Kiai Muslih, yang memimpin pesantren di Kebumen, senantiasa menegaskan kepada santri-santrinya tentang pentingnya menelaah kitab-kitab tasawuf dan kebatinan Jawa. Salah seorang santri, yang terkenal lantaran semangatnya yang membara, mem-buat sebuah catatan atas semua yang diajarkan Kiai Muslih dan menghabiskan masa istirahatnya untuk merenungkan ajaran-ajaran para ulama sufi dan para wali.
Setelah dua puluh tahun mondok, santri tersebut diminta sang kiai untuk pulang kampung dan mengamalkan seluruh pelajaran yang didapatnya.
“Terima kasih Kiai, atas segala kebaikan dan ajaran yang selama ini Kiai berikan kepada saya. Akan tetapi, saya masih belum merasa puas menimba ilmu di pesantren ini. Saya ingin lebih lama lagi nyantri untuk menuntaskan kitab-kitab yang masih belum saya kaji. Sudilah kiranya Kiai mempertimbangkan permohonan saya ini,” pinta santri dengan takzim.
Beberapa saat suasana berubah lengang. Lalu Kiai Muslih menjawab, “Aku anggap sudah saatnya kau mempelajari kitab-kitab tasawuf yang lebih dalam lagi dari yang diajarkan di pondok ini, yakni Kitab Kehidupan. Ya, kehidupan yang sesungguhnya di masyarakat. Jini, ada satu hal lagi yang harus kau ketahui; ada sebutan Kitab Garing, yaitu kitab-kitab yang berupa kertas dan tulisan beserta isi dan maknanya, dan itulah yang diajarkan di sini. Yang kedua ada-lah Kitab Teles, yaitu pengejawan-tahan dari Kitab Garing ke dalam kehidupan nyata. Sejak dulu, para sufi dan para wali menjalankan ini sesudah sekian puluh tahun lamanya mereka belajar beragam ilmu. Sujud raga dan sujud jiwa adalah lentera dalam meniti jalan hidup ini. Sekarang pulanglah dan amalkan ilmumu sebaik mungkin. Semoga Allah senantiasa melindungi setiap langkahmu.” (Majalah AULA No. 05/XXXII April 2010)
* Dinukil dari karya Fahruddin Nasrullah, Syekh Branjang Abang, [Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007], h. 49)
Tampilkan postingan dengan label Ibrah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ibrah. Tampilkan semua postingan
Selasa, 27 April 2010
Minggu, 25 April 2010
Mbah Ma’shum dan Santri Jin
Ada kisah menarik yang terjadi saat KH Ma’shum Ahmad, ayahanda KH Ali Ma’shum, saat bersilaturrahim ke seorang kiai di Lombok. Menjelang waktu maghrib kiai asal Lasem itu sampai di sana. Saat dijamu oleh tuan rumah, Mbah Ma’shum mengetahui betapa ramainya pesantren sang kiai. Hiruk-pikuk para santri yang melakukan aktifitasnya sangat tampak. Segenap santri terlihat mengaji dan berdzikir. “Alhamdulillah, pesantren Tuan sudah maju. Santrinya banyak. Semoga mereka bisa jadi pemimpin kaumnya,” kata Mbah Ma’shum. Setelah mengamini doa temannya, tuan rumah hanya tersenyum penuh arti.
Akan tetapi, keesokan harinya, tiba-tiba saja pesantren itu mendadak sepi, tak seorang pun santri yang terlihat berlalu lalang, dan di tempat itu hanya ada sang kiai saja, yang bersama keluarga rumahnya berada di tengah-tengah pelataran pesantren. Dia bertanya kepada sang tuan rumah, kemana gerangan para santrinya. Lalu, kiai itu pun menjelaskan bahwa santri-santrinya itu adalah segenap jin.
Sang kiai itu memang sangat alim, tangguh, dan memiliki banyak kekeramatan, sehingga umatnya tidak saja manusia. Kekeramatannya yang lain, adalah air dari buah-buah kelapa yang tumbuh di lingkungan pesantrennya. Air kelapa itu sangat mujarab untuk menyembuhkan banyak penyakit. Mbah Ma’shum ketika berpamitan pun diberi bawaan atau oleh-oleh berupa beberapa biji buah kelapa itu. Kiai dari Lombok itu bernama Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid, pendiri organisasi Nahdhatul-Wathan pada 1356 H (1936 M).
Pertemanan Mbah Ma’shum dengannya berawal ketika keduanya masih sama-sama belajar di Makkah. Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid belajar di Makkah, dalam didikan Syekh Hasan bin Muhammad al-Massyath al-Makki, salah seorang ulama terkenal di Hijaz pada eranya. Dia sangat akrab dengan Mbah Ma’shum, dan keduanya sama-sama saling menghormati meskipun dalam hal organisasi keduanya berbeda jalan.
* Dinukil dari Mbah Ma’shum Lasem: the Authorized biography of KH Ma’shum Ahmad karya M. Luthfi Thomafi Pustaka Pesantren/2007. Dimuat di Majalah AULA No. 03/XXXII edisi Maret 2010 dalam rubrik ‘IBRAH’
Akan tetapi, keesokan harinya, tiba-tiba saja pesantren itu mendadak sepi, tak seorang pun santri yang terlihat berlalu lalang, dan di tempat itu hanya ada sang kiai saja, yang bersama keluarga rumahnya berada di tengah-tengah pelataran pesantren. Dia bertanya kepada sang tuan rumah, kemana gerangan para santrinya. Lalu, kiai itu pun menjelaskan bahwa santri-santrinya itu adalah segenap jin.
Sang kiai itu memang sangat alim, tangguh, dan memiliki banyak kekeramatan, sehingga umatnya tidak saja manusia. Kekeramatannya yang lain, adalah air dari buah-buah kelapa yang tumbuh di lingkungan pesantrennya. Air kelapa itu sangat mujarab untuk menyembuhkan banyak penyakit. Mbah Ma’shum ketika berpamitan pun diberi bawaan atau oleh-oleh berupa beberapa biji buah kelapa itu. Kiai dari Lombok itu bernama Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid, pendiri organisasi Nahdhatul-Wathan pada 1356 H (1936 M).
Pertemanan Mbah Ma’shum dengannya berawal ketika keduanya masih sama-sama belajar di Makkah. Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid belajar di Makkah, dalam didikan Syekh Hasan bin Muhammad al-Massyath al-Makki, salah seorang ulama terkenal di Hijaz pada eranya. Dia sangat akrab dengan Mbah Ma’shum, dan keduanya sama-sama saling menghormati meskipun dalam hal organisasi keduanya berbeda jalan.
* Dinukil dari Mbah Ma’shum Lasem: the Authorized biography of KH Ma’shum Ahmad karya M. Luthfi Thomafi Pustaka Pesantren/2007. Dimuat di Majalah AULA No. 03/XXXII edisi Maret 2010 dalam rubrik ‘IBRAH’
Langganan:
Postingan (Atom)