Jumat, 30 November 2012

AULA Desember 2012



Jangan Biarkan Mereka Jalan Sendiri

Ibarat tentara masuk ke medan perang tanpa didukung persenjataan dan logistik yang memadai; itulah gambaran kondisi IPNU-IPPNU saat ini. Regulasi negara telah membelenggu mereka sedemikian rupa, perangkat dan infrastruktur NU tidak banyak mendukung mereka, sementara target yang dibebankan kepada mereka tetap tinggi.

Berbeda dengan badan otonom NU yang lain, Ikatan Pelajar NU (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU) seringkali mengalami dilematis. Dituntut untuk menggarap kaum pelajar dengan sempurna, namun tidak didukung dengan infrastuktur dan bimbingan yang cukup. Berbeda dengan masa-masa awal kedua wadah itu didirikan yang seluruh elemen NU mendukung penuh; kini para pelajar NU serasa dibiarkan berjalan sendiri.

“Jangankan di sekolah-sekolah negeri, di sekolah di bawah naungan LP Ma’arif saja, tidak semua membuka pintu untuk kami,” kata Imam Fadli, S.Pd, Ketua PW IPNU Jawa Timur. Tidak hanya sekolah, pondok-pondok pesantren yang notabene juga milik para kiai NU, tidak banyak yang menerima kehadiran mereka. Jadilah status mereka mengambang: atas nama pelajar, namun di tempat belajar sendiri mereka tidak diterima; jangankan oleh orang lain, keluarga sendiri juga serasa tidak mengakui.

Bila dirunut lebih lanjut, melemahnya organisasi pelajar NU adalah karena munculnya undang-undang di penghujung kekuasaan Orde Baru pada 1998. Undang-undang itu tidak mengakui adanya organisasi pelajar di sekolah selain OSIS dan Pramuka. Dampak dari undang-undang itu cukup fatal: bukan hanya IPNU dan IPPNU diberangus dari sekolah, kepanjangan IPNU dan IPPNU pun harus berubah. Yang semula “pelajar” berganti menjadi “putra” dan “putri”. Komisariat-komisariat yang semula banyak terdapat di sekolah negeri menjadi hilang dengan sendirinya.

Pada 2003 sebenarnya kedua wadah pelajar NU itu dapat sedikit bernapas lega dan kepanjangan IPNU dan IPPNU dapat kembali seperti semula yang berarti pelajar. Namun nasi telah menjadi bubur. Untuk dapat kembali ke sekolah bukanlah hal yang mudah. Dan sampai kini sejarah emas mereka belum dapat dibangun kembali seperti semula.

Kasus Anak Hilang
Kisah lebih memilukan terdengar dari kampus-kampus perguruan tinggi ternama. Di kampus-kampus negeri non agama, seringkali terdengar banyak anak NU yang ‘hilang’ setelah masuk ke sana. Mereka yang berlatar belakang pendidikan sekolah NU, pesantren NU atau putra-putri kiai pengasuh pesantren NU yang masih belia itu, secara perlahan banyak yang berubah pandangan. Tidak hanya dalam wawasan, tapi sudah masuk ke dalam persoalan akidah. Bagi mereka yang rajin biasanya akan menjadi Islam militan dan cenderung radikal, sedangkan mereka yang longgar menjadi liberal; yang keduanya sebenarnya bukan garis perjuangan NU.

Mereka menjadi mudah ganti keyakinan dan pandangan karena terputus dengan NU. Tak ada lagi yang membina mereka. IPNU dan IPPNU tidak menjangkau, sementara PMII yang diharapkan menangani mereka juga tidak sepenuhnya bisa diharapkan: selain karena jalur organisasi dengan NU tidak ada lagi, akidah para pengurus PMII sendiri juga sudah banyak yang diragukan.

Pada saat yang sama, organisasi lain cukup serius menggarap mereka. Melalui tarbiyah-tarbiyah dan kajian keislaman yang mereka lakukan secara intens dan rutin itulah, sedikit demi sedikit para mahasiswa yang berlatar belakang NU tercerabut akidah. Dan kini, di kampus-kampus perguruan tinggi ternama telah nyaris tidak terdengar nama NU lagi. Padahal dari sanalah para pemimpin negeri ini banyak dilahirkan.

Menatap Masa Depan
Pada 30 Nopember hingga 5 Desember ini kedua organisasi pelajar NU itu mengadakan kongres bersama di Palembang: IPNU berkongres ke-17 dan IPPNU ke-16. Dalam perhelatan terbesar tiga tahunan itulah jati diri kedua organisasi itu perlu ditata kembali, sebab dari luar seringkali terdengar tudingan negatif pada mereka. Di tingkat atas, para pengurus seringkali dituduh hanya ingin menjadikan organisasi sebagai batu loncatan berkarier politik, suka jalan sendiri tanpa mau mendekat kepada NU sebagai induknya, banyak kecolongan anak-anak yang masuk perguruan tinggi negeri, dlsb. Di tingkat bawah mereka dituduh hanya menjadikan organisasi sebagai sarana pacaran, organisasi yang tidak ada manfaat, dlsb.

Sementara persoalan internal mereka sendiri telah sekian lama tak terpecahkan. Larangan masuk sekolah secara resmi menjadi organisasi intra, kurangnya  bimbingan dari induk organisasi, pola hubungan dengan Banom dan lembaga yang kurang kongkret, kurang jelasnya jenjang pengkaderan, dlsb, tidak pernah mendapatkan pemecahan.

Nah, rupanya IPNU-IPPNU memang terlahir lebih banyak sebagai obyek daripada subyek. Tidak banyak orang tahu persoalan yang mereka hadapi saat ini, tapi tuntutan kepada mereka tetap tinggi. Lewat kongres itulah semua itu dipecahkan sekaligus dicarikan jalan keluarnya.

Jangan Biarkan Mereka Jalan Sendiri
Memperkenalkan NU kepada para remaja memang tidaklah mudah. Apalagi di zaman sekarang, ketika orang semakin banyak berpikiran pragmatis dan mengutamakan nilai materi, ‘menjual’ IPNU dan IPPNU menjadi semakin sulit. Mungkin hanya KH Abdul Muchith Muzadi (Mbah Muchith) tokoh NU yang tetap tekun memperhatikan IPNU-IPPNU. Saking besarnya perhatian Mbah Muchith kepada anak ragil NU itu, hingga ia mengaku lebih senang diundang kedua organisasi itu daripada diundang yang lain. “Kalau Ansor, Fatayat, NU, Muslimat, sudah banyak yang memperhatikan; IPNU-IPPNU ini tidak ada yang memperhatikan,” begitu salah seorang Mustasyar PBNU itu memberikan alasan.

Yah, semua memang harus berubah. Semua pihak yang menginginkan IPNU dan IPPNU berubah sesuai dengan harapan mereka, hendaknya tidak lagi hanya menuntut; tapi juga memberikan bimbingan dan (lebih-lebih) keteladanan. Jangan biarkan mereka berjalan sendiri lagi. Mohammad Subhan


Sabtu, 10 November 2012

AULA Haji & Umrah Travel Exhibition 2012


Hadiri dan Kunjungi AULA HAJI & UMRAH TRAVEL EXHIBITION 2012 di Jembatan Merah Plaza (JMP) Surabaya, 5-9 Desember 2012.

Selasa, 06 November 2012

AULA Nopember 2012


NU Dulu, Negara Kemudian

Bagai pohon disiram air, orang-orang eks komunis kembali bersemangat. Yah, kaum liberal yang semula lawan, kini telah menjadi kawan. Bahu-membahu mereka menyuarakan banyak tuntutan kepada NU dan pemerintah. Yakin mereka ditunggangi intelijen asing, NU bersikap hati-hati. Para kiai percaya, setelah NU digarap, selanjutnya TNI, lalu negara. Kalau negara sudah lemah, invasi akan menyusul.

Datang bagai topan yang menghempas, sebuah isu besar menggelinding cepat ke tengah masyarakat Indonesia, belum lama ini. Tanpa pendahuluan yang berarti, tiba-tiba saja muncul wacana pemerintah Indonesia dan NU (dengan Ansor dan Banser-nya) harus meminta maaf kepada orang-orang eks PKI dan underbouw-nya yang menjadi korban peristiwa Gerakan  30 September 1965. Disusul kemudian rencana rekonsiliasi nasional. Caranya dengan membuka kembali sejarah G 30 S (tanpa menyebut PKI di belakangnya), yang digambarkan Ansor, Banser dan tentara telah bertindak brutal kepada orang-orang PKI. Sedangkan mereka adalah ‘orang baik’ yang menjadi korban.

Kalau sejarah sudah dibuka dan direvisi, selanjutnya para pelaku harus bertanggung jawab dengan diseret ke pengadilan HAM, lalu pemerintah harus memberi ganti rugi sebesar Rp 900 juta – Rp 2,5 miliar kepada 20 juta orang PKI yang diklaim mereka. Kalau para pelaku sudah dihukum dan orang-orang eks PKI sudah mendapatkan ganti rugi seperti yang mereka inginkan, barulah dilakukan rekonsiliasi nasional: saling memaafkan.

Karuan saja publik gempar. Apalagi masih ada isu susulan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menuruti keinginan itu. Ia atas nama pemerintah akan meminta maaf kepada mereka. Beruntung, isu yang banyak berasal dari anggota Wantimpres Albert Hasibuan itu tidak menjadi kenyataan. Pidato Presiden pada tanggal 17 Agustus 2012 yang dinantikan, ternyata tidak menyinggung soal itu. Alhamdulillah. Namun isu sudah terlanjur menyebar ke mana-mana, dan orang sudah terlanjur merinding membayangkan apa yang akan terjadi jika tuntutan itu dikabulkan. Akankah sejarah kelam bangsa ini terulang kembali? “Jika presiden minta maaf, maka cerita sejarah akan berbalik,” kata Prof Dr Aminuddin Kasdi, Guru Besar Sejarah Unesa, seperti yang dikutip MPA edisi Oktober 2012.

Alur yang berjalan memang mudah dibaca. Ketika NU, Ansor, Banser dan pemerintah meminta maaf, artinya mereka telah bersalah, dengan kalimat lain PKI tidak bersalah. Untuk itu mereka berhak menuntut balas. “Yang jadi terdakwa nanti Banser dulu,” kata HA Hamid Wilis, salah seorang Ketua Cabang Ansor di tahun 1965. Kalau sudah begitu, akan terjadi perang sipil yang jauh lebih besar dari tahun 1965, karena masing-masing sudah siap.

Soal tuntutan NU dan pemerintah minta maaf, pendapat para kiai NU hampir seluruhnya seragam: tidak perlu. “Sebaiknya negara gak ngereken (tidak menghiraukan), NU gak ngereken. Ini negaraku!” kata KH Abdy Manaf, salah seorang Wakil Ketua PWNU Jawa Timur. Dalam pandangan mantan Ketua PCNU Sidoarjo tersebut, memang sudah seperti itulah sifat orang-orang PKI sejak dulu yang selalu menuntut. Apalagi sekarang mereka mendapat angin dari Barat sehingga teriakan mereka terdengar nyaring. “Kalau ditanggapi, akan merantak terus, ibarat dikasih hati masih minta jantung,” lanjut mantan Ketua Ansor itu. Justru ia berharap agar peristiwa 1965 dipandang dengan sudut pandang masa itu, bukan dengan masa sekarang. “Bayangkan kalau waktu itu dibiarkan, habis bangsa ini,” imbuhnya dengan nada tinggi.

Memang – kalau mau jujur— tuntutan yang kini mulai mereda itu terasa sangat tidak adil. Dalam wacana yang berkembang itu, orang-orang PKI digambarkan sebagai korban sejarah yang malang, tanpa dosa, tanpa sebab, tiba-tiba saja mereka dihabisi. Padahal sejatinya merekalah yang ‘menjual’ sehingga harus ada yang ‘membeli’. Mereka yang memulai sebab sehingga harus menanggung akibat. Inilah pintarnya mereka dalam memutar balik sejarah.

Pemenggalan sejarah seperti itulah yang disayangkan Wakil Ketua Umum PBNU Dr H As’ad Said Ali. “Pemuatan sejarah harus utuh, kalau dimuat sepotong-sepotong, akan menimbulkan makna yang lain,” tuturnya yang disampaikan melalui NU Online pada 1 Oktober lalu. Memandang PKI, menurut As’ad, harus dilihat secara utuh, terutama kaitannya dengan pemberontakan di tahun 1926 dan 1948. Tidak bisa serta merta tahun 1965 ketika mereka menerima akibat.

Kaum Kiri Mengipasi

Bila dirunut lebih jauh, kemunculan isu pemerintah dan NU harus minta maaf kepada orang-orang PKI bermula dari Kantor Komnas HAM di Jl Latuharhary Jakarta. Kala itu, sekitar bulan Juli 2012 Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi patut diduga telah terjadi pelanggaran HAM berat di Indonesia pada tahun 1965. Komnas merekomendasi agar dibentuk peradilan ad hoc dan menyeret para pelaku ke pengadilan.

Belum kuat suara Komnas HAM, disusul munculnya film “The Act of Killing” yang diputar di Amerika. Satu suara dengan Komnas HAM, film itu menggambarkan orang-orang PKI yang menjadi korban di tahun 1965. Gerakan yang diduga didalangi oleh intelijen asing dengan menggunakan tenaga orang-orang kiri lokal (dan sebagian ada di NU) itupun menemukan puncaknya ketika Majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2012 menurunkan laporan dengan judul Pengakuan Algojo 1965.

Melihat peristiwa yang saling berkaitan itulah banyak pihak menuduh majalah yang dimotori Goenawan Mohamad itu terlibat konspirasi dengan pihak asing untuk menjatuhkan NU, TNI dan ujungnya pemerintah Indonesia. “Saya menduga, ada benang merah antara Tempo dan orang-orang eks PKI,” kata Arukat Djaswadi, Direkur CICS (Center for Indonesia Community Studies, lembaga yang konsen mengawasi gerak orang-orang eks PKI).

Tak ingin bertindak radikal, NU yang mendapatkan stigma buruk dalam laporan majalah yang dikenal sebagai basis kaum kiri dan kaum liberal itu, tetap bersabar dan memilih sikap hati-hati. NU – dalam hal ini PWNU Jawa Timur --  lebih memilih cara dengan mengundang Pemimpin Redaksi Tempo, Wahyu Muryadi, untuk bertabayun di Kantor PWNU. Bagaimanapun, dia harus bertanggung jawab atas tulisan itu.

Benar juga. Ternyata dalam dialog Wahyu dan kiai-kiai terungkap adanya cucu komandan perang PKI yang terlibat dalam penulisan Tempo. Juga mantan Wakil Pemred Bintang Timur-nya PKI yang direkrut. Dengan begitu, dugaan tulisan Tempo mengandung unsur balas dendam menjadi tak terelakkan lagi. “Jika sudah seperti itu, tak bisa disalahkan kalau pemuatan ini ada unsur-unsur balas dendam,” kata KH Anwar Iskandar yang duduk di samping Wahyu Muryadi. (Baca: Tempo Diadili Para Kiai)

Siapa Harus Minta Maaf

Menanggapi adanya wacana pemerintah dan NU harus meminta maaf kepada orang-orang eks PKI, para kiai menanggapinya sebagai sesuatu yang terbalik. Mestinya, justru mereka yang meminta maaf, karena mereka yang memulai. “Mereka harus ikrar dulu dan meminta maaf, sebab mereka punya kesalahan besar pada umat Islam, pada negara dan membantai kiai-kiai di Madiun,” kata Kiai Anwar Iskandar.

Hal senada disampaikan oleh sesepuh NU KH A Muchith Muzadi. Menurut Mbah Muchith, NU tidak perlu meminta maaf kepada mereka. “Sebab pada waktu itu memusuhi PKI itu tugas nasional, semua memusuhi PKI,” tutur murid langsung Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari itu. “Kalau itu dianggap dosa, dosa PKI malah lebih besar,” salah seorang Mustasyar PBNU itu menjelaskan.

Kiai yang telah kenyang asam garam perjuangan itu percaya, dalam isu yang sempat berkembang itu NU hanyalah sebagai sasaran antara, sasaran utamanya adalah TNI dan negara secara keseluruhan. Di sinilah jiwa nasionalisme NU kembali diuji, dan NU telah membuktikannya. Sedangkan mereka, sejak dulu memang tidak memiliki jiwa nasionalisme. Mohammad Subhan

Senin, 29 Oktober 2012

AULA Oktober 2012


Presiden Sambut Baik Rekomendasi NU

Tidak seperti biasa, Munas-Konbes NU dihadiri presiden. Biasanya cukup wakil presiden. Itulah salah satu sisi lebih Munas-Konbes NU kali ini. Rekomendasi pun diserahkan kepada presiden di tempat acara. Pertanda apa?

Usai sudah perhelatan besar Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) NU. Forum tertinggi dalam Jam’iyah NU setelah muktamar itu dilaksanakan pada 15-17 September silam di Pondok Pesantren Kempek, Palimanan, Cirebon. Berbagai masalah yang berkaitan dengan hukum Islam, persoalan kenegaraan, kerakyatan, isu internasional hingga internal Jam’iyah NU tuntas dibahas di pesantren asuhan KH Ja’far Aqiel Sirodj itu. Meski baru pertama kali ditempati acara besar NU berskala nasional, namun kakak kandung Ketua Umum PBNU Dr KH Said Aqiel Siodj, MA itu telah membuktikan kemampuannya menjadi tuan rumah yang baik.

Dari sisi penyelenggaraan, Munas dan Konbes kali ini terbilang sukses besar. Ketidakkompakan panitia pusat (hingga sampai adu fisik di ruang rapat) tidak sampai berimbas ke tempat acara. Terlambatnya pengiriman materi Munas ke daerah-daerah juga tidak berpengaruh pada kelancaran bahtsul masail para kiai. Kekhawatiran panitia tentang Rais Am PBNU Dr KH MA Sahal Mahfudh yang enggan memberikan khutbah iftitah pun tidak terbukti. Rais Am hadir dan memberikan khutbah iftitahnya dengan baik, juga dihadiri Wakil Rais Am KH Mushofa Bisri.

Dan lagi, acara yang baru kali ini ditempatkan di pesantren (setelah beberapa kali sebelumnya ditempatkan di asrama haji) itu dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono beserta Ibu Negara Ani Yudhoyono.

Beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua juga hadir. Tampak Menko Polhukam Joko Suyanto, Mensesneg Sudi Silalahi, Menag Surya Dharma Ali, Menakertrans Muhaimin Iskandar, Mendikbud Muhammad Nuh, Menteri PDT Faishal Helmy, Menpora Andi A Mallarangeng, dan Menpera Djan Farid. Tampak juga anggota BPK yang juga Ketua Umum PP ISNU Ali Masykur Moesa, Ketua Umum PP GP Ansor NU Nusron Wahid, Ketua Umum PP Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa, Ketua Umum PP Fatayat NU Ida Fauziyah, calon presiden dari Partai Golkar Abu Rizal Bakrie, serta para undangan lainnya. Beberapa utusan PCI NU di luar negeri juga tampak hadir.

Ada yang menarik. Hasil rekomendasi Munas-Konbes diberikan oleh Ketua Umum PBNU kepada Presiden pada hari itu juga menjelang penutupan. Dan dalam amanahnya Presiden menanggapi langsung rekomendasi NU tersebut. Rekomendasi-rekomendasi itu berkaitan dengan politik dan pemerintahan, ekonomi, persoalan pajak dan pendidikan. Juga rekomendasi yang berkaitan dengan internasional; mulai dari film Innocence of Muslims yang menyakitkan, tragedi Rohingya di Myanmar yang memilukan, nuklir Iran yang berlarut-larut hingga konflik Suriah yang tidak juga kunjung usai. “Secara umum, saya terima dan sambut baik rekomendasi dan pemerintah akan pelajari serta menindaklanjutinya,” kata Presiden.

Menurut Kepala Negara asal Pacitan itu, sebagian rekomendasi yang dihasilkan Munas-Konbes sebenarnya sama persis dengan yang dipikirkan pemerintah. Meski demikian, ia menegaskan, tetap ada sejumlah kecil perbedaan persepsi antara pandangan pemerintah dan hasil Munas-Konbes, karena perbedaan data yang dipegang. “Namun, secara keseluruhan,  rekomendasi positif dan konstruktif, menyangkut masalah utama bangsa. Rekomendasi itu penting untuk meningkatkan  kebijakan dan program yang kami jalankan,” tandas Presiden.

Dalam pidatonya di depan para kiai, Presiden tidak menanggapi semua isu yang dibahas di Munas-Konbes. Presiden, antara lain, menanggapi materi fatwa wajib atau tidaknya membayar pajak ketika uang pajak banyak dikorupsi pejabat.Mengenai wacana boikot pajak jika terus-menerus dikorupsi, Presiden menilai ada semangat luar biasa dari NU untuk memperbaiki pengelolaan keuangan negara. Dia mengakui, pajak merupakan sumber keuangan negara terbesar, yaitu, 70 persen sumber pendapatan nasional.

Sebagaimana diberitakan, Munas-Konbes memutuskan, masih akan memberi waktu bagi pemerintah untuk memperbaiki pengelolaan pajak. Secara resmi, NU merekomendasikan agar pemerintah lebih transparan dan bertanggung jawab terkait dengan penerimaan dan pengalokasian uang pajak, selain juga harus memastikan tidak ada kebocoran.

Pemerintah juga direkomendasikan agar mengutamakan kemaslahatan warga negara, terutama fakir-miskin, dalam penggunaan pajak. Jika hal-hal tersebut tidak dilaksanakan, PBNU akan mempertimbangkan mengenai kemungkinan diberikannya fatwa hilangnya kewajiban warga negara membayar pajak.

Presiden juga menyambut baik rekomendasi tentang pemberantasan korupsi. Menurut dia, hingga saat ini pemerintah konsisten dan konsekuen dalam memberantas korupsi. Pemerintah tidak tebang pilih dan pandang bulu menyangkut hal tersebut. “Dari sekian banyak kasus yang diproses KPK, ada yang berasal dari Parpol saya, ada juga orang yang dianggap dekat dengan saya. Hukum tetap harus ditegakan,” tandasnya.

Atas tanggapan Presiden tersebut, Ketua Umum PBNU Dr KH Said Aqiel Sirodj, MA menanggapi positif. Ia optimistis pemerintah merespons serius sejumlah rekomendasi hasil Munas-Konbes tersebut. “Setidaknya sudah didengar, walaupun memang tidak harus sekarang diberi peringatan terus sekarang pula menjadi baik,” kata Kiai Said. Dia yakin, bangsa Indonesia saat ini sesungguhnya masih merupakan bangsa yang diselamatkan oleh Allah. “Karena kalau sudah diberi peringatan, kok malah semakin menjadi-jadi, berarti bangsa ini sedang sakit,” tandasnya.

Kiai Said juga menceritakan jika Presiden SBY sempat melakukan pertemuan khusus dengan sekitar 20 ulama di arena Munas-Konbes. “Di sana saya katakan, kalau semua rekomendasi ini jangan disalahpahami. Semua murni kajian berbasis ilmu keagamaan, tidak ada tendensi politik apa pun,” ungkapnya.

Insiden di kamar sekretariat

Siang itu terdengar pengumuman dari ruang sekretariat tentang bakal adanya pembagian kenang-kenangan dari sponsor. Tak lama kemudian terlihat beberapa orang saling berebut pembagian buku-buku, majalah dan kalender gratis di depan ruang sekretariat, seperti yang diumumkan tak lama sebelumnya. Usai mendapatkan pembagian yang tidak merata itu, mereka berlarian masuk kamar lagi dengan tertawa riang. Masing-masing seakan ingin memamerkan hasil yang didapatkannya.

Tapi ada yang cukup mengagetkan. Beberapa orang tampak marah dan merobek-robek buku agenda yang baru saja diterimanya secara gratisan itu. Sekitar separuh buku dirobek, sisanya dipakai. Kenapa, Pak? “Ini, salibnya banyak sekali,” tutur orang itu dengan mimik marah. Beberapa orang saling berpandangan melihat peristiwa itu. Salah seorang di antara mereka menghitung, ternyata dalam buku agenda itu terdapat 24 gereja, 3 vihara dan beberapa komunitas Tionghoa yang mengucapkan selamat atas suksesnya Munas-Konbes. Ada yang memaklumi, ada pula yang tidak dapat menoleransi sehingga terjadilah insiden spontan tersebut.

Pelajaran dari Muktamar Makassar

Munas-Konbes telah ditutup pada Senin sore (17/9) oleh Ketua Umum PBNU Dr KH Said Aqiel Sirodj, MA dengan sederhana, bertempat di GOR Munas, yang sebelumnya juga dijadikan tempat pembukaan.
Berbagai persoalan telah terpecahkan, aturan organisasi telah disepakati, program telah dicanangkan, rekomendasi telah diterima pemerintah dan para kiai telah kembali ke kediaman masing-masing. Para panitia juga tampak lega dengan selesainya rangkaian acara yang benar-benar menyita tenaga dan pikiran itu.

Selesai? Tentu semua berharap begitu. Namun bagi sebagian pihak yang merasakan betul pahitnya ‘tragedi’ pasca Muktamar Makassar dua tahun silam, selesainya Munas-Konbes bukan berarti selesai segalanya lalu tinggal menunggu hasil-hasil persidangan itu dicetak dalam bentuk buku.

Mereka masih memiliki kekhawatiran, jangan-jangan peristiwa itu akan terulang kembali. Betapa hasil-hasil muktamar telah berubah sedemikian rupa ketika materi sampai di tangan tim perumus.
Untuk itulah sejak dalam persidangan komisi PWNU Jatim -- yang dikuatkan oleh Jateng dan Jabar dan akhirnya disetujui bersama -- meminta ada pengawalan. Sekadar jaga-jaga saja. Mohammad Subhan

Rabu, 19 September 2012

AULA September 2012

Ketika Pendidikan Pesantren Diragukan


Sebelum terjadi gegap gempita pemberitaan tentang KPK vs Polri jilid 2, di ujung Pulau Madura ada kasus menarik yang juga melibatkan kepolisian. Bukan karena kasus korupsi atau kasus rekening gendut. Tapi berawal dari ijazah seorang alumni pesantren yang ditolak ketika mendaftarkan diri dalam rekrutmen anggota korps baju cokelat itu. 

Beritanya sempat meledak menjadi isu nasional. Nama Mohammad Azhari mendadak terkenal lantaran beberapa televisi nasional menyiarkan peristiwa itu. Media cetak, terutama di Jatim, juga rutin menginformasikan setiap perkembangan kasus tersebut. Apalagi, media masa menambahnya dengan “bumbu-bumbu” yang menurut Pengurus Yayasan Pondok Pesantren Annuqayah tidak sesuai fakta.

Menurut Muhammad Musthafa, salah seorang ustadz di Ponpes Annuqayah, pemirsa yang tak mengikuti rangkaian kejadian kasus yang bermula satu bulan sebelum aksi turun jalan tersebut akan membuat kesimpulan rekaan peristiwa sederhana: ada santri ditolak mendaftar di Kepolisian, lalu teman-temannya unjuk rasa dan rusuh. Apalagi pembawa berita menuturkan dengan penuh percaya diri sambil memainkan intonasinya saat tiba di bagian yang memaparkan tentang aksi rusuh.

“Proses yang panjang sebelum terjadinya aksi itu menjadi hilang dalam pemberitaan televisi. Saya paham bahwa ada keterbatasan durasi dalam menyiarkan berita ini. Tapi menghilangkan fakta yang sangat terkait dan bernilai penting sangat berpotensi membelokkan fakta yang dipaparkan. Dan itulah yang menurut saya terjadi,” terang alumnus UGM Yogyakarta ini.
Redaksi Majalah NU Aula ikut merasakan ramainya berita tersebut. Beberapa pesan singkat melalui SMS dan e-mail diterima dan menanyakan ihwal kasus Annuqayah. Apalagi, PWNU Jatim juga menggelar jumpa pers dan memberikan pernyataan sikap untuk mendukung Ponpes Annuqayah. Karena itulah, Redaksi Majalah Aula melakukan kajian untuk menjawab keinginan para pembaca.

Kisahnya dimulai ketika Mohammad Azhari lulus dari Madrasah Aliyah (MA) 2 Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Kemudian ia menjajaki jalur karir sebagai anggota kepolisian melalui seleksi penerimaan brigadir Brimob dan Dalmas di Polres Sumenep. Di awal seleksi, Azhari langsung dinyatakan ditolak karena tidak memenuhi persyaratan administratif berupa kelengkapan ijazah SLTA.

Kabar penolakan itu lalu sampai ke pengurus yayasan. Tentu mereka tak mau berpangku tangan. Berbagai upaya dilakukan untuk meminta klarifikasi dari Polres Sumenep. Singkat cerita, karena tidak mendapatkan titik temu dan pengurus yayasan meyakini Polres Sumenep telah melakukan kesalahan, maka pengurus yayasan menuntut Polres Sumenep meminta maaf secara terbuka dan institusional. Selain itu, Polres juga diminta untuk menjamin lulusan sekolah/madrasah yang telah diakui resmi oleh negara, khususnya yang berafiliasi dengan pondok pesantren, untuk diperlakukan sama dengan sekolah/madrasah pada umumnya dalam penerimaan calon anggota Polri.

Akhirnya Polres Sumenep, berdasarkan pertimbangan dari Polda Jatim, mengakui telah terjadi kesalahan dalam menafsirkan aturan yang diterbitkan oleh Polda Jatim terkait seleksi anggota kepolisian tahun 2012. Untuk itulah, Polres Sumenep mengadakan jumpa pers yang dihadiri para pengurus yayasan guna meminta maaf dan mempersilakan Azhari untuk mendaftar lagi tahun depan karena proses seleksi sudah hampir usai. (Kronologi lengkapnya dapat di halaman 11)

Membuka Mata

Permintaan maaf dari Polres Sumenep memang melegakan. Tapi sesungguhnya masih ada teka-teki yang belum terjawab. Sebagian orang masih menduga ada alasan substantif yang tidak mungkin diungkapkan. Apalagi jika dikaitkan dengan telegram dari Polda Jatim yang memberi pengakuan hanya kepada empat pesantren tertentu saja. Apa dasarnya? Dan bagaimana dengan pesantren lain? Apakah benar ada diskriminasi terhadap pendidikan pesantren?

Dalam pandangan Ketua PW Lembaga Pendidikan Maarif NU Jatim, Akhmad Muzakki, masalah yang terjadi di Sumenep bukanlah masalah lokal. Bukan pula masalah individual Azhari. Seluruh masyarakat pesantren dan madrasah di seluruh penjuru nusantara ini bisa menjadi korban dari kebijakan dan praktik diskriminatif oleh aparatur negara. Oleh karena itu, perhatian publik harus diberikan kepada kebijakan dan praktik diskriminatif oleh negara terhadap pesantren dan madrasah di negeri ini.

“Kita harus menolak semua bentuk diskriminasi dalam pendidikan karena persamaan hak dan kewajiban antara sekolah dan madrasah telah dijamin oleh negara. Bahwa sekolah dan madrasah sama di mata hukum. Keduanya tidak dibedakan, apalagi didiskriminasi,” tutur Dosen Pasca-sarjana IAIN Sunan Ampel ini.

Sedangkan beberapa orang, dalam diskusi di PWNU Jatim misalnya, kemudian menduga-duga apa sesungguhnya alasan substantif itu. Di satu sisi, diskriminasi terhadap segala pendidikan di bawah naungan NU dan pesantren memang pernah terjadi di era Orde Baru. Selama puluhan tahun NU dan pesantren dipinggirkan dan ditutup dari akses-akses peme-rintahan. Dan mungkin saja apa yang menimpa Azhari adalah sisa-sisa kebijakan Orde Baru di tengah naiknya pesantren di panggung nasional yang sudah berlangsung sejak bergulirnya era reformasi.

Itulah sebabnya, bukan perkara mudah jika sekarang kita mencari alumni pendidikan formal pesantren yang menjadi pejabat penting atau ilmuan di luar bidang agama. “Kalau yang sekedar mondok mungkin banyak. Misalnya Gus Dur, Pak Muhaimin Iskandar, Pak Suryadharma Ali atau Pak Mahfud MD. Semuanya memang alumni pesantren, tapi telusuri dulu pendidikan formalnya. Ternyata bukan jebolan pendidikan formal pesantren. Ini adalah imbas dari kebijakan masa lalu,” kata salah seorang peserta diskusi.

Di sisi lain, ada yang mengatakan bahwa tentara dan kepolisian memang sangat menghindari unsur pesantren masuk sebagai anggota. Sebab, anggota Polri dituntut untuk taat pada atasan, sedangkan santri memiliki kultur ketaatan yang kuat kepada kiainya. Sehingga ketika santri menjadi anggota kepolisian dikhawatirkan ia akan memiliki standar ketaatan ganda.

Di luar itu ada juga yang menganalisis lebih dalam. Bahwa pendidikan formal pesantren ternyata masih dipandang sebelah mata oleh keba-nyakan masyarakat Indonesia. Keraguan ini erat kaitannya dengan kualitas pendidikan formal di pesantren. Peran besar pesantren terhadap negeri ini ternyata belum bisa memantapkan posisi pesantren sejajar dengan lembaga pendidikan lain, meskipun secara de jure undang-undang sudah mengakuinya.

Tentu saja kita berharap masa depan pendidikan pesantren di negeri ini akan lebih baik. Apalagi, UU Pendidikan Nasional sudah “mengharamkan” semua bentuk diskriminasi. Pesantren juga sudah menjelma menjadi semacam “supermarket” lembaga pendidikan. Semuanya tersedia di dalamnya mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, dengan tetap menguatkan karakter generasi Al-Quran yang multitalenta. Semoga. afif

Assalamu’alaikum (hal 4)
Refleksi (hal 5)
Kotak SMS (hal 6)
Surat Pembaca (hal 7)

Ummurrisalah:
Ketika Pendidikan Pesantren Diragukan (hal 9)
Bercermin dari Kasus An-Nuqayah (hal 11)
Ikhtiar Itu Bernama Madrasah (hal 13)
Garis Miring Madrasah, Bukan Nasib Miring (hal 16)

Ihwal Jam’iyah: Menyapa Anak Muda (hal 19)
Berbagai upaya terus dilakukan oleh PWNU Jawa Timur dalam berkhitmah kepada masyarakat. Menjelang Idul Fitri PWNU Jatim disibukkan dengan kegiatan yang akan diadakan. Antara lain mudik gratis dan halal bihalal yang dimeriahkan oleh Wali Band.

Liputan Khusus: Menyongsong Munas dan Konbes NU di Cirebon (hal 21)
Tak mau setengah-setengah menggelar acara, panitia memastikan Presiden akan membuka acara Munas-Konbes NU kali ini. Panitia telah menyatakan kesiapannya menggelar hajat besar NU tersebut dengan sebaik-baiknya. Sudah benar-benar siapkah?

Tokoh: Dr KH Abdul Ghofur (hal 25)
Karakter suaranya khas dan mudah diingat. Gaya penyampaiannya blak-blakan dan mudah dimengerti. Isi materinya juga berbobot dan sangat bermanfaat. Apalagi kepribadiannya low profile dan tegas. Itulah sebabnya kenapa pengajiannya di pagi hari selalu dinanti oleh ribuan pendengar radio dan pemirsa televisi di pesisir pantai utara Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Bahsul Masail: Mengakhirkan Puasa Syawal (hal 28)
Kajian Aswaja: Mengkaji Hujjah Selamatan Haji (hal 30)

Khazanah: Solusi Sehat dengan Ikan Laut (hal 32)
Tak ada makhluk yang tercipta sia-sia. Semua memiliki arti dan manfaat. Keterbatasan pengetahuan saja yang membuat manusia tidak menyadari kegunaan di sekelilingnya. Termasuk ikan laut.

Pendidikan: SMA NU 1 Gresik (hal 36)
Memasuki dimensi kekinian institusi pendidikan dituntut tidak hanya membekali anak didiknya dengan kemampuan akademik semata. Pengembangan skill atau kemampuan non-akademik menjadi bagian yang harus diberikan. Begitu pula yang dilakukan oleh SMA NU 1 (SMANUSA) Gresik. Dengan pengembangan keterampilan, sekolah ini menjelma menjadi institusi pendidikan dengan segudang prestasi.

Eksibisi: Menyambut Pameran Haji dan Umroh (hal 38)
Tak ada kata berhenti untuk berkarya, itulah yang seharusnya dilakukan oleh siapa saja yang ingin maju dan berprestasi. Prinsip itu pula yang kini dijalankan oleh kerabat kerja Majalah Aula kita ini.

Pesantren: Ponpes Tarbiyatul Qulub Surabaya (hal 40)
Pesantren ini terbilang unik. Banyak orang datang bukan untuk mendidik anaknya dengan pendidikan keilmuan, melainkan untuk mengobati penyakit-penyakit hati. Hasilnya, setiap santri memiliki bekal yang kuat untuk menjalani hidup dengan mengedepankan moral, akhlak dan kejernihan hati.

Kancah Dakwah: Mantan HTI yang Membentengi Aswaja (hal 42)
“Orang Hizbut Tahrir (HT) tahu kalau rumahnya itu keropos.Tapi kekeroposan itu justru ditutupi dengan tembok besar untuk melindunginya agar tidak diketahui oleh pengikutnya”.

Nisa’ : Hj Andi Asny Patoppoi (hal 44)
Mengisi masa tua dengan ibadah, tanpa dibebani lagi dengan hiruk-pikuk urusan duniawi, adalah dambaan setiap orang. Salah seorang yang menikmati kesempatan itu adalah Andi Asny. Siapa dia?

Uswah : Kolonel K.H. Muslich (hal 47)

Nuansa: RSNU Jombang (hal 49)
Untuk bisa mendirikan fasilitas umum, biasanya warga NU memberikan sejumlah sumbangan dan tidak pernah memikirkan imbalan. Tapi dengan membangun fasilitas kesehatan ini, mereka juga akan menikmati bagi hasilnya kelak.

Wirausaha: Bisnis Sandal yang Makin Handal (hal 51)
Lahir dari keluarga miskin pengrajin sandal tidak membuat H M Yunus bermental ciut. Sejak kecil ia memiliki semangat tinggi untuk belajar dan bekerja keras agar bisa memperbaikai taraf hidup keluarganya. Dengan bermodal pengalaman itu kini ia menjadi bos produsen sandal. Ingin tahu kisahnya? Simak ulasan di bawah ini.

Mimbar Jum’at (hal 53)
Wawasan: Antara Sekolah dan Penjara (hal 55)

Sembilan: Media Massa NU (hal 57)
Banyak media massa yang lahir dari rahim NU. Media itu memiliki peran penting untuk menyiarkan peran NU dalam membangun bangsa dan umat, sekaligus menjadi media dakwah dan sarana komunikasi bagi warga Nahdliyin. Seiring berjalannya waktu, banyak di antaranya hanya tinggal kenangan. Namun tak sedikit pula yang masih eksis. Berikut di antaranya:

Sekilas Aktivitas (hal 60)
Rehat: Hj Sinta Nuriyah & H Suhar Billah (hal 66)

Sabtu, 04 Agustus 2012

AULA Agustus 2012

Serba-Serbi Perkumpulan Bani

Bulan Syawal merupakan bulan pelebur dosa sesama. Di mana-mana orang saling bermaafan. Di bulan itu pula para keluarga besar keturunan (bani) tokoh tertentu biasa berkumpul. Macam-macam acara yang menyertainya. Ada yang unik, ada yang klasik, ada yang modern. Tapi untuk apa mereka melestarikan garis keturunan itu?

Kalian ini keturunan orang besar, orang hebat. Karena itu kalian harus mengaji yang lama, mondok yang lama. Jangan mentang-mentang Mas, harus dijaga, Rek. Meskipun mas, kalau dalam lumpur, tidak terlihat masnya. Meskipun Mas, kalau tidak mengaji, apa yang harus dibanggakan? Kalah dengan orang Nokromo. Ya kalah kuat, ya kalah uang”.

Kutipan di atas adalah pesan-pesan dari KH Mas Umar Baidlowi yang disampaikan untuk memberi semangat kepada para anggota keturunan Bani Hajji. Memang seperti itulah yang seharusnya dilakukan oleh mereka yang memiliki garis nasab keturunan tokoh besar. Mereka harus mampu menjaga martabat sang tokoh tersebut dengan akhlak dan ilmu. Bukan malah menggantungkan nasib dengan ‘menjual’ nama besar sang tokoh utama, merasa lebih tinggi dari yang lain, lalu minta dihormati layaknya sang tokoh tersebut. Rasulullah SAW sendiri telah melarang seseorang membanggakan keturunannya.

Keturunan adalah soal takdir. Tidak ada orang yang dapat meminta atau menolak untuk dilahirkan atau tidak dilahirkan sebagai anak tokoh tertentu. Tinggal bagaimana cara menyikapi ketika mereka mendapatkan takdir itu. Orang bijak biasanya malah merasa berat ketika terlahir sebagai keturunan orang penting, sebab ia harus menjaga martabat kakek moyangnya dengan berakhlakul karimah. “Oleh karena kamu keturunan Sunan Giri, kamu tidak boleh berbuat dosa, malu sama kakekmu,” begitu biasanya orang tua bijak menasehati putranya.   

Halal bihalal, konon, pertama kali dilakukan oleh Presiden Soekarno atas inisiatif dari KH Abdul Wahab Hasbullah. Di saat Bung Karno merasa galau lantaran banyak perbedaan pandangan seputar bentuk negara dan ancaman disintegrasi bangsa yang tampak semakin nyata, Kiai Wahab mengusulkan agar diadakan acara Halalun Bihalalin, yakni saling merelakan atau menghalalkan peristiwa masa lalu berganti dengan rekonsiliasi.

Bung Karno setuju. Beberapa waktu kemudian digelarlah acara itu di istana kepresidenan. Beberapa kalangan dari banyak aliran, bahkan mereka yang bukan muslim sekalipun, berkenan datang untuk saling bersalaman. “Istilah kita saat itu ya kosong-kosong,” kata KH A Hasib Wahab, salah seorang putra Kiai Wahab. Maksud dari kalimat itu adalah saling memaafkan segala perbedaan dan kesalahan yang telah dilakukan sebelumnya.

Kini acara halal bihalal telah berkembang luas. Tidak hanya di kampung, tapi juga dilangsungkan oleh para pejabat tinggi negara di kantor-kantor pemerintahan, perusahaan dan tempat-tempat lain. Para pemilik garis keturunan tokoh tertentu biasanya juga memanfaatkan momentum halal bihalal di bulan Syawal ini untuk menyambung kekerabatan mereka, yang sebenarnya di negeri Arab sendiri malah tidak ada. “Inilah kekhasan yang dimiliki bangsa ini dibandingkan dengan bangsa manapun di dunia,” kata Gus Hasib yang mantan anggota DPR RI dari PDIP itu.

Inilah salah satu kekayaan khas muslim Indonesia. Inti acara adalah halal bihalal dan silaturahmi, namun dalam kemasan yang berbeda-beda. Masihkah ada yang bilang bid’ah? Ah, sudah tidak jaman, om.

Baca ulasan lengkapnya di Majalah NU Aula edisi Agustus 2012, baca juga liputan lainnya :

Ummurrisalah :
Serba Serbi Perkumpulan Bani (hal 9)
Beda Keluarga, Beda Acara (hal 11)
Untung Rugi Perkumpulan Bani (hal 16)
Agar Perkumpulan Tetap Lestari (hal 17)

Refleksi : Surga (hal 8)

Ihwal Jam’iyah : Kader Pembela Aswaja Telah Lahir (hal 19)
Tidak salah ucapan Sekjen PBNU Dr H Marsyudi Suhud, bahwa NU Jawa Timur adalah teladan. Apa yang dimunculkan oleh Jawa Timur (hampir pasti) akan dijadikan pilot project oleh PBNU untuk daerah lain. Kali ini Jawa Timur menggelar Olimpiade Aswaja. Menarik, sekaligus dapat dicontoh.

Liputan Khusus : Kongres II IPSNU Pagar Nusa di Lamongan (hal 21)
Kepemimpinan Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama (IPSNU) Pagar Nusa telah memasuki episode baru. Terpilihnya H Aizuddin Abdurrahman sebagai ketua umum dalam kongres yang lalu diyakini akan banyak memberikan nuansa baru dalam organisasi para pendekar NU ini.

Tokoh : Drs KH Mas’ud Yunus (hal 25)
Berada di luar lingkaran NU membuat orang dapat melihat NU dari sisi lain yang mungkin lebih netral. Kondisi itu saat ini dialami oleh tokoh kita kali ini. Dari sudut itu pula akhirnya ia menginginkan agar orang-orang NU (kelak) terlihat lebih gagah. Seperti apa?

Bahsul Masail : Penukaran Uang Jelang Lebaran (hal 28)
Kajian Aswaja : Menyirikkan Orang Shalat di Kuburan (hal 30)

Uswah : KH Bisri Musthofa (hal 32)
Sebagai tonggak perjuangan masyarakat, ulama selalu menjadi sosok yang terdepan dalam melawan penjajahan. Ia menjadi panutan dan pembimbing di tengah jalan kegelapan. Begitu pula yang diperankan oleh KH Bisri Musthofa.

Nisa’ : Isti Zusrianah (hal 36)
Di lingkungan rumahnya, Isti Zisrianah memang dikenal sebagai guru TK biasa. Tapi ketika keluar rumah, namanya dikenal sebagai aktivis organisasi perempuan yang handal. Ia mengawali kiprah kepemimpinan dari bawah hingga dipercaya sebagai Ketua PW Fatayat NU DI Yogyakarta. Tapi ia masih tidak mau melepaskan profesinya sebagai guru TK. Kenapa?

Pesantren : Ponpes Riyadhul Jannah Mojokerto (hal 38)
Pesantren ini tak hanya membekali para santri dengan kemantaban ilmu agama dan akhlakul karimah. Tapi juga memberikan doktrinasi supaya para santri menjadi pengusaha muslim yang handal. Dengan cara apa?

Pendidikan : MA Unggulan Nurul Islam (hal 40)
Di tengah gempuran sekte keagamaan yang datang dari semua lini. Sudah sepatutnya warga NU mewaspadainya. Maka, membentengi generasi muda mutlak dilakukan. Sebagaimana yang dipraktekkan oleh MA Unggulan Nurul Islam Jember hingga mampu mencetak kader unggul yang menguasai Ahlussunnah wal Jamaah dan hujjahnya di luar kepala.

Kancah Dakwah : Usai Pembakaran, Muallaf Kian Merana (hal 42)
Tragedi pembakaran mushala Insan Kamil Oktober tahun lalu, membuat kondisi muallaf memprihatinkan. Beberapa kepala keluarga tidak lagi menetap. Ingin tahu kisah lengkapnya?

Muhibah : Kesempatan Beasiswa Luar Negeri Terbuka Luas (hal 44)
Apresiasi banyak kalangan kepada NU sungguh luar biasa, khususnya di belahan dunia. Untuk kesempatan dan tawaran ke luar negeri misalnya, sangat terbuka luas. Mampukah kesempatan itu dioptimalkan? Apa saja yang perlu disiapkan menyambut kesempatan itu? Semoga informasi ini membuka cakrawala kita bersama.

Khazanah : Keajaiban di Setiap Tetes Air Zam-Zam (hal 47)
“Sebaik-baiknya air di muka bumi  ialah air Zam-Zam. Padanya ada makanan yang menyegarkan dan penawar bagi segala penyakit.” (HR. Ibnu Abbas Radhiallaahu ‘anhu)

Nuansa : Sumbangsih Kampung Tangguh Nahdliyah (hal 49)
Taraf hidup dan kualitas kesejahteraan masyarakat harus terus meningkat. NU sebagai ormas terbesar di Indonesia ini, mengupayakan membentuk kampung tangguh nahdliyyah di tengah masyarakat Indonesia.

Aktualita : Pertemuan Aktivis Guru dan Mahasiswa (hal 51)
Jawa Timur menjadi tuan rumah kegiatan berskala nasional. Di antaranya pertemuan para pegiat guru dan mahasiswa NU. Pertanda bahwa jam’iyah ini terus bergeliat, dan wilayah ini sangat kondusif menjadi tuan tumah yang baik untuk kegiatan besar.

Mimbar Idul Fitri (hal 53)

Wawasan : Meneguhkan Peran Pemimpin Umat
oleh Prof Dr KH Malik Madani, Katib Am Syuriah PBNU (hal 55)

Sembilan : Menteri Agama dari NU (hal 57)
Sebagai organisasi yang memiliki kontribusi besar bagi corak dan bentuk negara, ditambah dengan jumlah anggota yang demikian besar, sudah sewajarnya keberadaan NU diperhatikan. Termasuk dalam seleksi Menteri Agama RI. Berikut Sembilan di antara mereka.

Sekilas Aktivitas (hal 59)