluang itu tidak dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat yang kebanyakan adalah nahdliyin.
Rehat : Akhmad Muzakki & Imam Fadli (hal 52)
Wawasan : Berkaca dari Keteladanan Ahlul Bait (hal 53)
Resensi : Menjawab Gugatan Aliran Anti Tahlil (hal 57)
AKTUALITA:
Hati-Hati Menyikapi FPI (hal 58)
Habib Rizieq ditolak di Kalimantan Tengah, lalu berlanjut marak isu tuntutan pembubaran FPI. Banyak orang yang tak tahu-menahu terpengaruh isu tersebut. Mereka pun turut meneriakkan hal yang sama. Sementara Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, KH Miftachul Akhyar, malah berpikir sebaliknya. “FPI masih sangat dibutuhkan di negeri ini,” tuturnya.
Sembilan: Negara Pengguna Facebook Terbesar di Dunia (hal 60)
Sekilas Aktivitas (hal 62)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Sebenarnya aku tidak pantas untuk mengkritik dan memberikan tanggapan atas pendapat ulama besar. namun demi menunjukkan adanya pendapat lain aku beranikan menulis tanggapan atas jawaban Kyai Haji Abdurrahman Navis dalam kolom bahsul masail majalah Aula terbitan Maret 2012 yang membahas tentang Kontoversi Pusaka Islam, Mana yang Benar?. Memang, membahas masalah pusaka Nabi Muhammad saw pasti akan condong mengerucut ke masalah madzhab Sunni dan Syiah. tapi tak mengapa, Imam al-Thabari dituduh tasayyu' oleh para ekstrimis penganut Hambali sampai-sampai dikuburkan malam hari di halaman rumahnya, Imam al-Nasa'i dipukuli hingga menyebabkan beliau wafat oleh pendukung Muawiyah gara-gara meriwayatkan satu hadis sahih tentang keutamaan Muawiyah, dan banyak ulama lainnya yang mengalami tuduhan tak berdasar hanya karena menunjukkan perbedaan, riwayat tentang sesuatu. Di dalam koleksi literatur umat Islam hadis tentang pusaka Nabi Muhammad saw memiliki setidaknya dua redaksi yang terkenal, yaitu "al-Qur'an dan Sunnah" serta "al-Qur'an dan Itraty". Dari segi kemasyhuran hadist mungkin redaksi "al-Qur'an dan Sunnah" yang paling dikenal oleh seluruh umat Islam dibandingkan redaksi "al-Qur'an dan Itraty". Namun dari segi kedudukan nilai hadis justru hadits dengan redaksi "al-Qur'an dan itraty" yang lebih sahih daripada redaksi "al-Qur'an dan sunnah". Gampangnya, dalam standar kitab-kitab hadist (kutub tis'ah), riwayat dengan redaksi "al-Qur'an dan itraty" diriwayatkan dalam Sahih Muslim, Sunan Tirmidzi dan Musnad Ahmad, sedangkan redaksi "al-Qur'an dan sunnah" hanya dalam Muwaththa Malik, itupun tanpa disertai sanad, padahal sanad merupakan bagian penting dari keilmiahan sebuah hadist. lebih menelisik dalam semua riwayat di kitab-kitab hadis dan tarikh, hadist dengan redaksi "al-Qur'an dan Itraty" diriwayatkan oleh 20 lebih sahabat, sedangkan redaksi "al-Qur'an dan sunnah" yang memiliki sanad hanya diriwayatkan 4 sahabat; Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Amr bin Awf, Abu Said Al Khudri dan semuanya sanadnya terdapat rawi yang berstandar dhaif. bahkan Hasan Al-Saqqaf seorang ulama Ahlusunnah dari Yordan zaman ini dalam Syarh Aqidah Thahawiyah, beliau mengatakan bahwa hadis dengan redaksi "Kitabullah Wa Sunnati" yang sering dibicarakan di kalangan mereka dan yang dibacakan oleh khatib di atas mimbar-mimbar adalah hadis palsu dan dusta. Bani Umayyah dan pengikut mereka memalsukannya supaya umat berpaling dari hadis Sahih "Kitabullah Wa ‘Itrati". Oleh itu berwaspadalah terhadap perkara ini dengan bersungguh-sungguh.
BalasHapus