Kamis, 17 Januari 2013

MWC NU dan PR NU Dilantik

Nganjuk, AULA
Bersamaan dengan pengajian rutin kitab Tanbihul Ghofilin malam Rabu Pon, yang digelar kerjasama LDNU, LKKNU dan LAZISNU Kabupaten Nganjuk, Pengurus MWC NU dan Pengurus Ranting NU se Kecamatan Bagor, Nganjuk dilantik.
Acara yang digelar 8 Januari 2013, dihadiri PW NU Jatim, PC NU Nganjuk, MWC NU se Kabupaten Nganjuk, pengurus Ranting, para mustami’in mustami’at yang datang dari berbagai daerah di Nganjuk.
Ketua Tanfidziyah PC NU Nganjuk, KH Hamam Ghozali, dalam sambutannya menyampaikan selamat kepada pengurus yang baru dilantik, baik pengurus MWC maupun pengurus ranting, dan supaya segera menindaklanjuti dengan mengadakan rapat kerja. Melalui rapat kerja bisa membuat program-program strategis, dengan begitu NU dapat membawa menuju kemaslahatan umat.
Rois Syuriah PWNU Jatim, KH Miftahul Akhyar, ditengah-tengah pengajian kitab Tanbihul Ghofilin juga berpesan dengan nada memberi motivasi, bahwa pengurus yang baru dilantik harus memiliki semangat baru pula, sehingga bagaimana jam'iyah Nahdlatul Ulama yang membawa misi ajaran ahlusunnah bisa semakin kuat ditengah kehidupan masyarakat.
Kontributor: Ali MA

KH. Achmad Chalwani: Umat Islam Harus Perkuat Lima Ha

Hongkong, AULA
Umat Islam harus memperkuat lima hal, yaitu akidah, syariat, akhlak, ekonomi, dan ilmu. Kelima hal itu tidak bisa di pisahkan. Akidah tidak bisa ditawar. Wujudnya adalah dengan iman dan takwa, seperti sholat, zakat, puasa, dan haji. Kekuatan syariat juga harus dibarengi dengan tata tertib cara beribadah. Akhlak harus dibarengi dengan etika, tata krama, sopan-santun. Ekonomi harus dibarengi dengan usaha dan do’a. Ilmu untuk mengontrol syariat, akidah, dan ekonomi.
Demikian disampaikan KH. Achmad Chalwani Pengasuh Pondok Pesantren "An-Nawawi" Berjan Purworejo Jawa Tengah, beberapa waktu lalu di hadapan ratusan Buruh Migran Indonesia (BMI) Hong Kong yang menghadiri tablig akbar yang diselenggarakan Majelis Miftahul Jannah BMI Hong Kong bekerja sama dengan Dompet Dhuafa Hong Kong (DDHK), di Leader Dance Commercial Building MTR Exit C Sheung Wan.
Acara diisi pula oleh Ustadz Maulana Alwi dan dimeriahkan penampilan munsyid Deni Aden (Sapu Jagad). Tampak hadir General Manager DDHK Ahmad Fauzi Qosim.
KH. Achmad Chalwani yang menjabat Syuriah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah ini juga menerangkan tentang doa. Dikemukakannya, berdoa yang paling baik itu di Mekah dan dan Madinah, namun di tempat lain ada juga saat-saat mustajabah untuk berdoa, yaitu waktu Magrib kurang sedikit, antara Adzan dan Iqomat, dengan melantunkan sholawat.
Ia juga mengatakan, berdoa boleh memakai bahasa apa saja, asalkan doa itu baik dan ini adalah bukti kalau agama Islan Rahmatan Lil ‘Alamin.
“Allah SWT mewakilkan satu malaikat di makam para wali, orang soleh, atau para sahabat nabi untuk menampung doa orang yang berziarah ke makam orang tersebut dan dinaikkan kepada Allah SWT,” imbuhnya.
Ia juga melantunkan sholawat lil’alamin yang diciptakan oleh guru beliau “’ala Nabi sholatulloh, salamuhu ‘ala Rosul, nuruka lil mu’minin, rahmatan lil ‘alamin”.
Kontributor: Ahmad Naufa, Redaktur: Nisa Amelia/ddhongkong.org

Dualisme PC LP Maarif NU Lamongan

Lamongan, AULA
Adanya dua Pimpinan Cabang LP Maarif NU di Lamongan telah megakibatkan munculnya kubu pro dan kontra diantara madrasah-madrasah binaan LP Maarif NU terhadap dua kepengurusan yang sama-sama mengaku legal keberadaannya, walaupun hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak mungkin dan tidak dibenarkan dalam aturan organisasi NU.
Munculnya gesekan antara Kepala Madrasah/Sekolah dengan MWC LP Maarif NU dan MWC LP Maarif NU dengan PC LP Maarif NU Lamongan dalam kegiatan ujian semester I yang telah terlaksana kemarin merupakan salah satu akibat dari pecahnya dua kepeimpinan tersebut. Pada bulan April 2013 yang akan datang LP Maarif NU mempunyai gawe menyelenggarakan ujian yayasan (ujian maarif), kalau sampai pada waktunya keberadaan dua pimpinan terebut belum terselesaikan oleh legal formal mekanisme organisasi dapat dipastikan akan muncul gesekan yang lebih besar dan dari gesekan-gesekan tersebut pihak yang paling dirugikan secara tidak langsung adalah anak-anak.Dalam kaitan ini Madrasah/sekolah yang akan menjadi obyek bagi pihak-pihak yang "bertikai" di atas berada dalam posisi yang gampang tersudutkan.
Siapapun tidak menginginkan munculnya masalah tersebut di atas, tapi mengapa hal tersebut bisa terjadi bahkan berlarut-larut? Apakah sudah tidak ada kebenaran di tubuh organisasi NU Lamongan sehingga "diganjar" dengan masalah tersebut? Akhirnya kita hanya dapat berharap kepada pihak-pihak "bertikai"dan atau "berkepentingan" di kepengurusan NU Lamongan segara membuka kesadaran untuk kepentingan NU yang lebih besar. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk dan membukakan pintu kebenaran bagi kelangsungan hidup dan kehidupan NU di Lamongan.
Kontributor: Hidayat Jati, Lamongan

Bundel Aula 2012


Dapatkan segera Bundel Aula Tahun 2012, harga Rp. 150.000,- ditambah ongkos kirim 20 % (Jawa) dan 30 % (Luar Jawa). Hubungi 081 750 22 543. Stok Terbatas !!!!!

Sabtu, 05 Januari 2013

Kontributor Aktifitas Kegiatan NU

Redaksi Majalah NU Aula menerima kiriman berita aktifitas atau kegiatan NU dan banom-banomnya di seluruh penjuru nusantara, berita bisa dikirim ke email aktifaula@yahoo.co.id beserta foto kegiatan dan nama pengirim. Berita yang masuk akan dimuat di http://mediaaula.blogspot.com/search/label/Sekilas%20Aktifitas dan sebagian dimuat di rubrik Sekilas Aktifitas Majalah NU Aula yang terbit tiap awal bulan.

Demikian, atas perhatian dari para pembaca kami ucapkan banyak terima kasih.

Redaktur Majalah NU Aula

Pengajian Gaul Pelajar

Tulungagung, AULA
Dunia pelajar adalah dunia yang sangat rentan dengan hal-hal yang negatif apabila tidak diimbangi dengan sentuhan religi. Bahkan, beberapa hasil penelitian menunjukkan tidak sedikit pelajar Indonesia yang terjerumus pada perilaku pacaran yang tidak sehat, sex bebas, aborsi hingga narkoba.

Melihat fenomena tersebut, Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Tulungagung menggelar Pengajian Gaul Pelajar “Cinta….. Diantara Surga dan Neraka” di Masjid Agung Almunawwar Tulungagung, Selasa (25/12/12).

Acara PENGAJIAN GAUL PELAJAR “Cinta... Diantara Surga Dan Neraka” dihadiri 750 peserta lebih yang terdiri dari warga IPNU IPPNU dan pelajar umum (SMP/SMA/Mahasiswa) dari Tulungagung dan sekitarnya acara dibuka oleh ketua tanfidzyah PCNU Tulungagung H. Abdul Hakim Musthofa. Sebagai nara sumber dari acara ini adalah ustadz H. So’im, M.Pd.I (Sekretaris PC LDNU Tulungagung) turut hadir dalam acara tersebut beberapa tokoh di antaranya ketua PCNU H. Abdul Hakim Musthofa, Pembina PC IPNU Drs. H. Ahmad Budianto, MM dan juga wakil Bupati Tulungagung H. Muhammad Athiyah , SH.

Tujuan dari acara ini adalah: 1) Meningkatkan pengetahuan Organisasi, 2) Menumbuhkan kekreatifan kader, 3) Membentuk generasi bangsa yang berprestasi, 4) Mempererat ukhuwah Islamiah, 5) Membentuk pelajar yang berkarakter, 6) Memberi pemahaman tentang CINTA yang sesuai dengan faham islam ahlussunnah wal jamaah

Kontributor: PC IPNU-IPPNU Tulungagung (Slamet Riyadi, Rifngatul Chusna)

Jumat, 04 Januari 2013

Aula Januari 2013

Membidik Sang Tokoh Utama


Nama mendiang KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kembali banyak diperbincangkan. Bukan dengan pujian, tapi penistaan. Setelah kasus pelecehan oleh politisi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana dianggap selesai, muncul penistaan dalam bentuk yang lain. Kali ini melalui Lembar Kerja Siswa (LKS). Dampak serangan yang satu ini malah jauh lebih berbahaya. Sengaja?
Awal bulan Desember lalu banyak warga NU melakukan demo di beberapa tempat. Yah, itu karena mendiang Gus Dur, tokoh panutan mereka, dilecehkan begitu saja di banyak sekolah melalui LKS. LKS bernuansa merendahkan martabat seorang mantan presiden itu ditemukan di banyak tempat, seperti Tasikmalaya, Sukabumi, Gresik, Tulungagung, Jombang, dlsb. Di kota-kota itulah massa pemuda NU pecinta Gus Dur langsung bergolak melakukan protes keras. Kebanyakan mereka mendemo kantor dinas pendidikan, kantor kementrian agama atau kantor Pemkab setempat. Mereka menuntut agar LKS itu ditarik, diusut dan pelakunya diberikan sanksi yang tegas.
Beberapa LKS dari penerbitan yang berbeda memang terkesan berlebihan menuduh Gus Dur terlibat korupsi. Sebut saja LKS terbitan CV Hayati Tumbuh Subur terbitan Surakarta (Solo), Jawa Tengah. Tuduhan Gus Dur terlibat skandal Bruneigate dan Buloggate terdapat di halaman 35. Fitnah di lembar LKS Sejarah yang terlanjur beredar di kalangan pelajar itu diulangi lagi pada soal tanya jawab di halaman 40, tepatnya pada soal nomor 9 dan 15. Pada soal multiple choice pada LKS yang diperuntukkan pelajar SMA dan MA kelas XII itu berbunyi: “Kasus korupsi yang menimpa Abdurahman Wahid sehingga dipecat dari kursi kepresidenan yaitu ...” kemudian di bawahnya terdapat pilihan jawaban Pertaminagate, Buloggate, Pelnigate, Garudagate dan Presidentgate. Subhanallah! Sebuah penggiringan yang sempurna. Di LKS yang lain ditulis dengan bahasa yang lain dan bentuk soal yang lain pula.
Terlepas dari gaya bahasa dan penerbit yang berbeda, ada indikasi kuat para pembuat soal adalah orang yang sama atau orang yang bekerjasama. Tanda-tanda itu dapat dibaca dari adanya kemiripan soal, waktu ditemukan yang hampir bersamaan, dan kelas yang dituju juga sama pula. Namun sayang, hingga kini jaringan mereka belum terbongkar oleh Diknas, Kemenag maupun aparat kepolisian.
Dirjen Pendidikan Islam Kemenag, Prof Dr Nur Syam, mensinyalir ada tiga kemungkinan motif di balik pembuatan LKS tersebut. Pertama, ketidaksengajaan. Bisa jadi penulis tidak sengaja membuat soal yang dapat memicu masalah tersebut. Kedua, sengaja, tapi menganggap hal itu bukan masalah. Penulis merasa tidak bersalah, sebab dia menganggap soal yang disampaikan tersebut merupakan fakta yang memang sudah diketahui oleh publik. Ketiga, memang ada muatan politis. Namun, menurut mantan Rektor IAIN Sunan Ampel itu, apapun motif yang menyertai, dalam kasus pelecehan terhadap Gus Dur ini, penulis soal lalai pada unsur ideologis. Sosok Gus Dur merupakan tokoh terhormat yang memiliki banyak pengikut yang merasa terikat dengan sang tokoh. “Seharusnya,” kata tokoh asal Merakurak Tuban itu, “Penulis memperhitungkan bukan hanya soal aspek fakta, namun juga muatan politis dan ideologis tersebut,” jelasnya.


Beda Sutan dan LKS
Sama-sama melecehkan nama besar KH Abdurrahman Wahid, namun antara Sutan Bhatoegana dan LKS memiliki bobot yang berbeda. Bisa jadi Sutan mengucapkan kalimat yang melecehkan Gus Dur itu bersifat spontan, akibat terpancing oleh omongan Adhi Massardi yang terlebih dulu menyebut rezim Susilo Bambang Yudhoyono, tokoh panutan Sutan, melindungi para koruptor. Pun demikian, ketika tekanan masyarakat pencinta Gus Dur semakin kuat, politisi asal Pematangsiantar yang terkenal dengan kengototan dan mendeliknya itu akhirnya bersedia meminta maaf kepada keluarga Gus Dur.
Lain halnya dengan LKS. Untuk dikatakan tidak ada kesengajaan rasanya tidak masuk akal. Sebab penulisan soal yang berkaitan dengan dunia pendidikan tentulah sudah direncanakan dalam waktu lama, dianggarkan dan ada lembaga yang memverifikasi. Kesempatan untuk melakukan koreksi masih terbuka lebar, mengingat LKS dalam bentuk tertulis di atas kertas. “Saya yakin, ada skenario besar yang sedang menggarap pembelokan sejarah nasional, menjelekkan citra Gus Dur, para ulama dan kaum nahdliyin,” kata Ketua PW GP Ansor Jawa Timur, H Alfa Isnaeni. Untuk itulah anak-anak muda Ansor dan Banser langsung turun ke jalan meluruskan pembelokan sejarah bangsa tersebut saat mereka mengetahui hal itu. “Kalau hanya dibalas dengan tulisan, nggak dengar mereka itu. Makanya harus kita lawan,” lanjut Alfa dengan nada tinggi.
Terlepas dari motif Sutan Bhatoegana dan penulis soal yang melecehkan nama Gus Dur, Yenny Wahid, salah seorang putri Gus Dur, mengaku dapat memetik hikmah dari peristiwa itu. Yenny jadi mengerti, rupanya masih ada orang salah paham, selama ini Gus Dur lengser dianggap karena kasus korupsi. “Nah, dengan peristiwa itu, ada moment untuk meluruskan sejarah, meluruskan pemahaman yang salah kaprah di sebagian orang, terutama generasi muda,” jelasnya.
Disinggung tentang dampak buruk, istri anggota DPR RI dari Partai Gerindra Dhohir Farisi itu mengaku dampak LKS jauh lebih berat diban-ding ocehan Sutan. “Terus terang, beredarnya LKS yang membelokkan sejarah itu terasa sadis sekali. Mereka  meracuni pikiran bawah sadar generasi muda. Makanya harus ditarik dari peredaran,” tambah alumnus Harvard Kennedy School of Government yang kini menjabat Direktur Wahid Institute itu.

Pembelokan Sejarah Bangsa
Dapat dipastikan, penistaan nama Gus Dur dari buku-buku LKS bukanlah akibat kelalaian, tapi merupakan kesengajaan. Tujuannya untuk membelokkan sejarah dan meracuni pikiran generasi mendatang, seakan Gus Dur telah melakukan korupsi lalu diberhentikan dari kursi kepresidenan. Padahal sejatinya tidaklah demikian. Jika memang Gus Dur turun karena korupsi, pastilah didahului dengan proses pengadilan hingga ia terbukti secara sah dan meyakinkan. Barulah keputusan MPR dibuat. Nyatanya, Gus Dur tidak pernah dibawa ke persidangan.
Yang benar, Gus Dur jatuh karena tidak mau kompromi dengan DPR, yang saat itu memang terlalu power full. Gus Dur juga terlalu kencang mengobrak-abrik birokrasi yang telah puluhan tahun menjadi sarang koruptor, sementara para penikmat korupsi yang telah mengurat dan mengakar itu telah bergabung menjadi lawan politiknya. Mereka bersekongkol untuk mengenyahkan siapa saja yang menghalangi mereka. Terbukti, kini setelah Gus Dur tidak ada, korupsi malah makin menjadi-jadi. Di sinilah semakin jelas, siapa sebenarnya perampok yang berteriak maling. Sengaja nama Gus Dur dijadikan sasaran, karena Gus Dur merupakan lambang nahdliyin. Ketika nama Gus Dur rusak, rusak pula nama kaum nahdliyin. Beruntung, langkah licik itu ketahuan sehingga kaum nahdliyin sekarang makin berhati-hati. (Mohammad Subhan)


Jumat, 30 November 2012

AULA Desember 2012



Jangan Biarkan Mereka Jalan Sendiri

Ibarat tentara masuk ke medan perang tanpa didukung persenjataan dan logistik yang memadai; itulah gambaran kondisi IPNU-IPPNU saat ini. Regulasi negara telah membelenggu mereka sedemikian rupa, perangkat dan infrastruktur NU tidak banyak mendukung mereka, sementara target yang dibebankan kepada mereka tetap tinggi.

Berbeda dengan badan otonom NU yang lain, Ikatan Pelajar NU (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU) seringkali mengalami dilematis. Dituntut untuk menggarap kaum pelajar dengan sempurna, namun tidak didukung dengan infrastuktur dan bimbingan yang cukup. Berbeda dengan masa-masa awal kedua wadah itu didirikan yang seluruh elemen NU mendukung penuh; kini para pelajar NU serasa dibiarkan berjalan sendiri.

“Jangankan di sekolah-sekolah negeri, di sekolah di bawah naungan LP Ma’arif saja, tidak semua membuka pintu untuk kami,” kata Imam Fadli, S.Pd, Ketua PW IPNU Jawa Timur. Tidak hanya sekolah, pondok-pondok pesantren yang notabene juga milik para kiai NU, tidak banyak yang menerima kehadiran mereka. Jadilah status mereka mengambang: atas nama pelajar, namun di tempat belajar sendiri mereka tidak diterima; jangankan oleh orang lain, keluarga sendiri juga serasa tidak mengakui.

Bila dirunut lebih lanjut, melemahnya organisasi pelajar NU adalah karena munculnya undang-undang di penghujung kekuasaan Orde Baru pada 1998. Undang-undang itu tidak mengakui adanya organisasi pelajar di sekolah selain OSIS dan Pramuka. Dampak dari undang-undang itu cukup fatal: bukan hanya IPNU dan IPPNU diberangus dari sekolah, kepanjangan IPNU dan IPPNU pun harus berubah. Yang semula “pelajar” berganti menjadi “putra” dan “putri”. Komisariat-komisariat yang semula banyak terdapat di sekolah negeri menjadi hilang dengan sendirinya.

Pada 2003 sebenarnya kedua wadah pelajar NU itu dapat sedikit bernapas lega dan kepanjangan IPNU dan IPPNU dapat kembali seperti semula yang berarti pelajar. Namun nasi telah menjadi bubur. Untuk dapat kembali ke sekolah bukanlah hal yang mudah. Dan sampai kini sejarah emas mereka belum dapat dibangun kembali seperti semula.

Kasus Anak Hilang
Kisah lebih memilukan terdengar dari kampus-kampus perguruan tinggi ternama. Di kampus-kampus negeri non agama, seringkali terdengar banyak anak NU yang ‘hilang’ setelah masuk ke sana. Mereka yang berlatar belakang pendidikan sekolah NU, pesantren NU atau putra-putri kiai pengasuh pesantren NU yang masih belia itu, secara perlahan banyak yang berubah pandangan. Tidak hanya dalam wawasan, tapi sudah masuk ke dalam persoalan akidah. Bagi mereka yang rajin biasanya akan menjadi Islam militan dan cenderung radikal, sedangkan mereka yang longgar menjadi liberal; yang keduanya sebenarnya bukan garis perjuangan NU.

Mereka menjadi mudah ganti keyakinan dan pandangan karena terputus dengan NU. Tak ada lagi yang membina mereka. IPNU dan IPPNU tidak menjangkau, sementara PMII yang diharapkan menangani mereka juga tidak sepenuhnya bisa diharapkan: selain karena jalur organisasi dengan NU tidak ada lagi, akidah para pengurus PMII sendiri juga sudah banyak yang diragukan.

Pada saat yang sama, organisasi lain cukup serius menggarap mereka. Melalui tarbiyah-tarbiyah dan kajian keislaman yang mereka lakukan secara intens dan rutin itulah, sedikit demi sedikit para mahasiswa yang berlatar belakang NU tercerabut akidah. Dan kini, di kampus-kampus perguruan tinggi ternama telah nyaris tidak terdengar nama NU lagi. Padahal dari sanalah para pemimpin negeri ini banyak dilahirkan.

Menatap Masa Depan
Pada 30 Nopember hingga 5 Desember ini kedua organisasi pelajar NU itu mengadakan kongres bersama di Palembang: IPNU berkongres ke-17 dan IPPNU ke-16. Dalam perhelatan terbesar tiga tahunan itulah jati diri kedua organisasi itu perlu ditata kembali, sebab dari luar seringkali terdengar tudingan negatif pada mereka. Di tingkat atas, para pengurus seringkali dituduh hanya ingin menjadikan organisasi sebagai batu loncatan berkarier politik, suka jalan sendiri tanpa mau mendekat kepada NU sebagai induknya, banyak kecolongan anak-anak yang masuk perguruan tinggi negeri, dlsb. Di tingkat bawah mereka dituduh hanya menjadikan organisasi sebagai sarana pacaran, organisasi yang tidak ada manfaat, dlsb.

Sementara persoalan internal mereka sendiri telah sekian lama tak terpecahkan. Larangan masuk sekolah secara resmi menjadi organisasi intra, kurangnya  bimbingan dari induk organisasi, pola hubungan dengan Banom dan lembaga yang kurang kongkret, kurang jelasnya jenjang pengkaderan, dlsb, tidak pernah mendapatkan pemecahan.

Nah, rupanya IPNU-IPPNU memang terlahir lebih banyak sebagai obyek daripada subyek. Tidak banyak orang tahu persoalan yang mereka hadapi saat ini, tapi tuntutan kepada mereka tetap tinggi. Lewat kongres itulah semua itu dipecahkan sekaligus dicarikan jalan keluarnya.

Jangan Biarkan Mereka Jalan Sendiri
Memperkenalkan NU kepada para remaja memang tidaklah mudah. Apalagi di zaman sekarang, ketika orang semakin banyak berpikiran pragmatis dan mengutamakan nilai materi, ‘menjual’ IPNU dan IPPNU menjadi semakin sulit. Mungkin hanya KH Abdul Muchith Muzadi (Mbah Muchith) tokoh NU yang tetap tekun memperhatikan IPNU-IPPNU. Saking besarnya perhatian Mbah Muchith kepada anak ragil NU itu, hingga ia mengaku lebih senang diundang kedua organisasi itu daripada diundang yang lain. “Kalau Ansor, Fatayat, NU, Muslimat, sudah banyak yang memperhatikan; IPNU-IPPNU ini tidak ada yang memperhatikan,” begitu salah seorang Mustasyar PBNU itu memberikan alasan.

Yah, semua memang harus berubah. Semua pihak yang menginginkan IPNU dan IPPNU berubah sesuai dengan harapan mereka, hendaknya tidak lagi hanya menuntut; tapi juga memberikan bimbingan dan (lebih-lebih) keteladanan. Jangan biarkan mereka berjalan sendiri lagi. Mohammad Subhan


Sabtu, 10 November 2012

AULA Haji & Umrah Travel Exhibition 2012


Hadiri dan Kunjungi AULA HAJI & UMRAH TRAVEL EXHIBITION 2012 di Jembatan Merah Plaza (JMP) Surabaya, 5-9 Desember 2012.

Selasa, 06 November 2012

AULA Nopember 2012


NU Dulu, Negara Kemudian

Bagai pohon disiram air, orang-orang eks komunis kembali bersemangat. Yah, kaum liberal yang semula lawan, kini telah menjadi kawan. Bahu-membahu mereka menyuarakan banyak tuntutan kepada NU dan pemerintah. Yakin mereka ditunggangi intelijen asing, NU bersikap hati-hati. Para kiai percaya, setelah NU digarap, selanjutnya TNI, lalu negara. Kalau negara sudah lemah, invasi akan menyusul.

Datang bagai topan yang menghempas, sebuah isu besar menggelinding cepat ke tengah masyarakat Indonesia, belum lama ini. Tanpa pendahuluan yang berarti, tiba-tiba saja muncul wacana pemerintah Indonesia dan NU (dengan Ansor dan Banser-nya) harus meminta maaf kepada orang-orang eks PKI dan underbouw-nya yang menjadi korban peristiwa Gerakan  30 September 1965. Disusul kemudian rencana rekonsiliasi nasional. Caranya dengan membuka kembali sejarah G 30 S (tanpa menyebut PKI di belakangnya), yang digambarkan Ansor, Banser dan tentara telah bertindak brutal kepada orang-orang PKI. Sedangkan mereka adalah ‘orang baik’ yang menjadi korban.

Kalau sejarah sudah dibuka dan direvisi, selanjutnya para pelaku harus bertanggung jawab dengan diseret ke pengadilan HAM, lalu pemerintah harus memberi ganti rugi sebesar Rp 900 juta – Rp 2,5 miliar kepada 20 juta orang PKI yang diklaim mereka. Kalau para pelaku sudah dihukum dan orang-orang eks PKI sudah mendapatkan ganti rugi seperti yang mereka inginkan, barulah dilakukan rekonsiliasi nasional: saling memaafkan.

Karuan saja publik gempar. Apalagi masih ada isu susulan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menuruti keinginan itu. Ia atas nama pemerintah akan meminta maaf kepada mereka. Beruntung, isu yang banyak berasal dari anggota Wantimpres Albert Hasibuan itu tidak menjadi kenyataan. Pidato Presiden pada tanggal 17 Agustus 2012 yang dinantikan, ternyata tidak menyinggung soal itu. Alhamdulillah. Namun isu sudah terlanjur menyebar ke mana-mana, dan orang sudah terlanjur merinding membayangkan apa yang akan terjadi jika tuntutan itu dikabulkan. Akankah sejarah kelam bangsa ini terulang kembali? “Jika presiden minta maaf, maka cerita sejarah akan berbalik,” kata Prof Dr Aminuddin Kasdi, Guru Besar Sejarah Unesa, seperti yang dikutip MPA edisi Oktober 2012.

Alur yang berjalan memang mudah dibaca. Ketika NU, Ansor, Banser dan pemerintah meminta maaf, artinya mereka telah bersalah, dengan kalimat lain PKI tidak bersalah. Untuk itu mereka berhak menuntut balas. “Yang jadi terdakwa nanti Banser dulu,” kata HA Hamid Wilis, salah seorang Ketua Cabang Ansor di tahun 1965. Kalau sudah begitu, akan terjadi perang sipil yang jauh lebih besar dari tahun 1965, karena masing-masing sudah siap.

Soal tuntutan NU dan pemerintah minta maaf, pendapat para kiai NU hampir seluruhnya seragam: tidak perlu. “Sebaiknya negara gak ngereken (tidak menghiraukan), NU gak ngereken. Ini negaraku!” kata KH Abdy Manaf, salah seorang Wakil Ketua PWNU Jawa Timur. Dalam pandangan mantan Ketua PCNU Sidoarjo tersebut, memang sudah seperti itulah sifat orang-orang PKI sejak dulu yang selalu menuntut. Apalagi sekarang mereka mendapat angin dari Barat sehingga teriakan mereka terdengar nyaring. “Kalau ditanggapi, akan merantak terus, ibarat dikasih hati masih minta jantung,” lanjut mantan Ketua Ansor itu. Justru ia berharap agar peristiwa 1965 dipandang dengan sudut pandang masa itu, bukan dengan masa sekarang. “Bayangkan kalau waktu itu dibiarkan, habis bangsa ini,” imbuhnya dengan nada tinggi.

Memang – kalau mau jujur— tuntutan yang kini mulai mereda itu terasa sangat tidak adil. Dalam wacana yang berkembang itu, orang-orang PKI digambarkan sebagai korban sejarah yang malang, tanpa dosa, tanpa sebab, tiba-tiba saja mereka dihabisi. Padahal sejatinya merekalah yang ‘menjual’ sehingga harus ada yang ‘membeli’. Mereka yang memulai sebab sehingga harus menanggung akibat. Inilah pintarnya mereka dalam memutar balik sejarah.

Pemenggalan sejarah seperti itulah yang disayangkan Wakil Ketua Umum PBNU Dr H As’ad Said Ali. “Pemuatan sejarah harus utuh, kalau dimuat sepotong-sepotong, akan menimbulkan makna yang lain,” tuturnya yang disampaikan melalui NU Online pada 1 Oktober lalu. Memandang PKI, menurut As’ad, harus dilihat secara utuh, terutama kaitannya dengan pemberontakan di tahun 1926 dan 1948. Tidak bisa serta merta tahun 1965 ketika mereka menerima akibat.

Kaum Kiri Mengipasi

Bila dirunut lebih jauh, kemunculan isu pemerintah dan NU harus minta maaf kepada orang-orang PKI bermula dari Kantor Komnas HAM di Jl Latuharhary Jakarta. Kala itu, sekitar bulan Juli 2012 Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi patut diduga telah terjadi pelanggaran HAM berat di Indonesia pada tahun 1965. Komnas merekomendasi agar dibentuk peradilan ad hoc dan menyeret para pelaku ke pengadilan.

Belum kuat suara Komnas HAM, disusul munculnya film “The Act of Killing” yang diputar di Amerika. Satu suara dengan Komnas HAM, film itu menggambarkan orang-orang PKI yang menjadi korban di tahun 1965. Gerakan yang diduga didalangi oleh intelijen asing dengan menggunakan tenaga orang-orang kiri lokal (dan sebagian ada di NU) itupun menemukan puncaknya ketika Majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2012 menurunkan laporan dengan judul Pengakuan Algojo 1965.

Melihat peristiwa yang saling berkaitan itulah banyak pihak menuduh majalah yang dimotori Goenawan Mohamad itu terlibat konspirasi dengan pihak asing untuk menjatuhkan NU, TNI dan ujungnya pemerintah Indonesia. “Saya menduga, ada benang merah antara Tempo dan orang-orang eks PKI,” kata Arukat Djaswadi, Direkur CICS (Center for Indonesia Community Studies, lembaga yang konsen mengawasi gerak orang-orang eks PKI).

Tak ingin bertindak radikal, NU yang mendapatkan stigma buruk dalam laporan majalah yang dikenal sebagai basis kaum kiri dan kaum liberal itu, tetap bersabar dan memilih sikap hati-hati. NU – dalam hal ini PWNU Jawa Timur --  lebih memilih cara dengan mengundang Pemimpin Redaksi Tempo, Wahyu Muryadi, untuk bertabayun di Kantor PWNU. Bagaimanapun, dia harus bertanggung jawab atas tulisan itu.

Benar juga. Ternyata dalam dialog Wahyu dan kiai-kiai terungkap adanya cucu komandan perang PKI yang terlibat dalam penulisan Tempo. Juga mantan Wakil Pemred Bintang Timur-nya PKI yang direkrut. Dengan begitu, dugaan tulisan Tempo mengandung unsur balas dendam menjadi tak terelakkan lagi. “Jika sudah seperti itu, tak bisa disalahkan kalau pemuatan ini ada unsur-unsur balas dendam,” kata KH Anwar Iskandar yang duduk di samping Wahyu Muryadi. (Baca: Tempo Diadili Para Kiai)

Siapa Harus Minta Maaf

Menanggapi adanya wacana pemerintah dan NU harus meminta maaf kepada orang-orang eks PKI, para kiai menanggapinya sebagai sesuatu yang terbalik. Mestinya, justru mereka yang meminta maaf, karena mereka yang memulai. “Mereka harus ikrar dulu dan meminta maaf, sebab mereka punya kesalahan besar pada umat Islam, pada negara dan membantai kiai-kiai di Madiun,” kata Kiai Anwar Iskandar.

Hal senada disampaikan oleh sesepuh NU KH A Muchith Muzadi. Menurut Mbah Muchith, NU tidak perlu meminta maaf kepada mereka. “Sebab pada waktu itu memusuhi PKI itu tugas nasional, semua memusuhi PKI,” tutur murid langsung Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari itu. “Kalau itu dianggap dosa, dosa PKI malah lebih besar,” salah seorang Mustasyar PBNU itu menjelaskan.

Kiai yang telah kenyang asam garam perjuangan itu percaya, dalam isu yang sempat berkembang itu NU hanyalah sebagai sasaran antara, sasaran utamanya adalah TNI dan negara secara keseluruhan. Di sinilah jiwa nasionalisme NU kembali diuji, dan NU telah membuktikannya. Sedangkan mereka, sejak dulu memang tidak memiliki jiwa nasionalisme. Mohammad Subhan