Selasa, 20 Desember 2011

AULA Edisi Desember 2012


Penelitian terakhir soal potensi zakat yang bisa dihimpun di tanah air mencapai Rp217 triliun per tahun dan saat ini baru bisa dihimpun Rp 1,5 triliun. Jelas sekali pemanfaatannya masih jauh panggang dari api. Kini, UU zakat terbaru hadir dari gedung Senayan. Dapatkah memberi jawaban?

Lewat sidang paripurna yang tidak terlampau gaduh, akhirnya DPR mengesahkan Undang-Undang (UU) tentang Pengelolaan Zakat pada rapat paripurna, Kamis (27/10). Dengan disahkannya UU ini, maka pengelolaan zakat akan terintegrasi di bawah koordinasi Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). UU ini adalah perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Dalam praktiknya, keberadaan BAZNAS memiliki fungsi sebagai perencana, pelaksana, pengendalian pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan, hingga pelaporan zakat. Sedangkan lembaga pengelolaan zakat yang selama ini dikelola oleh masyarakat, akan dikoordinasi oleh BAZNAS.

Di sisi lain, para tokoh agama, analis ekonomi dan hampir semua orang sepakat bahwa potensi dana masyarakat yang didapat dari ZIS (Zakat, Infaq, Shadaqah) cukuplah besar. Hal ini dibuktikan dengan telah dimanfaatkannya dana umat tersebut oleh para penjajah. Seiring dengan kian meningkatnya kesadaran keberagamaan yang juga diiringi peningkatan taraf hidup, maka dapat dipastikan bahwa potensi itu tidaklah kecil. Namun kepada siapa para hartawan muslim ini akan menyalurkan kelebihan rejekinya? Dikelola sendiri atau dipasrahkan kepada amil?

Bila pilihan pertama yang diambil, tentunya tak akan ada masalah. Namun persoalannya akan lain bila dana itu diberikan kepada amil. Di antara sekian banyak amil atau lembaga amil zakat (LAZ) yang ada, siapa yang layak dipercaya?

Ditanggapi Beragam

Beberapa pasal yang paling sering diperdebatkan antara lain pasal 38. Dalam pasal itu diatur ketentuan setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat. Pihak yang mengumpulkan, mendistribusikan, atau mendayagunakan zakat, harus mendapat ijin dari pejabat yang berwenang. Jika mengabaikan hal ini, maka yang bersangkutan terancam denda Rp. 50 juta atau kurungan penjara selama setahun (pasal 41).

Selain itu, dalam pasal 18 dinyatakan bahwa lembaga amil zakat yang didirikan syaratnya harus berasal dari ormas Islam. Padahal, lembaga amil zakat yang ada sekarang dan sudah terbukti eksis dalam memajukan sistem pengelolaan zakat di negeri ini tidak berasal dari ormas Islam.

Karena itulah tanggapan beragam muncul pasca disahkannya UU zakat yang baru. Bayang-bayang judicial review ke Mahkamah Konstitusi juga menjadi isu yang santer diberitakan. Sebab, sebagian kalangan menilai ketentuan dalam UU ini akan menyulitkan umat Islam untuk melaksanakan rukun Islam yang keempat. UU ini mewajibkan pembayaran zakat harus kepada amil dari lembaga amil zakat yang terdaftar. Selain itu, lahirnya aturan ini justru kian memperburuk tata kelola kelembagaan zakat di tanah air, bahkan berpotensi mematikan lembaga zakat yang selama ini sudah ada. Argumentasi itu didasarkan peran masyarakat yang dinihilkan di dalam UU ini dan membuat Baznas menjadi lembaga superbodi tanpa ada restriksi.

Akademisi dari Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah UI Yusuf Wibisono, misalnya, menyatakan pengaturan UU ini mewajibkan adanya sentralisasi di bawah BAZNAS. Baginya, sentralisasi pengelolaan zakat oleh negara melalui BAZNAS memiliki argumentasi yang lemah. Padahal di banyak negara, pengelolaan zakat justru lebih diberikan lebih luas bagi partisipasi publik.

Bertolak belakang dengan itu, Ketua Umum BAZNAS Didin Hafidhuddin, menyatakan mestinya masyarakat bersyukur atas disahkannya UU ini. “Dengan UU ini, maka penanganan zakat di Indonesia akan tertangani dengan baik,” katanya.

Terhadap beberapa kalangan yang skeptis dan bahkan mengkerdilkan keberadaan LAZ swasta, Didin membantahnya. “Justru dengan UU ini akan mampu mengatur LAZ dengan baik dan menempatkannya sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem zakat nasional,” sambungnya.

Mengambil Sisi Baik

Di luar hiruk pikuk wacana atas terealisasinya UU ini, salah seorang anggota Komisi VIII berharap agar masyarakat memandang aturan ini sebagai hal positif. “Dengan UU ini, maka keberadaan amil yang ada di masyarakat kian diberikan keleluasaan mengopreasionalkan dana umat,” kata Prof DR H Ali Maschan Moesa, MSi.

Bagi mantan Ketua PWNU Jatim ini, dengan UU tersebut, maka masyarakat dapat lebih terbuka melakukan pengawasan agar dana yang telah terhimpun dapat disalurkan secara optimal. “Bukankah sudah pada tempatnya kalau dana yang dihimpu dari masyarakat juga harus dipertanggungjawabkan?” kata anggota Badan Kehormatan DPR RI ini balik bertanya.

Selama ini memang ada kemudahan bagi perorangan maupun lembaga untuk menjadikan dirinya sebagai amil tanpa ada upaya melaporkan pengelolaan dana yang telah ada.

Demikian pula keberadaan LAZ haruslah berbadan hukum. “Pengelolaan zakat harus berbadan hukum, karena terkait dengan kewenangan pengalihan aset lembaga,” kata Bahrul Hayat yang juga Sekretaris Jendral Kementerian Agama.

“Pasti akan menimbulkan pro dan kontra,” kata Pak Ali. Namun diharapkan dengan UU ini, kepercayaan masyarakat kian bertambah. Dengan demikian akan lebih banyak potensi dana yang bisa diserap dan didistribusikan untuk membantu mengangkat masyarakat dhuafa’ dari keterpurukan. Sinergi antara pemerintah lewat BAZNAS dan masyarakat dengan LAZ-nya, diharapkan pengentasan kemiskinan bukan sekedar slogan tanpa makna.

Selasa, 01 November 2011

AULA Edisi Nopember 2011


Kiai Wahab Chasbullah Pahlawan Nasional?

Sejarah panjang bangsa ini sejak masa cengkraman penjajahan, revolusi fisik hingga format dan bentuk negara Indonesia masa depan tak pernah sekalipun dilewatkan. Dengan keberanian, kalkulasi yang cermat serta negosiasi yang fleksibel, keutuhan bangsa ini dapat terjaga hingga kini. Namun dia tak pernah berfikir soal gelar, termasuk pahlawan untuk dedikasinya.

BELIAU adalah KH Abdul Wahab Chasbullah. Sosok yang oleh pengamat dipandang sebagai pendiri NU yang sesungguhnya lantaran mendesain, menghimpun serta melakukan silaturrahim ke berbagai kiai Nusantara dalam rangka meyakinkan mereka akan pentingnya para kiai pesantren terhimpun dalam sebuah organisasi. Kendati tak kunjung mendapat restu dari sang maha guru, hadratus syaikh KH Hasyim Asy’ari, tapi Kiai Wahab tetap tak bergeming. Baginya, akan lebih anfa’ bila para kiai terhimpun dalam sebuah jam’iyah. Dan pucuk dicinta ulam tiba. Restu Mbah Hasyim kian menggelorakan semangatnya untuk mengembangkan jam’iyah tersebut di seluruh pelosok negeri.

Pengembaraan intelektual yang dilakukan semasa muda dari pesantren ke pesantren dan kemudian dituntaskan di Makkah dalam waktu yang lumayan lama mengantarkannya memiliki kolega di hampir seluruh daerah. Kedalaman ilmu, koneksi jaringan kiai tanah air serta keberadaannya sebagai organisatoris ulung yang ditopang sumber dana yang memadai, membuat banyak kalangan langsung sepakat dengan ide briliannya.

NU menjadi ormas keagamaan yang disegani hingga kini, tidak semata dilandasi oleh keteguhan dan kemurnian dalam berjuang. “Yang tak kalah penting adalah jaringan para kiai kenamaan di seluruh negeri,” kata DR KH Said Aqiel Siradj pada perhelatan haul ke 40 yang lalu. “Kiai Wahab datangi satu persatu para kiai di tanah air dengan biaya sendiri,” lanjut Ketua Umum PBNU ini. Bisa dibayangkan, berapa biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk bersilaturrahim dengan kiai se antero tanah air ini.

Yang menarik dari sosoknya adalah kegigihan dalam membentengi aqidah dan amaliyah Ahlussunnah wal Jamaah, baik di tanah air bahkan hingga ke Saudi Arabia. Dia juga sangat tidak terima kalau keberadaan kiai dan santri serta pesantren diremehkan. Manakala kalangan orang berpendidikan yang terhimpun dalam Partai Masyumi memandang sebelah mata terhadap otoritas kiai, Mbah Wahab tidak segan-segan untuk keluar dari partai yang menjadi representasi umat Islam kala itu.

Saat para kiai dan kalangan pesantren kurang pede dan diimbangi dengan provokasi kalangan yang mengklaim dirinya sebagai Islam modernis, dengan lantang Mbah Wahab mengatakan: “Saya hanya butuh seorang pemuda untuk menemani, cukup satu sebagai sekretaris saya. Selanjutnya, kau akan lihat apa yang akan terjadi.”

Itu adalah diantara kematangan kalkulasi yang dilakukan Mbah Wahab. Setelah NU menjadi partai mandiri dan bertarung pada Pemilu 1955, ternyata suara yang dikumpulkan melebihi prediksi berbagai kalangan, bahkan internal NU sekalipun.

Dengan rentang yang lumayan panjang, Mbah Wahab merasakan betul pahit getirnya hidup di dunia politik. Ini pula yang harusnya jadi teladan bagi warga dan pemimpin NU maupun bangsa Indonesia. Saat menjadi orang pertama yang memiliki otoritas penuh di NU dan partai politik, selaksa sanjungan dan cercaan mengiringi kiprahnya.

Hampir bisa dikatakan, sepanjang hidupnya, perhatian, pemikiran, harta dan tenaganya dicurahkan untuk mewujudkan cita-cita Islam Aswaja melalui Nahdlatul Ulama. Tidak heran jika Kiai Wahab tidak pernah absen selama 25 kali penyelenggaraan Muktamar NU.

Dalam khutbah iftitah terakhir sebagai Rais ‘Am, Kiai Wahab sempat berharap: “Supaya NU tetap menemukan arah jalannya didalam mensyukuri nikmat karunia Allah SWT sebagai suatu partai terbesar (dalam arti besar amal shaleh dan hikmahnya kepada bangsa dan negara), melalui cara-cara yang sesuai dengan akhlak Ahlus Sunnah wal Jamaah.”

Pada kesempatan itu pula, beliau berpesan agar kaum nahdliyin tidak semuanya terseret ke dalam dunia politik dan masih berpegangan kuat dan mempunyai jiwa pendirian Nahdlatul Ulama 1926.

Sederet nama dan kiprah besar, kadang memang tak memerlukan “panggung” apalagi “baju” ataupun gelar yang akan disandingkan diantara kebesaran namanya. Kiai Wahab Chasbullah telah menorehkan prestasi yang tak terbantahkan bagi eksistensi jam’iyah dan bangsa ini. Toh, hingga kini gelar pahlawan tidak disandingkan dengan namanya.

Bila memang dirasa layak, itu bukan tugas Kiai Wahab untuk memprosesnya. Tugas dan dedikasi beliau telah paripurna dan kita bisa nikmati hingga kini. Tugas selanjutnya adalah bagi generasi muda dan anak bangsa untuk “sekedar” memprosesnya menjadi pahlawan nasional. Tentunya ini tugas teramat “ringan” dan tidak berbiaya. Masalahnya, siapa yang akan meluangkan waktu untuk itu? Saifullah an-Nawawi

BACA JUGA LIPUTAN SELENGKAPNYA:

Refleksi (hal 8)
Ummurrisalah:
- Kiai Wahab Chasbullah Pahlawan Nasional (hal 10)
- Jalan Panjang Kiai Wahab (hal 13)
- Khidmat Tanpa Pamrih Kiai Tiga Jaman (hal 17)
- Jalan Berliku Meraih Gelar Pahlawan (hal 22)
- Pendiri NU Yang Sebenarnya (hal 26)

Ihwal: Donor Darah, Aksi Sosial Tak Ternilai (hal 33)
Liputan Khusus: Mencetak Kader Pembela Aswaja (hal 36)
Bahsul Masail: Tanda Hitam di Kening Rasulullah? (hal 40)
Mimbar Aula: Merefleksikan Bencana Alam (hal 44)

Nuansa: Monumen Resolusi Jihad (hal 49)
Kantor PCNU Kota Surabaya (dulu Kantor PBNU) di Jalan Bubutan menjadi saksi sejarah dalam membakar spirit juang pertempuran 10 Nopember 1945. Di kantor inilah, inisiasi Resolusi Jihad Fisabilillah dicetuskan dan kini telah diresmikan menjadi monumen. Seperti apa kejadiannya?

Kancah Dakwah: Lika-Liku Mengentas Pelacuran di Surabaya (hal 53)
Mengentas masalah pelacuran bagaikan benang kusut. Diurai satu, masih ada yang lain. Lebih-lebih jika pelacuran itu melibatkan beberapa kepentingan politik dan kekuatan ekonomi tertentu. Namun bukan berarti tidak ada jalan yang bisa ditempuh. MUI Jatim bersama para da’i telah melakukannya.

Pendidikan: MTs NU 10 Penawaja Kendal (hal 57)
Ibrah: Cara Kiai Hamid Mengajari Shalat (hal 60)
Pesantren: PP Mambaul Hikam Mantenan Blitar (hal 61)
Tokoh: Drs H Muhammad Sudjak, M.Ag (hal 65)
Wawasan: Belajar dari Fenomena Sudarminto (hal 69)
Uswah: KH Sullam Syamsun (hal 72)

Khazanah: Rumput Fatimah (hal 76)
Ketika musim haji usai, biasanya banyak oleh-oleh khas Arab yang di bawa ke tanah air. Salah satunya adalah rumput Fatimah. Khasiat tumbuhan ini sudah dipercaya secara turun-temurun namun kerap ditentang kalangan medis. Kenapa?

Muhibah: Pesona Peninggalan Kerajaan Saba’ (hal 79)
Dalam al-Qur’an, banyak sejarah penting yang dikisahkan. Tak sedikit yang mengispirasi kemajuan masa kini dan mempersembahkan peninggalan yang mempesona. Salah satunya adalah pusat peradaban Kerajaan Saba’ yang masih dapat dikenali. Bagaimana keadaannya saat ini?

Aktualita: Fasilitas Baru di Makam Gus Dur (hal 83)
Kecintaan masyarakat kepada mantan presiden ini demikian tinggi. Hilir mudik peziarah seakan tak pernah putus datang ke Pesantren Tebuireng Jombang. Memberikan fasilitas pelengkap adalah sama dengan menghormati mereka.

Rehat: Khofifah Indar Parawansa (hal 87)
Dirasah: Signifikansi Pendidikan Anti Terorisme (hal 88)
Sekilas Aktivitas (hal 90)

Senin, 31 Oktober 2011

AULA Edisi Oktober 2011


Beda Hari Raya, Sampai Kapan ?

Lebaran Idul Fitri yang lalu masih menyisakan masalah hingga kini. Betapa peralatan dan teknologi canggih yang telah dimiliki pemerintah dan beberapa Ormas Islam ternyata belum mampu menjadikan umat Islam satu kata. Hanya karena beda cara, lebaran pun berbeda. Bila hal itu diteruskan, empat kali hari raya lagi akan berbeda lagi.

YUSUF, warga Perumahan Kepuh Permai, Waru, Sidoarjo adalah contoh orang yang bingung karena perbedaan hari raya. Sebagai orang yang dibesarkan dari keluarga NU ia seharusnya mengikuti petunjuk PBNU untuk berhari raya pada hari Rabu (31/8). Namun apa yang dilakukan oleh pemuda yang telah cukup lama ‘pindah pergaulan’ itu malah terdengar aneh. Pada hari Selasa (30/8) ia telah tidak berpuasa, karena mengikuti Muhammadiyah, tapi untuk shalat Id baru dilakukan esok harinya, mengikuti PBNU dan pemerintah. Tentu talfiq model Yusuf ini tidak dapat dibenarkan. Namun oleh karena kebingungan, hal yang terasa aneh itupun dapat terjadi.

Yah, perbedaan awal Ramadlan dan Hari Raya Idul Fitri memang selalu terjadi di Indonesia setiap tahun. Hanya saja biasanya terjadi pada komunitas kecil, seperti Islam Aboge di Madiun dan Nguling, Tarekat Kholidiyah di Peterongan Jombang, atau sebuah aliran di Sulawesi Selatan. Karena komunitas mereka hanya kecil sehingga dampak yang dirasakan masyarakat juga tidak seberapa.

Lain halnya ketika yang berbeda itu NU atau Muhammadiyah, dampak yang dirasakan akan luar biasa, karena keduanya merupakan Ormas terbesar dan memiliki jamaah yang banyak. Terlebih NU yang mempunyai basis massa riil hingga ke pelosok desa. “Kalau NU yang berbeda, pasti lebih ramai, karena massanya sangat banyak,” kata salah seorang kiai. Penatapan hari raya tahun 2011 adalah salah satu contohnya. Muhammadiyah memilih berbeda sikap dengan pemerintah dan Ormas-Ormas Islam lainnya.

Nah, bila dirunut lebih jauh, perbedaan hari raya terjadi karena perbedaan cara pandang. Meski bulan, bumi dan matahari hanya satu, namun karena berbeda cara menilai, berbeda pula hasil dan keyakinan yang didapatkan. Komunitas NU meyakini penentuan tanggal qamariyah harus dilakukan melalui rukyat, dengan dipandu sebelumnya oleh hisab. Muhammadiyah berkeyakinan tidak harus rukyat bil fi’li seperti NU, tapi cukup dilakukan dengan hisab. Perkara metode hisab juga banyak model, itu persoalan lain.

Komunitas Syi’ah lain lagi. Mereka sudah pathok bangkrong meyakini kalau bulan dan matahari di dunia ini hanya satu, sehingga hari jatuhnya tanggal juga harus sama di seluruh dunia. Mereka pun menunggu keputusan dari Iran sebagai induknya. Sebaliknya, komunitas salafi malah berprinsip hidup mati apa kata Saudi Arabia. Menurut mereka, Arab Saudilah yang paling tepat untuk memutuskan kapan umat Islam di seluruh dunia harus memulai Ramadlan dan berlebaran. Sementara para penganut Islam Aboge telah memiliki cara tersendiri dalam menetapkan hari raya.

Ketika perbedaan hari raya terjadi, banyak orang ‘berteriak’ agar para pemimpin umat dapat menyatukan pendapat dalam menentukan hari raya, demi umat. Cara yang ditawarkan adalah dengan menyamakan metode terlebih dahulu. Persoalannya, menyatukan pendapat yang telah menjadi keyakinan kuat bukanlah persoalan mudah. Namun bukan berarti tidak penting untuk dilakukan.

Sebab di tengah perbedaan hari raya selalu muncul tangan-tangan jahil yang ingin memanfaatkan kesempatan. Dalam hari raya 1432 yang lalu misalnya, muncul isu pemerintah Arab Saudi telah meminta maaf kepada kaum muslimin di seluruh dunia atas kekeliruannya menetapkan hari raya pada tanggal 30 Agustus 2011. Tidak hanya meminta maaf, pemerintah Arab Saudi, kata isu itu, juga bersedia mengganti seluruh kerugian yang ditimbulkan atas kekeliruan tersebut. Nah, hebat kan, si penyebar isu tersebut?

Ketika isu itu dilacak di internet, si pembuat isu menyatakan sumber berita adalah siaran berita dari Al-Jazeera yang berbahasa Arab. Namun ketika didengarkan dengan seksama, ternyata berita yang dimaksud tidak ada kaitan. “Penyebar isu itu adalah orang Yahudi, setelah saya lacak. Di Indonesia, yang pertama kali melemparkan isu tersebut adalah situs anu,” kata Gus Habib, yang mengaku telah melakukan ‘pengejaran’ di dunia maya.

Pada bagian lain juga terdengar isu (meski sayup-sayup) sebaliknya. Konon, Pemerintah Indonesia, menurut isu itu, juga meminta maaf atas keputusannya menetapkan hari raya tanggal 31 Agustus 2011. Nah?

Kalau para pemimpin umat tidak segera duduk satu meja membahas jalan keluar masalah tersebut, bukan tidak mungkin hari raya tahun depan akan muncul isu yang lebih sensitif lagi. Apalagi diperkirakan (hampir pasti) tiga hari raya yang akan datang akan berbeda lagi.q Mohammad Subhan

Liputan selengkapnya baca:

Refleksi: Zaman (hal 8)
Ummurrisalah:
- Beda Cara, Beda Hari Raya; Sampai Kapan? (hal 10)
- Isu Seputar Permintaan Maaf Arab Saudi (hal 13)
- Semua Bermuara pada Sidang Itsbat (hal 18)
- Wujudul Hilal yang Usang (hal 22)
- Evolusi Itsbat Versi Muhammadiyah (hal 26)
Liputan Khusus: Sidoarjo Memahami SK Wilayah (hal 29)
Ihwal: Soal Dolly, Gubernur Minta Maaf (hal 34)
Bahtsul Masail: Nadzar yang Terlupa (hal 38)
Mimbar Aula: Khutbah Idul Adha 1432 H (hal 43)
Muhibah: Perkenalkan Islam pada Mereka yang Antipati (hal 48)
Kancah Dakwah: Ketika Polisi Rajin Mengaji (hal 53)
Pesantren: PP Al-Makkiyyah Darussalam Jombang (hal 57)
Pendidikan: Universitas Islam Madura (UIM) (hal 61)
Tokoh: Drs H Moh Salim Al-Djufri, M.Sos.I (hal 65)
Khazanah: Khasiat si Merah, Lebihi Bentuk Fisiknya (hal 69)
Dirasah: Bulan dan Kalender Islam (hal 73)
Rehat: Merawat Kopiah Gus Dur (hal 81)
Uswah: KH Wahib Wahab (hal 84)
Iptek: Memulung Sampah di Luar Angkasa (hal 87)
Sekilas Aktivitas (hal 90)

Kamis, 15 September 2011

AULA September 2011

Halal Bihalal Pun Digugat


Seperti orang kurang pekerjaan, ada saja yang diusili. Dengan kemampuan ilmu agama yang terbatas, semua orang disalahkan, dibid’ahkan dan ditakut-takuti bakal masuk neraka. Kalau ingin masuk neraka, ikutilah dia. Tapi kiai NU sudah terbiasa dengan keusilan mereka itu. Sudah hafal.

TELAH menjadi tradisi yang melekat pada diri bangsa Indonesia, ketika menjelang Hari Raya Idul Fitri, jutaan orang berduyun-duyun kembali ke kampung halaman. Kegiatan itu biasa disebut mudik. Karena orang yang memiliki kesamaan keinginan itu berjumlah sangat banyak, biasanya arus mudik menjadi padat. Meski terkesan sulit dan melelahkan dalam perjalanan, namun tetap terasa nikmat. Terbukti, setiap tahun mereka mengulangi ‘kesengsaraan’ itu lagi dan di jalan yang sama lagi. Sengsara membawa nikmat.

Setiba di kampung halaman, tujuan pertama adalah sungkem kepada kedua orang tua. Sungkem dilakukan sebagai tanda bakti dan penghormatan anak kepada kedua orang tua. Biasanya dilakukan dengan berjabat tangan, posisi anak lebih rendah, anak mencium tangan orang tua sambil meminta maaf. “Ngaturaken sedaya kelepatan, nyuwun pangapunten, Ibu,” begitu ucapan yang biasa meluncur dari bibir sang anak.

Setelah melakukan sungkem pada kedua orang tua, biasanya dilanjutkan dengan sungkem saudara kepada yang lebih tua. Dilanjutkan kepada paman, bibi dan saudara kedua orang tua yang lain. Setelah itu dilanjutkan dengan unjung-unjung. Maksud dari unjung-unjung adalah saling mengunjungi saudara dan tetangga untuk bersilaturahmi dan saling meminta maaf. Rumah orang yang dikunjungi biasanya telah menyediakan makanan sebagai jamuan. Mereka pun biasanya akrab saling bercerita karena telah lama tidak bersua. Kadang pada hari kedua dilanjutkan dengan halal bihalal keluarga untuk menyambung persaudaraan bani (anak cucu) tokoh tertentu. Inti acara tetap sama, menyambung silaturahmi dan saling bermaafan.

Seminggu kemudian biasanya dilakukan halal bihalal dalam skala lebih besar dan formal. Kadang dilakukan oleh instansi pemerintah, lembaga swasta tempat bekerja atau lembaga pendidikan maupun organisasi sosial kemasyarakat serta partai politik. Agenda acara juga tidak jauh berbeda: silaturahmi dan saling bermaafan. Dalam halal bihalal formal ini biasanya dilakukan serangkaian acara seremonial berupa pengajian dan diakhiri dengan saling bermaafan yang disimbolkan dengan berjabat tangan.

Itulah budaya khas masyarakat Indonesia yang telah terjadi selama berabad-abad. Semuanya bernilai baik karena bersumberkan pada anjuran umum agama tentang taat kepada orang tua, menjalin silaturahmi, saling bermaafan dan sedekah. Tidak dipungkiri, kadang memang ada ekses negatif, semacam berjabat tangan dengan lain jenis yang bukan muhrim. Namun persoalan jabat tangan bukanlah keharusan dan berjabat tangan tidak harus saling bersentuhan kulit. Dalam budaya Indonesia, dengan merapatkan kedua telapak tangan di dada sambil kepala sedikit membungkuk, itu artinya sudah berjabat tangan.

Anehnya, masih saja ada orang yang tidak sependapat dengan tradisi yang baik itu. Lihat saja di banyak situs mereka. Ada yang berdalih, tidak ada tuntunan dari Rasulullah SAW, bid’ah, tidak ada manfaatnya, sampai hanya buang-buang waktu. Adapun acara halal bihalal seperti yang sering kita saksikan di negeri kita ini maka hukumnya adalah BID’AH yang sesat. Begitu bunyi salah satu penyataaan mereka.

Ada lagi. Memang tidak ada dalil dari Al-Quran ataupun As-Sunnah tentang halal bihalal. Mudah-mudahan kita tidak meyakininya sebagai bagian dari ibadah, karena itu tergolong sebagai perbuatan bid’ah, yang memperoleh ancaman dari Rasulullah SAW. Atau Tradisi itu sendiri jika tidak memiliki landasan dalam agama sebaiknya dimusnahkan saja, atau Lebih-lebih acara saling berkunjung saat hari raya itu banyak membuang-buang waktu secara percuma. Sedangkan perempuan tidaklah dibolehkan sering keluar rumah. Kalau dirunut lebih jauh, pemikiran mereka adalah model kaum wahabi yang berkeyakinan semua yang tidak ada tuntunan langsung dari Rasulullah dianggap bid’ah dan masuk neraka.

Menanggapi tentang penolakan itu, KH Agoes Ali Masyhuri, Pengasuh Pondok Pesantren Bumi Sholawat Tulangan Sidoarjo, berpesan agar warga NU tetap menjaga, merawat dan melestarikan tradisi yang telah ada dengan memandangnya sebagai kearifan lokal. Halal bihalal, menurut Gus Ali, adalah khazanah Islam khas Indonesia yang tidak ditemukan di belahan dunia manapun. Dan uniknya, ini tidak bertentangan dengan syariat Islam. “Silakan dicarikan dalil yang mengemukakan bahwa halal bihalal bertentangan dengan syariat. Saya siap berdebat dan menjelaskan hal ini dengan mereka,” tantang Gus Ali. Mohammad Subhan

Dapatkan Majalah Aula Edisi September 2011 dengan topik utama “HALAL BIHALAL PUN DIGUGAT” yang meliputi:
- Halal Bihalal Pun Digugat (hal 10)
- Mudik dengan Segala Rangkaiannya (hal 13)
- Tradisi Lebaran Tak Bertentangan Syariat (hal 17)
- Pertahankan Khazanah Islam Lokal (hal 24)
- Hargai Tradisi Kreasi Ulama (hal 27)

Dapatkan juga liputan lainnya:
Liputan Khusus: Memahami Surat Keputusan Wilayah (hal 29)
Ihwal: Pengajian Model Baru (hal 33)
Nuansa: Haul Saiyidatina Khadijah (hal 36)
Bahtsul Masail: Menyerahkan Hak Arisan dengan Ganti Rugi (hal 39)
Mimbar Aula: Evaluasi Taqwa (hal 43)
Muhibah: Muslim Serumpun yang Beda Nasib (hal 48)
Kancah Dakwah: Meretas Kader di Kampung Terpencil (hal 53)
Pesantren: PP Amanatul Ummah Pacet (hal 57)
Pendidikan: MA Matholi’ul Anwar Lamongan (hal 61)
Tokoh: Dr KH A Muhaimin Zen, MA (hal 65)
Uswah: KH Abdul Mughni (hal 70)
Khazanah: Si Putih dengan Aneka Khasiat (hal 73)
Rehat: Agus Sunyoto & Zainal Fanani (hal 78)
Memori: Napak Tilas Perjuangan di Pojok Gus Dur (hal 80)
Resensi: Menimbang Sejarah dan Ajaran Tarekat (hal 86)
Sekilas Aktivitas (hal 90)

Rabu, 24 Agustus 2011

Aula Agustus 2011



Berharap Berkah dari Kaum Sufi

Ketika dunia makin tidak tenteram, kerakusan manusia makin tak terkendali dan keadilan makin sulit didapatkan, para tokoh agama melirik kaum sufi sebagai alternatif jalan keluar. Ternyata para pemimpin tarekat di tingkat internasional jauh dari kesan yang selama ini terlihat di tingkat lokal. Mereka alim, intelek dan berwibawa. Pakaian mereka pun bagus-bagus.

PERTENGAHAN bulan Juli lalu, PBNU menggelar kegiatan besar bertajuk Al-Multaqo as-Sufy al-Alamy (Konferensi Sufi Internasional) di Jakarta. Dalam kegiatan yang dimotori oleh Jam’iyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (Jatman) itu hadir para ulama sufi dan mursyid tarekat dari dalam dan luar negeri. Di antaranya Syaikh Hisyam Kabbani (Amerika, Khalifah Naqsyabandi Haqqani), Syaikh Rojab Dib An-Naqsyabandi (Syria, Mursyid Tarekat Naqsyabandi), Habib Zaid bin Abdurrahman bin Yahya (Yaman), Syaikh Abdurohim Ar-Rukainy (Sudan, Mursyid Tarekat Qur’aniyah As-Sunniyah Al-Muhammadiyah Ar-Rukainiyah), Syaikh Jibril Fuad Al-Hadad (Brunei, penanggung jawab dakwah Asia Tenggara Naqsyabandi Haqqani), Syaikh Fuad Suhaimi (utusan khusus Pemimpin Libya Moammar Qadafi), dan Syaikh Musthafa Mas’ud (Amir Naqsyabandi Haqqani Indonesia). Dari dalam negeri hadir para mursyid tarekat-tarekat mu’tabarah di bawah naungan NU. Mereka berjumlah 50 orang. Ditambah para pengurus Idaroh Aliyah dan Idaroh Wustho Jatman se-Indonesia sehingga jumlah mereka sekitar 300 orang. Hadir pula seorang pengamat dari Jepang Prof Tonaga.

Pertemuan yang merupakan kelanjutan dari pertemuan serupa di Nablus, Libya pada Pebruari lalu itu bertujuan untuk menggali potensi yang terkandung dari nilai-nilai ajaran tasawuf dan tarekat untuk membantu mewujudkan perdamaian dunia yang semakin jauh dari angan. “Mudah-mudahan pertemuan ini akan terus berlanjut menjadi kekuatan tarekat yang tersebar di seluruh dunia sebagai elemen penting membangun peradaban manusia,” H As’ad Said Ali, Ketua Panitia Pelaksana menaruh harap.

Rais Am PBNU, Dr KH MA Sahal Mahfudz, menilai penggalian kembali nilai-nilai tasawuf untuk membantu perdamaian dunia saat ini sangat penting. Apalagi dunia sedang dilanda dekadensi moral, pornografi, korupsi, pelanggaran nilai-nilai dan norma agama Islam. Stigma negatif juga semakin melekat pada umat Islam, akibat sikap radikal yang dilakukan sebagian kecil umat Islam. “Pendekatan tasawuf yang mengedepankan kejernihan hati dan kebenaran universal menjadi sangat penting dilakukan,” tutur Kiai Sahal. Apalagi di Indonesia, kata Kiai Sahal, tasawuf turut berperan penting dalam membebaskan diri dari penjajahan.

Ketua Umum PBNU, Dr KH Said Aqiel Sirodj, MA, menjelaskan, kembali kepada nilai-nilai ajaran tasawuf saat ini adalah sangat penting. Orang Barat modern biasanya berpikir serba materi. Tapi pasca modern mereka mengakui pentingnya aspek spiritual, kalau tidak ingin menjadi kain bila dzakirah alias robot. Orang NU dikenal memiliki toleransi yang tinggi karena di dalamnya mengalir nilai-nilai tasawuf yang kuat. “Tanpa tasawuf orang akan sulit toleran,” tegasnya.

Ia mencontohkan kelompok radikal Wahabi-Salafi yang sulit berinteraksi dengan masyarakat sekitar, karena tidak memiliki akar tasawuf. Mereka selalu menyalahkan kelompok-kelompok lain yang tidak sejalan dengan mereka. Bahkan, konon, menurut mereka, berzina masih lebih baik daripada makan makanan yang disuguhkan dalam tahlilan. Na’udzubillah min dzalik!

Menurut asisten Sekjen Multaqo Sufi Asia itu, NU-lah yang paling paham ber-Islam dan bernegara, sementara mereka masih berkutat pada persoalan klasik yang belum juga menemukan jawaban. “NU paling awal selesai membahas apa itu Islam dan apa itu negara,” kata Kiai Said. Dan semua itu, menurut Kiai Said, karena NU telah lekat dengan ajaran-ajaran tasawuf yang dibawa oleh Walisongo.

Walhasil, dalam pertemuan itu dibahas tentang pentingnya mengupayakan perdamaian dunia yang digali dari nilai-nilai ajaran tasawuf. Disamping itu dirumuskan pula langkah bersama untuk mengurangi fanatisme kelompok, menghimpun silsilah sanad para mursyid dari semua aliran tarekat di seluruh dunia, serta saling bertukar informasi seputar dunia tasawuf dan tarekat dari berbagai negara.

Syaikh Rojab Dib An-Naqsyabandi justru berharap lebih dari itu. “Kami berharap pertemuan ini dapat memunculkan sesuatu yang menjadi daya dobrak dunia, seperti dalam Konferensi Asia Afrika (KAA),” kata Syaikh Rojab. Sebab dulu, menurut murid terdekat Syaikh Ahmad Kaftaro itu, Indonesialah negara yang paling berperan membantu negara-negara Arab untuk bangkit dari penjajahan.

KAA, menurut Syaikh Rojab, adalah murni ide pemikiran para ulama. Ide dasar dari KH Abdul Wahab Hasbullah, salah seorang tokoh NU, yang disampaikan kepada Bung Karno. Bung Karno menyetujui ide tersebut. Mereka yang datang pada konferensi itu juga para ulama. Termasuk Syaikh Ahmad Kaftaro yang menjadi utusan Syria. Oleh karena itu, ia berharap agar kali ini Indonesia kembali menjadi pelopor gerakan itu lagi. M Subhan

Baca ulasan lengkap tentang Kaum Sufi Membangun Peradaban Baru di Majalah AULA edisi Agustus 2011 :
- Berharap Berkah dari Kaum Sufi (hal 10)
- Terpersona Tarian Sufi (hal 13)
- Deklarasi Multaqos Shufi (hal 15)
- Tarekat NU Berstandar (hal 17)
- Tidak Semua Sepakat Konferensi Sufi (hal 20)
- Tiap Orang Butuh Tarekat (hal 24)

Wawancara: Habib Luthfy: Intinya NU Ya Tarekat (hal 27)

DAPATKAN JUGA LIPUTAN MENGENAI :
Refleksi: Tiga Karung (hal 8)
Ihwal: Padukan Akidah dan Tasawuf (hal 31)
Liputan Khusus: Laporan dari Kongres Pertama Pergunu (hal 34)
Bahtsul Masail: Lailatul Qadar dan Zakat Profesi (hal 38)
Mimbar Aula: Menyelami Makna Idul Fitri (hal 43)
Muhibah: Berjuang Mendirikan Masjid di Philadelphia (hal 49)
Uswah: KH Fatchurrahman Kafrawi (hal 52)
Pesantren: Ponpes Al-Luwung Sragen (hal 56)
Kancah Dakwah: Dakwah yang Mengudara (hal 61)
Pendidikan: MTs NU Sunan Kalijaga Batang (hal 64)
Khazanah: Mengawali Buka dengan Semangka? (hal 67)
Dirasah: Pendidikan Karakter Berbasis Pesantren (hal 70)
Rehat: Moh Ma’ruf Syah, SH, MH (hal 78)
Aktualita: Beruntung Indonesia Punya Muslimat (hal 80)
Sekilas Aktivitas (hal 90)

Senin, 04 Juli 2011

IKHTIAR MENAMBAH KECERDASAN ANAK (Belajar Dari Ulama Salaf)

Oleh: Muhyiddin Abdushshomad *)

A.Mukaddimah

Akal adalah salah satu karunia Allah SWT yang sangat berharga yang diberikan kepada manusia. Potensi yang dimiliki akal itu mengantarkan manusia menjadi makhluk yang cerdas, dapat mengetahui segala macam persoalan, sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh makhluk Allah SWT yang lain.

Namun potensi akal tersebut itu tidak serta merta menjadikan manusia cerdas dan memiliki pengetahuan. Tetap harus ada usaha untuk mencapai kecerdasan tersebut, memberdayakan akal disamping mengasahnya dengan belajar berbagai macam ilmu pengetahuan. Tanpa itu, maka potensi yang dimiliki tersebut menjadi sia-sia bahkan akan menjatuhkan manusia ke dalam posisi yang sangat rendah.

Dalam hal mengasah kecerdasan ini, kita bisa belajar dari ulama salaf. Sejarah telah mencatat bahwa generasi Islam terdahulu telah banyak melahirkan manusia-manusia istimewa dengan kecerdasan dan pengetahuan yang luar biasa. Ulama-ulama salaf panutan kita semua adalah orang-orang yang dikaruniai oleh Allah SWT kecerdasan di atas rata-rata sehingga mereka mampu untuk membuat karya-karya yang spektakuler, yang dijadikan rujukan dari satu generasi ke generasi yang lain sampai saat ini.

Untuk sedikit mengetahui sejauh mana kecerdasan dan kemampuan ulama salaf di dalam menyerap berbagai ilmu yang mereka pelajari, simaklah fragmen di bawah ini:

Di antara ulama salaf yang terkenal kecerdasannya ialah Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150-204 H/ 767-820 M), yang lebih dikenal dengan Imam Syafi’i. Ia adalah salah seorang tokoh ulama’ salaf yang mempunyai otak cemerlang. Kala itu Muhammad bin Idris berumur 7 tahun sudah mampu menghafal keseluruhan isi al-Qur’an tanpa sedikitpun ada kesalahan (Al-Imam al-Syafi’i, hal. 32). Muhammad bin Idris melanjutkan mencari ilmu di Madinah kepada Imam Malik bin Anas pada umur 13 tahun. Pada saat menghadap Imam Malik bin Anas sembari bersimpuh dan menundukkan kepala sebagai simbol kesantunannya. Muhammad bin Idris menyampaikan maksud dan tujuannya datang kepada beliau sembari berkata, “Kami datang dari Makkah menghadap tuan guru bermaksud untuk menimba ilmu”. Jawab Imam Malik, “Dengan senang hati, aku menerima kehadiranmu, mungkin engkau perlu mencari teman untuk mencatat dan membacakan kitab Muwattha’ karanganku.” Lalu Muhammad bin Idris menjawab, “Maaf, Tuan Guru. Kami sudah hafal kitab karangan Tuan Guru tersebut.” Imam Malik menimpali, “Jika begitu, coba engkau baca!” Maka Muhammad bin Idris membaca kitab Muwattha’ (kitab yang memuat 3676 Hadits dengan sanadnya) secara hafalan di luar kepala. Setelah jelas bagi Imam Malik bukti hafalnya Muhammad bin Idris akan kitab Muwattha’ secara utuh, Imam Malik melanjutkan menguji Muhammad bin Idris dengan mencecar berbagai pertanyaan hukum yang pelik, beberapa pertanyaan yang diajukan kepada Muhammad bin Idris semuanya dijawab dengan tepat dan benar. Imam Malik berdecak kagum sambil berkomentar “Luar biasa, sebenarnya engkau sudah layak menjadi seorang Qadhi (pakar hukum)”. Padahal kala itu Muhammad bin Idris masih berumur 13 tahun. (Manaqib al-Syafi’i, juz. 1, hal. 100 dan 101).

Dan masih banyak lagi tokoh ulama salaf yang memiliki kecerdasan serta penguasaan ilmu luar biasa, bahkan multi disiplin ilmu. Di antara mereka selain ahli agama juga ahli matematika, filsafat, kimia, kedokteran dan semacamnya. Mereka inilah contoh orang-orang yang memiliki kecerdasan yang sukses dalam belajar.

B.Ikhtiar Menambah Kecerdasan Anak

Kecerdasan yang dimiliki ulama salaf bukan sesuatu yang didapat secara instan. Tetapi dengan usaha yang sungguh-sungguh, baik lahir ataupun batin.

1. Ikhtiar Lahiriyah

Di antara usaha lahiriyah yang mereka lakukan adalah:

a). Menjaga Kesehatan

Di dalam proses pembelajaran diperlukan kesehatan jasmani bagi seorang pembelajar karena fisik yang terganggu kesehatannya akan mengurangi kecerdasan seseorang. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk melestarikan kesehatan. Selain dengan mengatur pola makan, diperlukan olah raga agar fisik tetap dalam kondisi fit. Menurut Dr Nahrawi Abdussalam, Imam Syafi’i telah memberikan teladan kepada kita untuk senantiasa berolah raga guna menjaga kesehatan. (Al-Imam al-Syafi’i, hal. 35).

b).Mengatur Pola Makan dan Tidur

Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari menyatakan: “Bagi pembelajar dianjurkan mengatur pola makan dan minum, karena kenyang itu menjadikan malas untuk beribadah dan menambah berat badan. Di antara manfaat mengatur pola makan ialah kesehatan fisik dan mencegah dari berbagai macam penyakit”.

Yang dimaksud mengatur pola makan adalah makan secukupnya saja sekadar memenuhi kebutuhan asupan gizi dalam tubuh, dan yang dianjurkan ialah menghindari makan sampai terlalu kenyang. Wujudnya yang paling praktis adalah dalam bentuk puasa sunnah. Jadi, seorang pembelajar sangat dianjurkan rajin berpuasa, karena puasa itu menyehatkan.

Barang tentu anjuran untuk mengurangi makan dan tidur tidak ditujukan kepada anak yang lazimnya belum mampu melakukannya seperti anak yang masih dalam usia balita.

c). Mengkonsumsi Makanan yang Menguatkan Fungsi Otak.

Para ulama menganjurkan untuk mengkonsumsi beberapa jenis makanan yang menguatkan fungsi otak agar mudah menerima pelajaran dengan baik. Makanan tersebut adalah zabib, madu, dan lubban.

Kata Imam al-Zuhri (51-123 H), “Barangsiapa yang ingin mudah di dalam menghafal Hadits maka hendaklah sering makan zabib (kismis) 21 biji setiap pagi” (Al-Adab al-Syar’iyyah, juz. III, hal. 20).

Diriwayatkan bahwa Imam al-Zuhri suka minum madu dan berkata bahwa, “Madu itu mencerdaskan.” (Al-Adab al-Syar’iyyah, juz. III, hal. 22).

Kata Saiyidina Ali Karromallahu Wajhah, “Biasakan engkau makan lubban (sejenis getah) karena ia menguatkan jantung dan menghilangkan sifat pelupa.”

d). Memaksimalkan Semua Potensi Otak

Jika kita mempelajari karya ulama terdahulu, dalam berbagai macam disiplin ilmu yang mereka kembangkan, akan ditemukan dua bentuk penyajian, yakni dalam bentuk narasi dan gubahan syair (puisi). Pada pembahasan ilmu tauhid, fiqh, dan sebagainya dapat kita temukan dua bentuk penyajian ini. Bahkan disiplin ilmu yang rumit pun semisal nahwu, sorof, balaghah, mantiq dan lainnya, mereka gubah dalam bentuk syair (puisi) sehingga dapat menumbuhkan semangat, kebersamaan, dan terutama adalah suasana gembira dalam belajar, karena bisa dilantunkan dengan aneka lagu dan irama yang digemari pembelajar.

Dalam teori pendidikan terbaru mengatakan, otak akan bekerja optimal apabila kedua belahan otak ini dipergunakan secara bersama-sama. Otak kanan yang memiliki spesifikasi berpikir dan mengolah data seputar perasaan emosi, perasaan seni dan musik. Sementara otak kiri berfungsi mengelola data seputar sains, bisnis dan pendidikan. Para ulama terdahulu telah mampu mengkolaborasi antara materi ilmu pengetahuan dengan seni dalam waktu yang bersamaan.

2. Ikhtiar Batin

Seorang muslim tentu tidak hanya mengandalkan usaha lahiriyah semata, tetapi ikhtiar batin selalu dilaksanakan sebagai perwujudan keimanannya kepada Allah SWT. Inilah yang dilakukan oleh ulama salaf, sebagai rahasia sukses mereka membentuk individu yang memiliki kecerdasan luar biasa.

a). Banyak beribadah dan menghindari maksiat

Ibadah kepada Allah SWT tidak hanya sebagai sebuah kewajiban, tetapi sudah menjadi kebutuhan manusia, untuk kebaikan hidupnya di dunia dan akhirat. Di antara manfaat ibadah itu adalah sebagai nutrisi otak secara spiritual serta membersihkan hati dan pikiran. Jika pikiran sudah bersih maka ilmu akan dengan mudah terekam dalam memori otak kita.
Sementara al-Zarnuji seorang ahli ilmu pendidikan yang menjadi panutan kalangan pesantren memberi petunjuk dalam usaha meningkatkan kecerdasan seperti di bawah ini.

“Mengatur pola makan, shalat malam serta membaca Al-Qur’an menjadi sebab cepat hafal pelajaran” (Ta’lim al-Muta’allim, hal 41)

b). Berdo’a
Nabi SAW menyebutkan bahwa do’a adalah senjata orang yang beriman. Ini artinya, dalam setiap usahanya seorang mukmin tidak cukup hanya melakukan ikhtiar lahiriyah saja, tetapi juga harus berdo’a. Termasuk juga ikhtiar agar diberikan kecerdasan dan dibukakan fikiran. Setiap saat dan setiap waktu meminta kepada Allah SWT dimudahkan dalam belajar. Khususnya berdo’a pada malam hari setelah melaksanakan shalat tahajud.

Telah banyak do’a-do’a yang diajarkan ulama salaf. Di antaranya adalah:

Saiyid Hasan bin Shalih al-Bahar berkata, “Untuk kecerdasan dan kekuatan ingatan bacalah doa berikut ini:

“Ya Allah aku memohon kepada-Mu kecerdasan sebagaimana kecerdasan para Nabi, kekuatan hafalan sebagaimana hafalan para Rasul, dan mendapatkan ilham sebagaimana malaikat muqarrabin. Ya Allah, kayakanlah aku dengan ilmu, hiasilah diriku dengan sikap santun, muliakanlah aku dengan takwa dan elokkanlah hidupku dengan kesehatan lahir dan batin, Ya tuhan yang Maha Pengasih.” (Al-Manhaj al-Sawiy, hal. 233). Dibaca 3 kali setiap setelah shalat.

Syaikhona Cholil Bangkalan memberikan ijazah do’a yang harus dibaca oleh orang tua untuk anak-anaknya:

“Ya Allah, jadikanlah anak-anakku termasuk orang yang berilmu dan orang yang baik dan janganlah Engkau jadikan aku dan mereka termasuk orang-orang yang sengsara”. Dibaca 3 kali setiap setelah sholat.

Kecintaan orang tua kepada alim-ulama juga merupakan do’a. Di dalamnya terkandung harapan agar anak-anaknya kelak bisa men-jadi seperti ulama tersebut. (Mutiara Nasehat, KH. Abdullah Faqih, hal. 64-65).

C. Penutup

Setelah semua ikhtiar ini dilaksanakan, semua keputusan akhir kembali kepada Allah SWT. Manusia hanya berusaha, Allah SWT yang menentukan. Namun Allah SWT pasti akan melihat dan mempertimbangkan ikhtiar dan kesungguhan hamba-Nya. Ini adalah janji Allah SWT kepada hamba-Nya yang mau berusaha. Wallahu a’lam.q

*) Rais Syuriah PCNU Jember dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris) Antirogo Jember

Selaksa Manfaat dari Tanaman Safarjal



Manusia dituntut mengoptimalkan kondisi saat sehat untuk kegiatan yang bermanfaat. Untuk itu, banyak hal yang harus diperhatikan agar tubuh tetap prima. Mengkonsumsi buah jambu, bisa menjadi pilihan.

SUATU ketika, Thalhah RA menceritakan bahwasanya baginda Nabi Muhammad SAW bersabda: “Aku menemui Nabi SAW. Di tangan beliau ada buah safarjal. Kemudian beliau bersabda: Makanlah ini, karena buah ini bisa melembutkan hati.” (HR. Ibnu Majah).

Demikian pula dalam kitab Mu’jamul Kabiir 1/117 disampaikan berdasar riwayat Imam Yahya bin Yahya, dari Khalid bin Ma’dan bahwa Rasulullah bersabda: “Makanlah oleh kalian (wanita-wanita yang sedang hamil) jambu safarjal karena dapat mempercantik anak.”

Ada pula riwayat yang menyatakan, bahwa sekelompok masyarakat mengadu kepada Nabi Saw. Mereka mengeluh lantaran anak-anaknya yang tidak seberapa tampan dan cantik. Maka Allah SWT memberi wahyu kepada Nabi: “Perintahkanlah mereka agar memberi malam buah jambu safarjal kepada wanita-wanita yang hamil pada bulan ketiga dan keempat kehamilannya.”

Mudah Didapat dan Berguna
Nama buah safarjal mungkin agak aneh di telinga sebagian masyarakat kita. Namun ketika disebut bahwa buah itu sama dengan jambu biji (latinnya: Psidium Guajava), maka hampir semua mengenalnya dengan baik. Tidak jarang, tanaman ini tumbuh secara tidak sengaja di pekarangan rumah atau halaman.

Jambu biji memiliki kandungan vitamin C yang sangat tinggi. Malahan bisa tiga sampai enam kali lipat dibandingkan dengan buah jeruk. Vitamin C ini terkandung pada daging buahnya yang segar serta bijinya. Selain buahnya sebagai sumber Vitamin C, hampir semua bagian tanaman ini, terutama daun dan buah muda, dapat mengobati diare. Bahkan bagian ini dikatakan sebagai obat ampuh untuk disentri awal stadium dua.

Buah ini juga disebutkan mampu meningkatkan jumlah trombosit 100 ribu milimeter per kubik tanpa efek samping. Dari pengujian, peningkatan jumlah trombosit dapat tercapai dalam tempo 8-48 jam atau dua hari setelah ekstrak daun jambu biji digunakan. Luar biasa! Sebab dengan naiknya trombosit seseorang hingga batas normal, maka daya tahan tubuhnya juga akan kuat. Dengan demikian, penyakit demam berdarah yang menyerang bisa segera sirna.

Yang membanggakan, hasil lain dari pengujian pre-klinik mengindikasikan bahwa daun jambu biji tidak memiliki kandungan zat beracun. Sebaliknya, daun jambu biji memiliki komponen yang berkhasiat, yakni kelompok senyawa tanin dan flavonoid. Perlu diketahui, kedua senyawa tersebut dapat menghambat aktivitas pertumbuhan virus dengue.

Seperti disampaikan di depan, bahwa buah ini sarat manfaat. Hal itu tidak semata pada buah yang dimiliki, daun, ranting muda serta akarnya juga sangat berguna. Tak salah bila buah ini dijuluki dengan buah multi-manfaat. Daun digunakan untuk pengobatan diare akut dan kronis, perut kembung pada bayi dan anak, kadar kolesterol darah meninggi, haid tidak lancar, sering buang air kecil, luka berdarah dan sariawan.

Untuk memanfaatkan jambu biji sebagai obat diare dapat dilakukan dengan merebus 15–30 gram daun kering jambu biji dalam air sebanyak 150–300 ml. Perebusan dilakukan selama 15 menit setelah air mendidih. Hasil rebusan disaring dan siap untuk diminum sebagai obat diare. Di samping itu, bisa juga dengan memanfaatkannya dalam bentuk segar, diperlukan 12 lembar daun segar, dicuci bersih, ditumbuk halus, ditambah 1/2 cangkir air masak dan garam secukupnya. Hasil tumbukan diperas, disaring, lalu diminum. Agar terasa lebih nikmat dan tidak sepet, bisa juga ditambahkan madu.

Untuk pengobatan sariawan misalnya bisa dengan memotong segenggam daun dan satu jari kulit batang jambu biji sesuai keperluan, lalu mencucinya sampai bersih. Selanjutnya bahan-bahan direbus dalam satu liter air sampai mendidih. Setelah dingin, disaring. Ramuan inilah yang kemudian diminum.

Sementara untuk luka berdarah, bisa dengan mencuci terlebih dahulu daun jambu biji yang baru dipetik, lantas menggilingnya sampai lumat. Selanjutnya, menempelkannya pada luka dan membalutnya dengan perban. Gantilah perban dan ramuan tersebut 3 kali sehari sampai lukanya sembuh.

Sedangkan buahnya sendiri dapat digunakan untuk pengobatan kencing manis (diabetes mellitus), kadar kolesterol darah tinggi (hiperkolesterolemia) dan mengobati sembelit. Untuk mengobati penyakit tertentu, akan lebih baik bila buah jambu biji yang dagingnya berwarna merah. Bahkan belakangan ini buah jambu biji merah juga dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah trombosit bagi penderita demam berdarah.

Adapun ranting mudanya digunakan untuk pengobatan keputihan (leukoera). Sementara akarnya pun bisa digunakan untuk pengobatan disentri dengan cara merebus 15-30 gr daun segar atau 2,5-4,5 gr daun kering, lalu air rebusannya diminum. Sedangkan untuk pemakaian luar dengan merebus daun segarnya, lalu air rebusannya digunakan untuk mencuci luka. Atau bisa dengan menggiling daun segar halus, lalu membubuhkannya pada luka berdarah akibat kecelakaan dan benda tajam atau borok di sekitar tulang.

Demikianlah, manfaat yang bisa dipetik dari jambu biji. Bukan saja buahnya yang enak dimakan, namun juga mempunyai khasiat yang sangat berguna bagi kesehatan manusia. Dalam buku karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyebutkan bahwa sejenis jambu biji ini dikenal dengan nama safarjal atau quince. Mungkin inilah rahasia Allah di balik tetumbuhan yang diciptakan. Selamat mencoba pengobatan ala Rasulullah dengan tanaman safarjal. (s@if)

Sabtu, 25 Juni 2011

AULA Juli 2011



Sing waras ngalah. Mungkin itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan sikap para kiai dalam menghadapi kaum Wahabiyun di tanah air belakangan ini. Meski telah berkali-kali amaliah mereka dicaci-maki lewat radio dan buku, para kiai tidak memerintahkan Banser dan Pagar Nusa untuk menggeruduk mereka. Memang, padi yang berisi akan semakin merunduk. Hanya padi gabuk yang selalu mendongak ke atas, merasa lebih tinggi dan lebih hebat!

Telah sekian lama ada pihak-pihak yang sengaja “jualan” dengan menyerang amaliah yang telah menjadi tradisi sebagian besar kaum muslimin di Indonesia. Gaya jualan mereka pun bermacam-macam. Mulai dari yang halus dengan tanpa menyebut go-longan tertentu sambil mengatakan “saya belum tahu dalilnya”, sampai yang kasar dengan menyebut nama organisasi lain hingga membid’ah-kan dan mengkafirkan.

Amaliah yang selalu mendapatkan cacian itu adalah tahlil, ziarah kubur, manaqib, shalawat, haul, dst. Padahal amaliah itu telah sekian ratus tahun diamalkan oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia. Secara simbolik mereka tergambar sebagai warga Jam’iyah Nahdlatul Ulama, karena jumlah terbesar muslim Indonesia adalah penganut madzhab Syafi’i dalam Jam’iyah NU.


Baca ulasan lengkap tentang Hujjah-hujjah Amaliah di Bulan Sya’ban dan Ramadlan di Majalah AULA edisi Juni 2011 :
- Siapa yang Harus Belajar Lagi? (hal 10)
- Melihat Fakta di Depan Mata (hal 13)
- Dasar Amaliah di Bulan Sya’ban (hal 16)
- Penentuan Awal dan Akhir Ramadlan dengan Rukyah (hal 22)
- Hujjah Amaliah di Bulan Ramadlan (hal 25)

DAPATKAN JUGA LIPUTAN MENGENAI :

Refleksi: Kenthul-Kenthul (hal 8)
Liputan Khusus: Wahabi Semakin Tidak Punya Nyali (hal 32)
Ihwal: Menghargai Kiprah Pengurus Ranting (hal 36)
Bahtsul Masail: Otopsi Mayat Untuk Praktek Kedokteran (hal 39)
Mimbar Aula: Puncak Tawadlu’ dalam Mu’jizat Isra’ Mi’raj (hal 45)
Muhibah: Belajar Partisipasi Masyarakat ke India (hal 49)
Pendidikan: MTs Al-Azhary Banyumas (hal 53)
Pesantren: PP Al-Hidayat Magelang (hal 57)
Kancah Dakwah: Bentengi Mahasiswa dengan Aswaja (hal 61)
Aktualita: Selamat Berkongres Banom Baru (hal 65)
Dirasah: NU dan Bid’ah, Siapa Takut? bag 2 (hal 69)
Resensi: Shalat Kita Sudah Seperti Rasulullah (hal 71)
Khazanah: Buah Surga yang Cantik dan Berkhasiat (hal 75)
Rehat: Djamaluddin Malik & Fakhrillah Aschal (hal 80)
Uswah: KH Zainul Arifin (hal 84)
Sekilas Aktivitas (hal 90)

Sabtu, 04 Juni 2011

AULA Juni 2011


Para kiai Purworejo layak bersyukur. Meski telah sekian lama telinga dan hati panas mendengar pengajian dari radio MTA, toh akhirnya MTA Pusat telah meminta maaf dan berjanji akan mengubah dakwahnya menjadi lebih sopan. Tapi kini, mereka harus bersiap kecewa, karena akhirnya MTA tidak mengakui pernah meminta maaf. Para kiai pun dituntut untuk memendam kesabaran lebih dalam lagi. Sampai kapan?

Telah sekian lama beberapa kiai merasa resah dengan isi siaran radio MTA. Bungkusnya pengajian, namun isinya menghujat amaliah yang telah dijalani masyarakat sekian ratus tahun lamanya. Keluhan seringkali terdengar dari kiai Jawa Tengah bagian timur dan kiai Jawa Timur bagian barat. Yah, karena pemancar radio itu memang berada di dekat perbatasan Jatim-Jateng. Belakangan keluhan juga datang dari kiai di Jombang, karena suara pengajian itu dapat terdengar di radio Jombang. Namun dalam waktu sekian lama itu para kiai mampu menahan kekesalan hatinya.


Baca ulasan lengkap tentang Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) di Majalah AULA edisi Juni 2011 :
- Ketika MTA Makin Menggoda (hal 10)
- Polemik NU Purworejo dan MTA Berakhir ? (hal 12)
- Mereka Makin Berani (hal 16)
- Berdalih Kembali pada Al-Qur’an (hal 19)
- Slamet: Temui Pemimpin Mereka (hal 23)
- Wawancara dengan Sekretaris MTA (hal 26)

DAPATKAN JUGA LIPUTAN MENGENAI :

Refleksi: Desertir (hal 8)
Liputan Khusus: Pelajaran dari Pakah (hal 28)
Ihwal: Menakertrans Buka Peluang NU dan Santri (hal 36)
Bahtsul Masail: Hukum Ruqyah (hal 39)
Mimbar Aula: Rukun Islam dan Prinsip Dasar Syariat (hal 44)
Muhibah: Membongkar Persepsi Islam Phobia (hal 50)
Kancah Dakwah: Mempersiapkan Generasi di Wanayasa (hal 55)
Aktualita: Menyorot Kampung Idiot Ponorogo (hal 59)
Khazanah: Daging Kambing Tak Harus Dihindari (hal 63)
Pesantren: Ponpes Edi Mancoro Tuntang, Semarang (hal 66)
Tokoh: H Mahmud Ali Zain (hal 74)
Uswah: KH M Arwani Amin Kudus (hal 78)
Rehat: Husnul Yaqin dan Suwito (hal 84)
Kesehatan: Jangan Biarkan Hipertensi Ganggu Jantung (hal 86)
Sekilas Aktivitas (hal 90)

Kamis, 28 April 2011

AULA Mei 2011



Rencana pembangunan PLTN di Indonesia selalu menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Bisa jadi menurut kajian keilmuan pembangunan PLTN sudah cukup siap dilakukan, tapi secara budaya, nanti dulu. Proyek itu tidak main-main. Sementara budaya sembrono masih lekat di tengah masyarakat. Kilang minyak saja bisa terbakar berulang kali di tempat yang sama. Bagaimana jika tenaga nuklir yang meledak?

Baca ulasan lengkapnya di Majalah AULA edisi Mei 2011.
- Maju Mundur Soal Nuklir (hal 10)
- Nuklir dalam Pertimbangan (hal 14)
- Lebih Dekat ke Lokasi PLTN (hal 18)
- PLTN Muria Haram (hal 22)
- Ketika Bobot Mafsadah Lebih Berat (hal 25)

DAPATKAN JUGA LIPUTAN MENGENAI :

Refleksi: Tetamu (hal 8)
Aktualita: Ketika Film Banser Dipersoalkan (hal 29)
Nuansa: Berdayakan Perempuan dengan Aksi Nyata (hal 35)
Ihwal: Selamatkan Aktifitas dan Aset NU (hal 39)
Bahtsul Masail: Seputar Jual Beli Cek (hal 42)
Mimbar Aula: Menyikapi Globalisasi (hal 47)
Muhibah: Optimalisasi Potensi Umat ala Negeri Singa (hal 50)
Kancah Dakwah: Didominasi Salafi, Masjid Tak Berdzikir (hal 56)
Pesantren: Ponpes Al-Musthofa Kendal (hal 60)
Ibrah: Memoles Sinema dengan Dakwah (hal 64)
Khazanah: Kismis; Si Mungil untuk Segudang Manfaat (hal 67)
Wirausaha: Batik Madura yang Kian Mempesona (hal 71)
Tokoh: Drs A Ma’ruf Asrori (hal 75)
Uswah: KH Muhammad Syarqawi (hal 79)
Rehat: Ustadz H Soleh Qosim, M.Si (hal 84)
Wawasan: Menyikapi Kegarangan Puritanisme (hal 85)
Sekilas Aktivitas (hal 90)

Selasa, 01 Maret 2011

AULA Maret 2011



Tempat pelacuran adalah penyakit masyarakat. Di sana banyak bersarang penyakit dan tindak kriminal, mulai dari penyakit moral hingga penyakit fisik. Semua orang menyadari itu. Tapi aneh, beberapa orang malah merasa keberatan bila tempat itu dibersihkan. Mengapa?

Baca ulasan lengkap tentang ikhtiar menjaga moral bangsa dengan menutup lokalisasi DOLLY di Surabaya, yang merupakan lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Mungkinkah? Apa saja kendalanya?
- Siapa Berani Menutup Dolly (hal 10)
- Banyak Orang Menikmati Upeti (hal 14)
- Tidak Gampang Menutup Lokalisasi (hal 22)
- Sudah Saatnya Relokasi (hal 24)
- Jakarta Berani, Kenapa Surabaya Tidak? (hal 26)
- Ini Perintah Agama (hal 28)

DAPATKAN JUGA LIPUTAN MENGENAI :

- Refleksi: Dosa (hal 8)
- Liputan Khusus: Mengunjungi Penulis Buku Putih (hal 31)
- Ihwal: Semarak 88 Tahun NU (hal 35)
- Aktualita: Akhir Pencarian President HBNO (hal 39)
- Bahtsul Masail: Seputar Ahmadiyah (hal 43)
- Mimbar Aula: Mengenal Metode Dakwah Nabi (hal 49)
- Kancah Dakwah: Laporan dari Pertemuan Alumni Saiyid Maliki (hal 53)
- Pendidikan: MINU Ngingas Sidoarjo (hal 57)
- Alam Islami: Efek Domino yang Membakar Timteng (hal 61)
- Wirausaha: Bisnis Jamur yang Bikin Makmur (hal 65)
- Wawasan: Menggagas Maslahah Aqliyah (Bag. 2-habis) (hal 68)
- Muhibah: Peluang Studi di New Zealand (hal 74)
- Rehat: Mbah Muchith & Habib Salim Assyatiri (hal 78)
- Tokoh: Drs KH Kholilurrahman, SH, MSi (hal 80)
- Nasional: Agama Tak Mengajarkan Kekerasan (hal 85)
- Sekilas Aktivitas (hal 90)

Rabu, 16 Februari 2011

Sosok dan Janji Ketua Umum GP Ansor 2011-2016

Di hadapan peserta dan juga wartawan banyak media, ketua umum terpilih menyampaikan beberapa harapan dan komitmennya. Seperti yang harapkan, dia ingin kritik, bukan pujian.

LIMA tahun ke depan, saya ingin melakukan perubahan besar untuk citra dan wajah Ansor yang dikenal sebagai OKP politik,” kata Nusron Wahid yang secara meyakinkan terpilih sebagai Ketua Umum GP Ansor Periode 2011-2016. Didampingi Ketua PW GP Ansor Jatim, Alfa Isnaeni selaku Ketua Panitia Pelaksana Kongres, ia mengatakan perubahan citra itu tidak hanya dilakukan dengan pernyataan, tapi juga tindakan.

Dalam bidang politik, dia ingin mendisiplinkan perilaku kader-kader Ansor, kapan berpolitik, kapan berjam’iyah Ansor, sehingga Ansor tetap tercitrakan sebagai organisasi kemasyarakatan pemuda. Dia mengingatkan kader Ansor untuk berpolitik dengan disiplin yakni berpolitik secara individu, bukan membawa nama organisasi. Termasuk dengan mengubah paradigma politik yang berkembang.

Dia tidak setuju semisal ketika dirinya yang kebetulan politisi menjadi kandidat ketua umum, maka hal itu langsung dikaitkan sebagai adanya intervensi politik. Baginya, Ansor sebenarnya tidak mungkin melarang kadernya berpolitik, karena hal itu sama halnya dengan melarang kader Ansor menjadi pemimpin nasional. Dalam praktiknya, pemimpin nasional itu bersumber dari partai politik.

Dalam pandangan pengganti H Saifullah Yusuf (Gus Ipul) itu, politisi dari Ansor harus memiliki perbedaan, yakni politisi yang disiplin, tidak korupsi dan menjaga akhlak yang baik. Karenanya, Ansor tidak ada urusan dengan politik, tapi individu boleh saja berpolitik, asalkan tanpa menggunakan baju Ansor, stempel Ansor, dan atribut Ansor lainnya. Kalau berpikir 2014 (Pemilu/Pilpres) juga nanti pada tahun 2014 saja.

Mengenai hubungan Ansor dengan pemerintah, ia mengatakan hal itu sama dengan hubungan NU dengan pemerintah yakni bukan oposisional. Dengan pola hubungan tersebut, Ansor dapat mengkritik bila pemerintah bertindak dzalim, tapi juga mendukung bila melayani rakyat.

Cita-citanya adalah membenahi hubungan antara Ansor dengan PBNU yang selama kepemimpinan sebelumnya terkesan kurang harmonis. Namun demikian dia menandaskan bahwa hubungan NU-Ansor tidak ada masalah. Apa yang selama ini ada, hanya sebatas kesan orang. Sebagai Banom NU, tentunya ada cara berorganisasi tersendiri dalam sinergi pengkaderannya.

Oleh karena itu, NU dan Ansor hendaknya tidak dibenturkan, karena Ansor memiliki tugas merealisasikan cita-cita besar NU. Cita-cita ideal dimaksud adalah membangun peradaban dengan nilai ideologi ke-Islaman berbasis ke-indonesiaan, tentunya dengan menyelamatkan ideologi. Karenanya dia lebih mengharapkan program pemuda yang bersifat membangun peradaban melalui ideologi kebangsaan dan kenegaraan yang kritis, objektif, dan tidak radikal.

Didampingi mantan Ketua Umum GP Ansor yang juga salah seorang Ketua PBNU dan Wakil Gubernur Jawa Timur; Saifullah Yusuf, Nusron tidak lagi membutuhkan kalimat pujian dan sanjungan. Dia malah menantang para peserta kongres untuk melakukan kritik konstruktif terhadap kepemimpinan yang akan dia emban. Baginya, kritik lebih berarti dari sederet pujian dan sanjungan yang cenderung melupakan. “Kritik saya, dan tagih juga janji saya,” katanya kepada peserta kongres. “Pasti,” kata peserta menjawab dengan serempak.

Sosok Sarat Pengalaman

Banyak yang memprediksi, Nusron Wahid akan terpilih sebagai Ketua Umum GP Ansor. Kalau ditelisik dengan seksama, sebenarnya jam terbang politisi Partai Golkar yang kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 12 Oktober 1973 ini sarat dengan onak duri di dunia organisasi.

Pemuda asal Desa Mejobo, Kudus, yang juga alumnus Madrasah Qudsiyah dan SMA NU Al Ma‘ruf di Kudus itu menjadi Ketua Umum PP GP Ansor setelah memenangkan “all final politisi” bersama Marwan Jakfar (DPR/PKB).

Pada putaran pertama, Marwan Jakfar memperoleh 183 suara, sehingga berhak maju ke putaran kedua bersama Nusron. Sedang kandidat lain seperti Khatibul Umam Wiranu (Demokrat) yang hanya meraih 40 suara, kandas. Sebelumnya Umam diprediksi merupakan rival terkuat dari Nusron Wahid.

Begitu pula Syaifullah Tamliha (PPP) meraih 40 suara, Munawar Fuad dengan tiga suara, Malik Haramain (PKB) dengan satu suara, Andi satu suara, Choirul Sholeh Rasyid satu suara, dan Yoyo satu suara. Lalu pada putaran kedua, kandidat yang berhak mengikuti pemilihan harus mengantongi suara minimal 99 suara sehingga hanya tersisa dua kandidat yakni Nusron dan Marwan. Hasil putaran kedua akhirnya dimenangkan oleh Nusron Wahid dengan 345 suara dan Marwan Dja’far 161 suara.

Nusron akan menyusun kepengurusan didampingi sembilan formatur dari Jatim, Banten, Sumbar, Sulsel, Kalteng, Malut, Papua Barat, Maluku, dan NTT. “Kita mulai babak baru yang bukan akhir, tapi awal dari perjuangan, karena itu saya minta jangan mendukung saya lagi pasca-kongres, tapi justru mengkritik dan menagih janji saya,” katanya.

Mengenai rumor adanya orang Cikeas yang mau menjadi Penasehat PP GP Ansor, dia mengatakan hal itu tidak ada masalah, asalkan dia pernah aktif di Ansor atau NU. “Orang mau menasihati, kok tidak diterima, orang mau berbuat baik kok ditolak. Yang penting, dia tidak `ujug-ujug` (datang secara tiba-tiba), tapi dia pernah di NU atau Ansor. Kalau bukan NU ya di-NU-kan dulu, bukan langsung jadi penasihat,” katanya.

Tidak berlebihan kalau dibilang Nusron Wahid sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Kudus, Demak dan Jepara. Semenjak memutuskan untuk “pulang kampung” pada Pemilu 2004 dengan tampil sebagai calon anggota DPRRI nomor urut 1 (satu) mewakili Partai Golongan Karya di Daerah Pemilihan Jawa Tengah 2 yang meliputi Kabupaten Kudus, Demak dan Jepara, Nusron Wahid dengan tidak kenal lelah menyapa basis masyarakat sampai ke pelosok-pelosok kampung yang relatif susah di jangkau karena kondisi infrastruktur yang kurang memadai.

Setelah secara resmi dilantik, sebagai bentuk pertanggungjawaban dan komitmennya kepada masyarakat yang diwakili, satu persatu mereka disapa. Beragam permasalahan yang disampaikan, mulai dari permasalahan pribadi makan hanya dengan kerupuk hingga permasalahan kelangkaan pupuk. Termasuk juga masalah kondisi madrasah yang memprihatinkan, orang tua yang tidak mampu membiayai sekolah anaknya, pembangunan masjid yang terbengkalai, pengrajin dan pelaku usaha kecil yang kekurangan modal hingga terjerat rentenir dan sebagainya.

Dengan cermat, alumnus UI ini menangkap permasalahan tersebut, tidak saja karena mempunyai cukup pengalaman dalam hal penguatan institusi dan masyarakat sewaktu memimpin Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) selaku ketua umum, tetapi juga karena memang dia besar di lapis masyarakat bawah.

Berbagai langkah penting telah dilakukan Nusron untuk membantu masyarakat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Dengan segala potensi yang dimilikinya, satu-persatu permasalahan diurai untuk dicarikan jalan penyelesaian terbaik. Berbagai dana bantuan diupayakan untuk membantu madrasah diniyah, madrasah di semua tingkatan, perguruan tinggi, kelompok tani, kelompok usaha kecil, koperasi dan masih banyak lagi.

Memang harus diakui, upaya tersebut masih belum mampu menyelesaikan semua permasalahan, selain karena keterbatasan kemampuan juga karena kompleksitas permasalahan di masyarakat sehingga upaya penyelesaiannya harus bertahap. Sebagai salah satu upaya berkelanjutan untuk membantu masyarakat, utamanya pelaku usaha kecil, jebolan IPB Bogor ini bersama dengan teman sejawat yang satu pemahaman, mendirikan KSU BMT Bina Mitra Mandiri, agar masyarakat dapat mengakses fasilitas kredit modal usaha dengan bunga ringan dan prosedur pelayanan yang tidak berbelit-belit.

Tidak itu saja, di tingkat kebijakan, sebagai salah satu fungsi yang melekat sebagai anggota DPR, anggota Komisi VI ini dengan sungguh-sungguh menggalang kekuatan dengan anggota DPR lain yang mengerti kondisi masyarakat lapis bawah, untuk bersama-sama agar rancangan kebijakan pemerintah lebih berpihak pada rakyat miskin (pro poor). Baik kebijakan yang bersifat peraturan perundang-undangan (regulasi) maupun kebijakan yang bersifat alokasi anggaran. Sebagai contoh nyata, dalam situasi maraknya perusahaan raksasa retail modern (Carefour, Hypermart, dll) menyerbu pasar Indonesia hingga ke lapis bawah yang berpotensi besar mematikan pedagang pasar tradisional, pedagang warung kelontong dan pedagang kecil, Nusron dengan tegas meminta kepada pemerintah agar dilakukan pembatasan yang tegas terhadap ijin pendirian perusahaan retail modern.

Perjuangan yang tidak kalah pentingnya terkait dengan kelangsungan hidup petani adalah mengenai kelangkaan pupuk, benih dan bibit pada masa tanam, dan anjloknya harga jual gabah pada waktu panen. Di DPR, Nusron berjuang agar sistem distribusi pupuk dibenahi, perlunya pemerintah menyediakan benih secara gratis untuk petani, dan yang tergolong progresif adalah pengesahan UU No 9 tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang, yang memungkinkan petani mendapatkan dana pinjaman tanpa harus menjual hasil panennya dengan harga murah pada saat panen.

Khusus bagi masyarakat Kudus, perjuangan yang sangat penting adalah pada saat tarik ulur bagi hasil cukai tembakau dan rokok antara pemerintah pusat dengan daerah produsen rokok. Setelah melalui perjuangan panjang, alot dan melelahkan, akhirnya disepakati kenaikan bagi hasil bagi daerah produsen rokok sehingga daerah produsen mendapatkan bagi hasil sebesar 2 % untuk daerah produsen sesuai dengan UU No 39 tahun 2007 tentang cukai.

Di tingkat kebijakan anggaran, perjuangan berat dalam meyakinkan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran-anggaran yang lebih banyak untuk program yang terkait langsung dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, seperti peningkatan alokasi anggaran untuk kredit mikro, peningkatan anggaran pendidikan, termasuk untuk pendidikan agama, dan lain-lain.

Dengan pengalaman yang dimiliki, baik di organisasi kemasyarakatan maupun di lembaga wakil rakyat, termasuk jaringannya, maka akan banyak yang bisa diharapkan dari sosok Nusron Wahid. Kita akan lihat saja kiprahnya. Selamat mengabdi Bung! (s@if)

*) Dimuat di Majalah AULA Edisi Pebruari 2011

Senin, 31 Januari 2011

AULA Pebruari 2011



Perhelatan tertinggi untuk menata masa depan serta tokoh utama yang akan mengendalikan masa depan Ansor telah usai. Lewat persidangan khas anak muda, terpilihlah kader terbaik Ketua Umum GP Ansor lima tahun mendatang (2011-2016), yaitu Nusron Wahid yang mendapatkan 345 suara, mengalahkan Marwan Dja’far (161 suara).

Baca ulasan lengkap tentang suasana dan serba-serbi Kongres XIV GP Ansor di Majalah Nahdlatul Ulama AULA edisi Pebruari 2011:

- Ansor sebagai Tumpuan Kader NU (hal 10)
- Ansor; Organisasi yang Dinamis (hal 14)
- Parade Orang Penting di Perhelatan Penting (hal 18)
- Harapan Besar Mereka Sandarkan (hal 24)
- Sosok dan Janji Ketua Umum (hal 28)

Dapatkan juga liputan mengenai :
- Refleksi: Musafir (hal 8)
- Aktualita: Pembukaan STKQ Al-Hikam 2 Depok (hal 34)
- Bahtsul Masail: Hukum Maulid Nabi (hal 43)
- Mimbar Aula: Islam dan Kesehatan (hal 47)
- Ihwal: Membentengi Jamaah dan Jam’iyah (hal 51)
- Kancah Dakwah: Tantangan Mengaji bagi Lansia (hal 54)
- Ibrah: Strategi Kiai Mahfudz Atasi Krismon & Kristenisasi (hal 58)
- Pesantren: PP Hasan Jufri Bawean (hal 59)
- Khazanah: Nabi Menyarankan Jinten Hitam (hal 64)
- Wawasan: Menggagas Maslahah Aqliyah Bag. 1 (hal 67)
- Uswah: Asa Bafaqih (hal 72)
- Tokoh: Prof Dr H Babun Suharto, SE, MM (hal 75)
- Rehat: KH Jurjis M & Drs H Abdul Mujib (hal 78)
- Resensi: Memahami Bahasa Al-Qur’an (hal 80)
- Alam Islami: Tarim sebagai Pusat Kota Budaya Islam Dunia (hal 85)
- Sekilas Aktivitas (hal 90)

Kamis, 13 Januari 2011

Polemik H Mahrus Ali (ternyata) Belum Selesai

Kesabaran hati kaum Nahdliyin kembali digoda. Buku terbaru H Mahrus Ali kembali terbit. Isinya masih seperti yang dulu, bisa “menggemaskan” hati. Bedanya, topik yang diangkat kali ini berbeda. Bagaimana kita harus menyikapi?

MASIH ingat nama H Mahrus Ali? Yah, setelah cukup lama tenggelam dari pemberitaan media, nama itu kembali menjadi polemik. Hanya saja kalau sebelumnya polemik berlangsung di tengah masyarakat, polemik kali ini lebih banyak berlangsung di dunia maya, melalui saluran facebook.

Polemik dipicu oleh munculnya buku terbaru H Mahrus Ali dengan penerbit yang sama, Laa Tasyuk! Press. Sebagaimana biasa, judul buku itu cukup mudah memancing emosi. Di sampul depan nama penulis cukup jelas H Mahrus Ali (Mantan Kyai NU), dengan judul buku Amaliah Sesat di Bulan Ramadhan (kesyirikan ngalap berkah kubur, ruwahan, megengan dan kesesatan dzikir berjama’ah disela-sela shalat tarawih).

Sebenarnya Aula kurang tertarik lagi menulis laporan tentang alumni Pondok Pesantren Langitan yang tidak diakui almamaternya tersebut. Pengalaman sebelumnya sudah cukup menjadi pelajaran, betapa ia tidak bisa diajak beradu argumentasi secara sehat dan wajar. Saat ada “tantangan” dialog, ia malah mengajukan syarat yang terbilang tidak masuk di akal orang waras. Pertama, ia minta agar dialog diadakan di rumah H Mahrus, dengan catatan dilakukan orang per orang, tidak boleh secara rombongan. Kalau orangnya banyak harus dilakukan secara bergiliran.

Kedua, jika dialog dilakukan di tempat lain, ia minta dua jaminan: pertama, jaminan uang sebesar Rp 2.000.000.000 (dua miliar), dan kedua, jaminan keamanan. Jaminan keamanan itupun terbilang cukup unik. Ia minta dijemput ke rumah dengan pengawalan 1 truk polisi bersenjata lengkap dan 1 jip polisi militer. Mereka harus menjemput ke rumah, menunggui selama dialog dan mengantar kembali ke rumah. Banyak orang tertawa saat mendengar permintaan yang terbilang cukup janggal tersebut.



Tidak heran kalau tiga kali undangan debat terbuka tidak pernah ia hadiri. Pertama di IAIN Sunan Ampel Surabaya, kedua di Malang, dan ketiga di Masjid Kauman Desa Gedongan, yang hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari rumahnya. Selain karena faktor syarat awal, alasan yang dimunculkan makin berfariasi, mulai dari undangan yang terlalu mepet sampai minta waktu setidaknya 3 bulan untuk muthala’ah. Orang pun tersenyum kala mendengar adanya syarat tambahan tersebut.

Selain faktor mbulet itu, masih ada lagi penyebab Aula enggan menulis seputar H Mahrus Ali. Pengalaman yang lalu (edisi Nopember 2006, Maret 2008, April 2008, Juni 2008 dan Agustus 2008), ternyata tulisan yang panjang lebar itu malah menguntungkan penerbit dan melambungkan nama H Mahrus Ali. Padahal di kampungnya, Tambaksumur, Waru, Sidoarjo, ia bukanlah siapa-siapa. Bukan tokoh kampung, apalagi Kiai NU. Sekitar 30 orang pengikutnya, mayoritas warga pendatang yang tidak berlatar belakang pesantren.

Lebih dari itu, ternyata H Mahrus hanyalah “korban” kenekatan penerbit. Judul buku yang bombastis itu (Mantan Kiai NU) adalah rekaan penerbit yang ingin mengeruk untung sebesar-besarnya dari tulisan ayah dari 14 anak tersebut. Benar juga. Berkat pemberitaan dan polemik yang luar biasa, buku itu malah makin laris bak kacang goreng. Bahkan di beberapa toko buku di luar kota pembeli malah harus berani indent jika ingin kebagian jatah. Repotnya, H Mahrus Ali malah tidak mendapatkan apa-apa dari larisnya buku, mengingat ia menjual naskah, tidak menggunakan sistem royalti. Orang terus marah pada H Mahrus, sementara penerbit dengan enaknya menghitung untung yang terus melambung.

Ketika H Mahrus mengadukan keberatan pada penerbit atas penggunaan judul “Mantan Kiai NU” yang dilabelkan pada dirinya, sehingga banyak kiai NU beneran marah kepadanya, penerbit hanya menjawab dengan enteng: “Supaya bukunya laku. Kalau sampai tidak laku, apa Sampean mau tanggung jawab?” elak mereka. H Mahrus pun langsung ciut nyali mendengar gertakan seperti itu.


Dari banyak pengalaman itu, ditambah saran dari beberapa kiai, dalam waktu cukup lama Aula tidak lagi memperhatikan sepak terjang H Mahrus Ali dan penerbit Laa Tasyuk! Press. Namun setelah mendapatkan banyak pengaduan dari masyarakat di beberapa daerah yang tidak mengetahui kronologi persoalan buku H Mahrus Ali, ditambah dengan maraknya dialog di internet pada akhir Oktober lalu, membuat Aula ingin memberikan tambahan informasi. Apalagi ada rombongan dari Tebuireng yang mengunjungi rumah lelaki asal Desa Telogorejo, Sidomukti, Kebomas, Gresik itu.

Khawatir Mengganggu Kerukunan

Adalah KH Thobary Syadzily yang memulai. Salah seorang anggota Komisi Fatwa dan Hukum MUI Kota Tangerang, Banten itu menulis di akun facebook-nya tentang terbitnya buku H Mahrus yang harus diwaspadai. Judulnya juga cukup menyentak: H Mahrus Ali Pembohong dan Pemecah Belah Ummat.

Telah terbit kembali buku karangan Wahhabi, H Mahrus Ali. Awas jangan sampai terprovokasi atau terpengaruh dengan keberadaan buku ini !!. Buku ini dan buku-buku lainnya karangan H Mahrus Ali penuh dengan kebohongan dan hasil rekayasa dari Wahhabi di atasnya saja. Dengan kata lain, buku-buku itu hanyalah sebagai penyambung lidah Wahhabi (termasuk penerbit “LAA TASYUK” Jln Pengirian No 82 Surabaya dan oknum-oknum yang berada di belakangnya) saja yang bertujuan untuk mengadu domba antara NU, Muhammadiyah, Persis dan ormas-ormas lainnya dan memperdaya ummat Islam di Indonesia khususnya para warga Nahdhiyyin. Itulah gaya politik Wahhabi yang murahan dan rendahan (cheap and low political style of Wahhabi) yang selalu ditampilkan dalam da’wahnya. Begitu sebagian dari bunyi tulisan Kiai Thobary.

Gayung langsung bersambut. Ternyata tulisan itu mendapatkan tanggapan luar biasa dari para penggemar chating. Hanya berselang 2 hari, tidak kurang dari 98 tanggapan masuk. Kebanyakan menghujat penerbit ataupun penulis, mulai dari sekadar mencela sampai yang mohon izin membunuh. “H Mahrus Ali ini bisa memecah belah umat Islam. Saya khawatir mereka bertengkar diakibatkan beredarnya buku-buku yang suka membid’ahkan orang lain itu. Ini harus dihentikan!” Kiai Thobary memberikan alasan sikapnya.

Tidak puas hanya lewat dunia maya, pengasuh Pondok Pesantren Al-Husna Periuk Jaya Tangerang, Banten itupun “ngeluruk” ke rumah H Mahrus pada 22 November 2010. Bersama Gus Cecep dari Tebuireng, Habib Fikri, kenalan di dekat rumah H Mahrus Ali dan seorang sopir ia mendatangi rumah H Mahrus, dengan terlebih dahulu bertamu pada keponakannya, H Mahmud Ubaid. Gus Cecep adalah cucu Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Semasa hidup Gus Dur ia paling sering diajak mendampingi sepupunya itu saat ke makam para shalihin. Tidak heran kalau ia mendapatkan panggilan Sarkub, alias sarjana kuburan. Dunia gaib seakan menjadi kehidupan sehari-hari alumnus Pondok Modern Gontor tersebut. Tanpa kesulitan yang berarti, akhirnya mereka bisa bertemu dengan tuan rumah H Mahrus Ali.

H Mahrus Siap Dialog

Duduk di lantai beralas tikar, mereka berdialog, dimulai dengan hal-hal yang ringan. Ketika disinggung mengenai syariat yang berbeda, H Mahrus lebih banyak menghindar. Namun ketika menyangkut buku karyanya ia dengan senang hati melayani. Bahkan dengan penuh percaya diri ia meminta untuk dikoreksi. “Mana yang salah, saya siap mengoreksi, ini demi kebaikan bersama,” kata H Mahrus, seperti yang ditirukan Gus Cecep.

Pembicaraan mulai serius saat menyentuh judul buku-bukunya yang dapat dengan mudah memancing emosi warga NU. “(judul) Itu bukan kemauan saya, saya hanya buat naskahnya,” elak H Mahrus. Mengapa tidak mengajukan keberatan? “Sudah. Tapi saya tidak kuasa untuk itu,” balas H Mahrus tak mau kalah. Akhirnya ia diminta menuliskan pernyataan bahwa judul buku memang bukan atas kemauan dirinya, melainkan kehendak penerbit. Inilah yang mungkin akan dipersoalkan lebih serius oleh rombongan dari Tebuireng tersebut.

Pembicaraan selanjutnya adalah soal hisab-rukyat. Sebab dalam buku karyanya, H Mahrus menyebutkan bahwa penentuan awal bulan menggunakan ilmu hisab adalah bid’ah, karena tidak ada ajaran dari Rasulullah, tidak ada Hadisnya. Dan pada kenyataannya –menurut H Mahrus dalam bukunya itu – ilmu hisab tersebut tidak menyelesaikan persoalan apabila terjadi perbedaan pendapat dalam penentuan jatuhnya awal bulan qamariyah, seperti awal Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah. “Coba kalau dikembalikan kepada Qur’an dan Sunnah Rasul dengan menggunakan rukyat, maka persoalan akan selesai,” begitu analogi H Mahrus. Enteng.

Ditanya tentang cara melakukan rukyat, mengingat posisi hilal belum diketahui (sementara munculnya kadang hanya dalam hitungan menit atau detik) H Mahrus tampak kurang memahami persoalan itu. “Kalau soal penentuan hari raya, saya percaya NU,” jawabnya singkat tanpa perasaan bersalah. Para tamunya tampak kaget, mengingat NU menggunakan rukyat, namun dipandu dengan hisab sebelumnya.

Lalu, data-data tulisan tentang ilmu hisab yang ada di buku itu dapat dari mana? “Saya ambil dari internet,” tuturnya lirih sambil tersipu-sipu. Kiai Thobary hanya tersenyum melihat keterbatasan penulis yang dalam bukunya dilabeli “Syeikh” itu. Sampai saat itu H Mahrus belum mengetahui kalau orang yang duduk di hadapannya adalah Ketua Lajnah Falakiyah PWNU Banten dan salah seorang anggota tim Badan Hisab Rukyat Kementrian Agama RI.

Menjelang akhir pertemuan, H Mahrus kembali menegaskan kesiapannya melakukan dialog terbuka. Hanya saja tetap ada syarat yang harus dipenuhi. Kali ini bukan persoalan uang, tapi hanya masalah tempat. Ia minta tempat yang aman, bukan di tempat komunitas orang NU. Dan tempat aman yang dimaksud adalah gedung kepolisian! Para tamu itupun hanya tersenyum menanggapinya.

Di sisi lain, saat dialog berlangsung itu Gus Cecep melihat ada makhluk lain yang selalu mendampingi H Mahrus. Tidak ikut bicara, namun cukup untuk memberikan spirit pada penganjur aliran shalat langsung di atas tanah dan memakai sandal tersebut. “Dia itu gurunya saat di Makkah dulu,” tutur Gus Cecep, yang biasa diajak Gus Dur keliling ke makam-makam keramat.

Sepulang dari rumah H Mahrus, mereka sempat memotret warkop yang biasa ditempati H Mahrus bercengkrama. Mereka pun tampak puas dengan kunjungan itu dan memiliki kesimpulan yang sama, bahwa nama H Mahrus Ali tidaklah sehebat yang digembar-gemborkan. Namun soal sikap akhir, keduanya belum satu kata. Kiai Thobary ingin agar PWNU Jawa Timur bersikap lebih tegas lagi pada H Mahrus Ali dan penerbit Laa Tasyuk! Press, mengingat buku-buku yang diterbitkan sangat membahayakan kerukunan umat Islam dan mengandung unsur adu domba.

Sedangkan Gus Cecep bersikap sebaliknya. Ia ingin orang itu dibiarkan saja, toh masyarakat sudah pada tahu siapa sebenarnya dia. “Kalau diurusi serius, dia malah terkenal,” ujarnya memberikan alasan. Bagaimana dengan kita? (M. Subhan)

*) Dimuat di Majalah AULA Edisi Januari 2011 dalam rubric “Liputan Khusus”.

Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS) Kudus

Madrasah Salafiyyah Berorientasi Global

Awalnya, lembaga pendidikan yang kini menginjak usia 81 tahun ini hanyalah madrasah diniyah. Kini, lembaga pendidikan ini terus berkembang dan memiliki 9 unit pendidikan dengan peserta didik tidak kurang dari 3500 siswa.

LOKASINYA strategis, hanya 600 meter sebelah utara Masjidil Aqsha (Menara Kudus). Tepatnya di desa Kajeksan, Kecamatan Kota Kudus. Madrasah ini didirikan oleh KH Ahmad Hadziq dan KH Abdul Muhith, dua ulama terkemuka di Kudus, pada tanggal 7 Jumadil Akhir 1347 H bertepatan dengan 21 Nopember 1928 M dengan nama Tasywiquth Thullab.

Pada awalnya, madrasah ini hanya memberikan kajian dari kitabkitab kuning sehingga disebut Madrasah Diniyyah. Namun, seiring perkembangan zaman dan kebutuhan akan pendidikan umum, maka pada tahun 1935 seorang tokoh muda Kudus, KH Abdul Jalil (ahli falak Nasional) sepulang dari perguruan tinggi di Saudi Arabia berinisiatif menambahkan sedikit pengetahuan umum. Tak hanya itu, ia juga memberikan tambahan nama School di belakangnya menjadi Tasywiquth Thullab School, dengan singkatan TBS. Ini merupakan strategi Kiai Jalil agar tidak dicurigai pemerintah kolonial. Sejak itu, TBS mulai menggeliat dan menunjukkan perkembangan.

Selain madrasah ibtidaiyah yang sudah ada sejak awal mula didirikan, barulah pada tahun 1950 dibuka MTs. ”Sedangkan Madrasah Aliyah TBS baru berdiri tahun 1972,” kata KH Mustofa Imron, S.HI, Kepala MA TBS. Ketiga unit pendidikan di atas dikhususkan untuk putra dan masuk pagi hari.

Karena banyak permintaan dari masyarakat untuk membuka pendidikan bagi kaum hawa, maka pada tahun 1988 dibukalah Madrasah Diniyyah Putri (MADIPU) yang masuk siang hari. Dilanjutkan dengan dibukanya Taman Pendidikan AlQur’an (TPQ) TBS tahun 1990 dan Madrasah Ilmuilmu AlQur’an (MIQ) TBS tahun 1992 yang masuk sore hari.

Namun, menurut KH Choiruzyad TA, kepala pengurus Madrasah TBS, pada 1982 nama belakang School diganti dengan Salafiyyah oleh KH Turaichan Adjhuri, selaku dewan penasehat dan tokoh perintis Madrasah TBS Kudus. Hingga kini nama tersebut menjadi ciri khas TBS, bahkan seolah membawa barakah tersendiri, sebab setelah ditambahkan Salafiyyah, TBS terus bertambah maju. Sebagai penghormatan, hingga kini nama KH Turaichan Adjhuri diabadikan sebagai nama jalan madrasah ini berada.



Pada tahun 1992 karena kepentingan akreditasi, Madrasah TBS bernaung di bawah Yayasan Arwaniyyah Kudus, yang juga menaungi Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus. Hal itu dilakukan untuk mempermudah proses akreditasi dan mempunyai visi dan misi yang sama. Selain itu, Yayasan Arwaniyah juga berada di bawah kendali salah seorang sesepuh Madrasah TBS Kudus, yaitu KH Muhammad Arwani Amin.

Pendidikan Sesuai Kebutuhan

Yang menjadi ciri khas sekaligus tantangan, bagi mereka yang tidak bisa lulus test masuk ke MTs dan MA, maka agar tidak mengulang di MI atau MTs terlalu lama, Madrasah Persiapan Tsanawiyyah (MPTs) didirikan pada tahun 1991. Disusul Madrasah Persiapan Aliyah (MPA) tahun 1998. Masingmasing sekolah persiapan ini berdurasi 2 tahun.

Perkembangan selanjutnya ditandai dengan berdirinya Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) pada 1994, yang siswanya diasramakan. “Namun, sesuai instruksi Dirjen Pendidikan Pusat, MAK ini akhirnya menjadi MAPK (Madrasah Aliyah Program Kejuruan),” Kata KH Ulil Albab Arwani, pimpinan pondok MAPK. Sedangkan MA TBS sendiri masih menyediakan 3 program (jurusan) yaitu IPA, IPS dan Bahasa.

Untuk menyeimbangkan antara Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), Madrasah TBS juga dilengkapi dengan laboratorium biologi, fisika, kimia, komputer dan multimedia, serta perpustakaan guna menunjang kegiatan belajar mengajar agar lebih baik.

Agamis dan Unggul dalam IPTEK

Sesuai dengan visi misi Madrasah TBS Kudus yaitu “Mencetak kader yang tangguh dalam Iman dan Taqwa, unggul dalam IPTEK beraqidah Ahlussunnah Waljama’ah”, jajaran pengurus Madrasah TBS Kudus menerapkan sistem pembelajaran yang ketat, efektif dan efisien dengan tanpa menghilangkan jati diri salafiyyahnya. Sikap tawadlu’ dan ahlaqul karimah kepada para Masyayikh dan Ustadz selalu ditanamkan kepada siswa baik dalam lingkungan Madrasah maupun di luar Madrasah.

Kiai Musthofa juga menambahkan bahwa MA TBS sendiri mempunyai 48 jam mata pelajaran, untuk Kurikulum Negeri (KTSP) hanya 32 mata pelajaran yang diharuskan dimasukkan, itu sudah termasuk pelajaran agama dari Depag, jadi masih sisa 16 jam pelajaran yang diisi dengan kurikulum lokal berupa kajian kitab kuning (salaf) dalam berbagai disiplin ilmu, seperti nahwu, sharaf, ushul fiqih, balaghah, akhlaq, tafsir, mantiq, falak, tashawuf, faraid, fiqih dan sebagainya. ”Dengan begitu, di samping siswa mendapatkan materi pelajaran sebagaimana di sekolah umum juga menerima materi keagamaan sebagaimana yang diajarkan di pondok pesantren,” terang Kiai Musthofa.

“Bisa dikatakan Madrasah TBS Kudus menggunakan kurikulum plus yaitu satu sisi menggunakan kurikulum salaf dengan kemasan kitabkitab kuning, satu sisi menggunakan kurikulum Negara, baik Diknas maupun Depag,” sahut Ustadz Syafi’i Noor, kepala TU MA TBS.

Guna membekali siswa dengan ketrampilan IPTEK, aktivasi laboratorium selalu ditekankan oleh pihak Madrasah terhadap siswa. ”Hampir tiap hari ruangan laboratorium selalu terpakai dengan penyediaan bahan praktek dari madrasah, di samping ditunjang oleh pengajar yang berkompeten di bidangnya masingmasing, bahkan ada pula dari staf pengajar kami yang menjadi dosen di sebuah universitas swasta terkemuka di Kudus,” imbuh Kiai Mustofa yang juga wakil ketua LP Ma’arif NU Cabang Kudus. Dengan demikian siswa Madrasah TBS Kudus selain cakap dalam ilmu agama juga mumpuni dalam bidang IPTEK.

Selain materi formal, siswa Madrasah TBS Kudus juga disibukkan dengan berbagai kegiatan, utamanya kegiatan ini ditangani oleh IPNU Komisariat TBS. IPNU Komisariat TBS ini seringkali mengadakan kegiatan sosial yang menunjang dan mendukung aktivitas para siswa, seperti bakti sosial, latihan dasar kepemimpinan, diklat jurnalistik, dlsb. ”Sebab, bagi kami, ilmu yang didapat juga harus ditunjang segala aktivitas lainnya,” tutur Kiai Musthofa. Bahkan, sebagai wadah pembelajaran dan mengasah kreatifitas jurnalistik, Madrasah TBS juga menerbitkan buletin bulanan dan Majalah AthThullab. Perkembangan terakhir Madrasah TBS bekerjasama dengan pihak Depag untuk memberikan beasiswa terhadap siswa yang berprestasi untuk kuliah di Universitas Umum dan Keagamaan Negeri seperti UNAIR, UGM, UNDIP, UIN, IAIN dan lain-lain.

Selain itu, Madrasah TBS Kudus juga memberikan beasiswa pada siswa yang berprestasi untuk meneruskan studi ke luar negeri, terutama ke Timur Tengah, diantaranya ke Universitas AlAzhar Mesir, Syiria, Turki, Arab Saudi, Sudan dan Libya.

“Alhamdulillah, anakanak kita mampu dan tercover untuk meraih beasiswa tersebut untuk melanjutkan kuliah di universitas umum yang notabene didominasi anakanak dari sekolah umum. Selain itu, alumni kami juga banyak yang melanjutkan studi ke luar negeri,” terang ayah lima orang putra ini.

Selain itu, tidak sedikit alumni Madrasah TBS yang telah berhasil menjadi tokoh masyarakat dan di berbagai bidang, khususnya pendidikan. Diantaranya adalah Prof Dr KH Chatibul Umam, rektor PTIQ Jakarta dan salah satu Rais Syuriah PBNU; Prof Dr Ahmad Rofiq, MA guru besar IAIN Walisongo Semarang, sekretaris MUI Jateng dan rektor Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang; H Sirril Wafa, MA, dosen Universitas Islam Jakarta; Dr H Muhayya, MA, dosen pasca sarjana IAIN Walisongo Semarang; dan Prof Dr Maghfur Utsman, guru besar dan mantan rektor perguruan tinggi di Brunei Darussalam. (Syahid/d!N0)

*) Dimuat di Majalah AULA Edisi Maret 2009

Bundel AULA 2010