Rabu, 09 Mei 2012

AULA Edisi Mei 2012


BELAJAR DARI KESUKSESAN ZENDING

Umat Islam Indonesia selalu merasa bangga dengan jumlah mereka yang terbesar di seluruh dunia. Kuota jamaah haji Indonesia setiap tahun juga urutan teratas di antara negara-negara di seluruh dunia. Saking banyaknya pengantri calon haji di Indonesia, mereka harus menunggu antrian hingga sepuluh tahun lamanya. Tapi mengapa jumlah pemeluk Islam di Indonesia terus merosot ?

Mahfudz, suatu ketika masuk ke pedalaman hutan Kalimantan. Setelah menempuh perjalanan selama 3-4 jam dari Pontianak sampailah ia di kawasan Entikong yang berbatasan dengan Malaysia. Ia adalah salah seorang calon TKI di Malaysia yang berangkat secara ilegal. Di pedalaman Entikong itu ia tinggal tiga bulan lamanya menunggu suasana aman agar dapat menyeberang ke Negeri Jiran melalui jalan-jalan tikus. Untuk mengusir rasa jenuh masa tunggu yang tidak jelas itu, setiap hari ia menjelajahi hutan di kawasan tersebut. Kadang memancing, kadang berburu, kadang sekadar mencari pengalaman.

Beberapa kali ia bertemu dengan suku Dayak di pedalaman. Perasaan aneh muncul. Ia lihat suku berkulit kuning itu terlihat ramah kepada pendatang baru seperti dirinya. Beberapa kali ia disapa dan diajak mampir ke rumah mereka. Kadang diajak makan bersama, lalu menginap di rumah mereka dengan didampingi anak gadis mereka. Padahal sebelumnya ia membayangkan suku Dayak adalah suku yang kejam dan suka memakan orang (seperti suku Indian di Arizona). Tapi kali ini ia harus meralat sangkaan itu.

Rupanya masih ada lagi dugaan pemuda asal Sidoarjo itu yang salah tentang pedalaman Kalimantan. Jika sebelumnya ia membayangkan suku Dayak di pedalaman adalah penganut animisme dan dinamisme yang menyembah pohon besar dan nenek moyang, rupanya sudah tidak lagi. Ternyata di pedalaman hutan Kalimantan telah berdiri gereja-gereja dalam jumlah yang sangat banyak. Meski ia belum pernah menyaksikan sendiri orang Dayak beribadah di gereja-gereja tersebut. “Hampir di setiap jarak satu kilometer selalu ada gereja di sana,” tutur lelaki yang mengaku juga menemukan sebuah pondok pesantren di pedalaman tersebut.

MISIONARIS DI PAPUA

Kisah hampir sama juga terdengar dari pedalaman Papua. Ternyata mayoritas suku-suku pedalaman pulau di ujung timur yang jumlah dan wilayahnya sangat luas itu kini telah menjadi penganut Kristen ataupun Katolik. “Kalau hari Minggu di pedalaman itu seperti hari raya. Mereka memakai pakaian dan pergi ke gereja bersama-sama. Sepulang dari gereja mereka telanjang lagi,” kata Ir Arif Musaddad, salah seorang petugas Balitbang Pertanian Jakarta yang pernah beberapa lama di pedalaman Papua untuk melakukan survey.

Mereka menjadi seperti itu, kata putra KH A Muchith Muzadi (Mbah Muchith) itu, berkat kesuksesan para misionaris yang terus telaten tinggal di pedalaman dan menemani penduduk setempat dalam jangka waktu yang lama. Ia mencontohkan, pada mulanya banyak sekali suku di pedalaman Papua yang tidak dapat saling berkomunikasi dengan suku lainnya. Mereka berbeda sama sekali dalam adat dan bahasa. Kalau terjadi perselisihan biasanya langsung diselesaikan di lapangan perang yang memang sudah disediakan. Budaya seperti itu sudah terjadi secara turun-temurun. Kalau sampai akhirnya suku-suku di pedalaman itu dapat mengenal pakaian dan dapat berkomunikasi dengan suku yang lain dan dunia luar, para misionarislah yang mengajari mereka. “Termasuk kalau mereka sekarang dapat berbahasa Indonesia, yang mengajari juga para misionaris itu,” kata Arif. “Memang seluruh akses ke pedalaman itu hanya mereka yang menguasai,” lanjut alumnus Institut Pertanian Bogor itu.

Hebatnya para misionaris, setelah tiba di tempat tujuan, biasanya mereka langsung dapat beradaptasi dengan suku setempat dan tinggal bersama mereka. Hal itu dikarenakan sebelum berangkat mereka memang telah mempelajari kehidupan suku-suku yang hendak dituju dan telah mempersiapkan mental secara matang. Setelah diterima, di situlah mereka mulai menyentuh hati dengan banyak membantu dan mengajar ilmu pengetahuan kepada anak-anak suku tersebut. Sebagaimana yang terjadi di tempat-tempat lain, misionaris selalu disertai dengan dana besar dan akses ke luar negeri yang kuat. Jadilah pelaksanaan misi mereka menjadi sangat maksimal. “Mereka datang tampaknya memang tulus dengan misinya, bukan sekadar ingin menghabiskan uang dari funding saja,” lanjut Arif.

GURU TUGAS

Di tahun 1961 NU pernah membentuk lembaga Missi Islam. Lembaga ini dipimpin oleh Dr KH Idham Chalid dan sekretaris Anshary Syams. Lembaga inilah yang menggodok para kader muda NU dalam waktu beberapa lama sebelum dikirim ke pelosok-pelosok daerah untuk mengembangkan NU. Tidak jarang di antara para utusan itu akhirnya dijadikan menantu warga setempat sehingga ikatan batin NU dengan masyarakat setempat menjadi makin kuat.

Kini Missi Islam tidak ada lagi. Namun kebutuhan pengiriman da’i ke pedalaman dan pelosok-pelosok negeri sebenarnya masih sangat dibutuhkan. Mereka yang di sana masih sangat memerlukan bimbingan dari para kiai yang kebanyakan berada di tanah Jawa. “Missi Islam begitu penting sekali, kita masih sangat kurang da’i yang memahami kondisi,” kata H Komari, S.Pd, Wakil Ketua PWNU Papua.

Namun ada baiknya juga dicoba pemanfaatan guru tugas dari pondok-pondok pesantren. Sebab, sebagaimana diketahui, tingkat pemahaman agama di Jawa dan daerah pedalaman luar Jawa masih sangat timpang. Ibaratnya, jika di Jawa untuk menjadi seorang ustadz saja sulit, di pedalaman untuk menjadi kiai saja mudah. Karena itu pengiriman guru tugas sangat penting. “Selain membantu membimbing masyarakat, sekaligus sebagai tempat praktek langsung santri belajar menghadapi problema di tengah masyarakat,” kata KH A Sadid Djauhari, pengasuh Pondok Pesantren As-Sunniyah Kencong, Jember, tentang manfaat pengiriman guru tugas.

Baca ulasan lengkapnya di Majalah AULA Edisi Mei 2012 dengan topik utama “SAAT MEREKA KITA LUPAKAN” :

 Belajar dari Kesuksesan Zending (hal 9)
 Antara Tantangan dan Musuh Terselubung (hal 12)
 Berharap Dakwah Terintegrasi (hal 14)
 Ada Kampung Salib di Tapal Kuda (hal 16)

Baca juga ulasan lainnya mengenai:

Assalamu’alaikum (hal 4)
Refleksi (hal 5)
Kotak SMS (hal 6)
Surat Pembaca (hal 7)
Selingan (hal 8)

Ihwal Jam’iyah: Menyambut Kehadiran Koperasi Bintang Sembilan (hal 20)
Selangkah lagi, PWNU Jawa Timur akan memiliki Koperasi Induk NU Bintang Sembilan. Dana sudah siap, partner sudah setuju dan segala infrastrukturnya segera dilengkapi. Apa manfaatnya?

Liputan Khusus: Mendengar Harapan dari Ujung Tombak (hal 22)
Akhirnya datang juga kesempatan berbincang dengan para agen dan pembaca majalah. Meskipun tak sampai mendatangkan mereka secara keseluruhan, namun harapan mereka cukup melecut semangat kami untuk terus berbenah.

Tokoh: Prof Dr Ir H Triyogi Yuwono, DEA (hal 25)
Seni hadrah, banjari dan istighosah masuk dalam rangkaian dies natalis perguruan tinggi ternama rasanya sangat jarang terjadi. Mungkin hanya ITS yang melakukannya. Jam’iyah yasin dan tahlil juga berjalan baik di lingkungan para dosen. Kecerdasan pun berpadu dengan keimanan secara baik.

Bahsul Masail: Sumbangan Non Muslim untuk Masjid (hal 28)

Kajian Aswaja: Bagaimana Memahami Konsep Sifat Allah? (hal 30)

Uswah: Prof KH Syaifuddin Zuhri (hal 32)
Banyak orang terlena akan jabatan dan melupakan amanat yang seharusnya menjadi tanggung jawab yang diembannya. Pemanfaatan jabatan menjadi opsi pilihan selagi jabatan masih tersemat dipundak. Tak ayal kepentingan masyarakat kerap diduakan oleh kepentingan-kepentingan individu.

Nisa’ : Dra Hj Ucik Nurul Hidayati, MPdI (hal 36)
Wajah da’iyah yang satu ini sudah akrab menghiasi layar televisi lokal di Jawa Timur. Salah satunya adalah acara “Apa Kata Bu Nyai” yang secara rutin menyapa pemirsa TV9 setiap Ahad siang. Di luar itu, ia rutin keliling ke berbagai pelosok kota dan kabupaten untuk berdakwah, hingga ke luar Jawa dan luar negeri. Inilah sosok Dra Hj Ucik Nurul Hidayati, M.PdI.

Pesantren: PP Al-Muhajirin Pungging Mojokerto (hal 38)
Di negeri kita memang banyak orang yang pintar. Sayangnya, terlalu banyak di antara mereka menggunakan kepintarannya menjadi orang yang keblinger. Karena itulah, Ponpes Al-Muhajirin menekankan pendidikannya agar para santri tidak hanya alim, tapi juga amin. Alias pintar dan dapat dipercaya.

Pendidikan: STAIFAS Kencong Jember (hal 40)
Untuk bisa kuliah, sebagian terpaksa merogoh dana lumayan tinggi serta harus ke kota besar. Mestinya, para mahasiswa dapat tetap beraktifitas di komunitasnya dan bisa merampungkan studi dengan biaya terjangkau, tanpa menanggalkan kualitas.

Kancah Dakwah: Merajut Mimpi Yatim Pengusaha (hal 42)
Sampai kini, masih banyak panti asuhan yang mengasuh anak yatim dengan manajemen lillahi ta’ala. Sekadar menjalankan kewajiban tanpa disertai manajemen yang baik. Akibatnya, sekeluar dari panti anak asuh kurang bisa mandiri. Yayasan Al-Madina Surabaya menemukan resep baru agar anak asuh kelak dapat mandiri. Seperti apa?

Muhibah: Pesona Mutiara Hitam di Azerbaijan (hal 44)
Mungkin tidak banyak orang NU mengenal nama Azerbaijan, namun kenal lekat dengan kota Bukhara, tempat lahir Imam Bukhori yang ahli Hadits. Padahal kota Bukhara berada di negeri Azerbaijan. Sama halnya sebagian orang Barat yang lebih mengenal Bali daripada Indonesia.

Khazanah : Labu Buah Kegemaran Nabi (hal 47)
Buah labu jarang menjadi makanan pendamping. Padahal bila diteliti secara seksama, manfaat buah ini sangat tinggi. Labu atau waluh juga memiliki selaksa manfaat yang berguna bagi tubuh.

Nuansa: Bertanam Robusta di Lahan Balai Diklat (hal 49)
Bagaimana kondisi Balai Diklat NU di Prigen, Pasuruan? Sudah lama tidak terdengar kabar beritanya. LPPNU Jawa Timur baru saja menggelar acara di sana. Rofi’i, salah seorang calon wartawan Aula, turut mengabadikan peristiwa itu.

Aktualita: LKNU Gelar Rakornas Pertama (hal 51)
Layanan dan fasilitas kesehatan adalah kebutuhan tak terhindarkan. Bahkan, Mendikbud Prof Dr Muhammad Nuh, DEA menandaskan, bila kondisi kesehatan seseorang lebih baik, dapat dipastikan kesejahteraannya juga turut meningkat.

Lentera: Perancang Pesawat Terbang (hal 53)
Sebagian kita pernah menggunakan pesawat terbang sebagai sarana transprortasi. Bahkan ada sebagian yang tak mau menggunakan media lain karena dianggap tidak efisien. Namun pernahkah kita berfikir, siapa pencipta konsep besi terbang ini? Dialah Abbas Ibnu Firnas.

Wawasan: Harmonisasi Islam dan Barat, Mungkinkah? (hal 56)

Sembilan: Peneliti NU Luar Negeri Terpopuler (hal 58)
NU memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Tidak hanya di dalam negeri, orang luar negeri pun banyak yang berminat. Termasuk para peneliti tentang NU. Sebagian di antara mereka malah sudah rajin mengikuti Muktamar NU sejak era tahun 1970-an.
Bagi mereka, forum nasional lima tahunan itu seakan menjadi agenda wajib yang sayang untuk dilewatkan, termasuk Muktamar NU ke-32 di Makassar tahun 2010 silam. Siapa sajakah mereka?


Sekilas Aktivitas (hal 60)

Rehat: Imam Suprayogo & Muhammad Fauzi (hal 66)

Selasa, 03 April 2012

AULA April 2012


KEBANGKITAN SARJANA NU

Wacana NU sebagai Ormas tradisional sebenarnya sudah tidak berlaku lagi. Kalau mau jujur, kebanyakan ilmuwan papan atas negeri ini sebenarnya malah berlatar belakang NU. Hanya saja kadang di tengah jalan matanya nanar melihat Ormas lain.
Kini jalinan untuk menarik kembali para ilmuwan berkumpul di rumah besar NU mulai dijalankan. Sebuah niat besar, langkah besar dan membutuhkan tenaga besar tentunya. Mampukan niat mulia itu dijalankan?


Baca ulasan lengkapnya di Majalah AULA edisi April 2012:

UMMURRISALAH:
- Angan-Angan Besar Sarjana NU (hal 9)
- Berkah dari Radar 96 (hal 11)
- Fokus Kegiatan Ilmiah dan Sosial (hal 13)
- Wawancara: Dr H Ali Masykur Moesa, M.Si, MHum (hal 17)

Dapatkan juga info dan liputan lainnya mengenai:

Kancah Dakwah: Menutup Lokalisasi Tak Bisa Seketika (hal 22)
Di mana-mana orang resah dengan keberadaan tempat pelacuran. Namun tidak semua daerah dapat menutup lokalisasi di wilayahnya, karena biasanya berkaitan dengan ekonomi, politik, HAM, dlsb. Tapi Kabupaten Blitar dapat melakukannya. Gerakan Pemuda Ansor banyak turut ambil bagian dalam peristiwa penting itu. Kita dapat belajar dari Kota Patria ini.

Ibrah: Kartini dan Air Mata Kiai Sholeh (hal 21)
Tokoh: KH Abdul Mu’thi Nurhadi (hal 25)
Bahsul Masail: Memposisikan Kepala Jenazah dengan Benar (hal 28)
Kajian Aswaja: Mengapa Kita Perlu Ziarah ke Makam Para Wali? (hal 30)
Wirausaha: Nafisa Production (hal 32)
Nisa’ : Dr Hj Mutmainnah Musthofa, MPd (hal 36)
Ihwal Jam’iyah: Menyelamatkan Kawasan Merah dari Wahabi (hal 38)
Pesantren: PP As-Sunniyyah Kencong Jember (hal 42)
Muhibah: Secercah Harapan Muslim Michigan (hal 44)

Khazanah : Buah Surga yang Menjelma di Dunia (hal 47)
Di negeri ini buah pisang dianggap sebagai sekadar buah pelengkap setelah makan. Padahal buah ini mengandung sangat besar manfaat bagi tubuh. Sudah saatnya mengangkat derajat buah pisang, bukan sekadar buah pelengkap, tapi sebagai buah utama yang perlu dikonsumsi.

Obituari: KH Abdullah Faqih & KH R Fawaid As’ad (hal 50)
Lengkap sudah rasanya. Warta Warga Aula edisi Maret hampir seluruhnya yang wafat adalah kiai atau bu nyai. Tidak biasa. Sudah begitu, masih ketambahan wafatnya KH Abdullah Faqih (Langitan) dan KH R Fawaid As’ad (Situbondo). Tulisan ini sekadar mengenang kepergian beliau berdua.

Rehat: Drs H Fuad Anwar & H Samiadji Makin, S.Pd, SH, MH (hal 52)
Wawasan: Muhasabah untuk Membenahi Krisis Keteladanan (hal 53)
Sembilan: Makanan Anti Oksidan Terbaik (hal 60)
Sekilas Aktivitas (hal 62)

Kamis, 01 Maret 2012

AULA Maret 2012


MENGGALI DANA ORGANISASI

Dalam perang modern, jumlah pasukan bukanlah unsur utama untuk dapat memenangkan pertempuran. Paling penting adalah strategi, penguasaan medan dan senjata yang dipergunakan. Namun akan lebih baik jika jumlah pasukan besar didukung senjata modern pula. Dana adalah ‘senjata utama’ organisasi saat ini. Sayang, problem klasik itu belum terpecahkan hingga kini.

Uang memang bukan segalanya, namun dakwah akan lebih maksimal jika didukung dengan dana yang cukup. Sebuah organisasi besar tanpa dana yang jelas mungkin akan tetap berjalan, selama para anggota masih memiliki semangat yang tinggi dan siap berkorban. Namun, jelas, organisasi besar akan semakin hebat manakala didukung dengan dana yang besar pula. Apalagi di zaman yang mulai edan ini, ketika uang semakin banyak memainkan peran dan orang lebih suka jasanya dihargai dalam bentuk uang daripada janji pahala dan surga di akhirat kelak.

Dana organisasi, itulah masalahnya. Telah sekian puluh tahun persoalan klasik itu tidak pernah digarap secara serius dan berkesinambungan. Biasanya anggota dan pengurus lain hanya njagakno kemampuan ketua untuk mencari. Padahal dana operasional bulanan saja jumlahnya tidaklah sedikit. Untuk PBNU, konon membutuhkan dana Rp 275 juta perbulan, sedangkan PWNU Jawa Timur sekitar Rp 30 juta. Kasihan ketua. Kebutuhan dana biasanya baru terpikirkan ketika akan mengadakan kegiatan. Ketika berhasil dan hajat selesai, selesai pula urusan dana. Ketika akan mempunyai gawe lagi, dana baru dipikirkan lagi, begitu seterusnya.

Padahal pendiri NU telah mengajarkan tentang mengatasi masalah dana ini. Tahun 1929 misalnya, HBNO (istilah lama untuk PBNU) mendirikan Cooperatie Kaoem Moeslimin di Pacarkeling Surabaya, yang 15 persen keuntungannya untuk Jam’iyah Nahdlatoel Oelama. Dalam ART NU bab XXIV pasal 93 dan 95 juga telah diatur tentang iuran anggota. Iuran yang merupakan ‘PAD” murni organisasi itu tidak pernah disentuh. Padahal sumber yang satu ini benar-benar murni: tanpa proposal, tanpa makelar, tanpa potongan, tanpa takut KPK, halal dan bebas pajak. Lebih dari itu sebagai bukti kesetiaan anggota kepada organisasi. Iuran anggota sebenarnya juga selalu tertulis dalam ART NU setiap hasil muktamar, namun belum ditindaklanjuti secara nyata.

Dalam kalkulasi matematika, kalau jumlah anggota NU sebanyak 70 juta orang, masing-masing menyetor iuran Rp 1.000 rutin setiap bulan kepada organisasi, maka dana yang terkumpul sebanyak Rp 70 miliar setiap bulan. Dengan dana sebesar itu NU akan dapat berbuat banyak untuk dirinya, umatnya dan membantu kepada umat lain yang sedang tertimpa musibah. Katakanlah anggota yang sadar mau membayar hanya 10 persen saja, dana yang terkumpul masih Rp 7 miliar.

MENJAGA HARGA DIRI

Organisasi yang menggantungkan dana dari luar akan sangat berbahaya bagi kemandirian organisasi itu sendiri, karena dana dari luar seringkali bermuatan kepentingan (mengikat). “Kalau mengikat, akan merugikan organisasi. Mungkin dapat uang, tapi amar makruf nahi mungkarnya berhenti, karena sudah ‘disewa’ oleh orang lain, hingga pendapat NU tidak bisa independen, dan pasti mengikuti orang yang ngasih duit itu,” kata Rais Syuriah PBNU, Dr KH A Hasyim Muzadi.

Untuk itulah penggalian dana organisasi dari internal perlu disegerakan. “Sudah waktunya orang NU mulai memikirkan bagaimana dia sebagai warga NU membiayai perjuangan NU. Semua orang harus memulai, betapapun sulitnya dan membutuhkan waktu panjang, kita harus memulai itu,” pesan KH Abdul Muchith Muzadi.

Alangkah nikmatnya berorganisasi ketika organisasi itu memiliki dana sendiri. Dengan begitu setiap program dapat diukur dengan kemampuan sendiri, tanpa perlu merepotkan pihak lain. PCNU Kota Pekalongan adalah salah satu contoh nyata. PCNU yang berada di Pantura itu memiliki sumber dana rutin dari unit usaha yang dirintisnya sejak tahun 2004 silam. Kini setiap bulan PCNU ini mendapatkan pemasukan dana antara Rp 35 juta hingga Rp 45 juta. Sementara bendahara telah memiliki simpanan dana abadi sebesar Rp 350 juta. Betapa gagahnya Cabang yang satu ini.

Selengkapnya baca di Majalah AULA Maret 2012. Baca juga ulasan lain mengenai:

Assalamu’alaikum (hal 4)
Kotak SMS (hal 6)
Surat Pembaca (hal 7)
Refleksi (hal 8)

UMMURRISALAH :
- Menggali Dana Organisasi (hal 9)
- Dana Organisasi Dimulai dari Mana? (hal 11)
- Strategi Apik dari Kota Batik (hal 14)
- Kreatifitas Baru Orang Surabaya (hal 16)

Liputan Khusus : Saatnya Berkhidmat untuk Umat (hal 19)
Ihwal Jam’iyah : Evaluasi dan Koordinasi Program (hal 22)
Tokoh : Dr H Ulul Albab, MS (hal 25)
Bahsul Masail : Kontoversi Pusaka Islam, Mana yang Benar? (hal 28)
Kajian Aswaja : Mengapa Kita Perlu Yasinan? (hal 30)
Wirausaha : Bisnis Kakao yang Memukau (hal 32)
Nisa’: Hj Su’adah (hal 36)
Pendidikan : STT Qomaruddin Gresik (hal 40)
Uswah : Haji Andi Mappanyukki (hal 42)

MUHIBAH :
Tahlilan di Goa Ashabul Kahfi (hal 44)
Beberapa kiai baru kembali dari Yordania menghadiri undangan Raja Abdullah II. Mereka berziarah ke tempat-tempat keramat negeri itu. Subhanallah, betapa nikmatnya. Selebihnya, para kiai juga menjenguk para TKW yang nasibnya malang. Mereka lari dari rumah majikan karena tidak kuat lagi diperbudak. Sementara hampir dapat dipastikan mereka adalah warga NU. Jadinya, hati para kiai terbelah : senang sekaligus susah.

Kancah Dakwah : Pengabdian Berbekal Tekad (hal 48)

NUANSA:
Geliat Menggerakkan Ekonomi (hal 50)
Potensi ekonomi yang dimiliki warga NU demikian mengangumkan. Amat disayangkan bila peluang itu tidak dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat yang kebanyakan adalah nahdliyin.

Rehat : Akhmad Muzakki & Imam Fadli (hal 52)
Wawasan : Berkaca dari Keteladanan Ahlul Bait (hal 53)
Resensi : Menjawab Gugatan Aliran Anti Tahlil (hal 57)

AKTUALITA:
Hati-Hati Menyikapi FPI (hal 58)
Habib Rizieq ditolak di Kalimantan Tengah, lalu berlanjut marak isu tuntutan pembubaran FPI. Banyak orang yang tak tahu-menahu terpengaruh isu tersebut. Mereka pun turut meneriakkan hal yang sama. Sementara Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, KH Miftachul Akhyar, malah berpikir sebaliknya. “FPI masih sangat dibutuhkan di negeri ini,” tuturnya.

Sembilan:
Negara Pengguna Facebook Terbesar di Dunia (hal 60)
Sekilas Aktivitas (hal 62)

Kamis, 02 Februari 2012

AULA Pebruari 2012


SEJARAH BARU JAM'IYYAH THARIQAH

Jam’iyah Ahlith Thariqah Almu’tabarah Annahdliyah (Jatman) baru saja merampungkan Muktamar XI tahun 2012. Keberlangsungannya terasa istimewa karena berhasil memberikan beberapa catatan sejarah baru dalam dunia thariqah. Seperti apa?

Almanak menunjuk angka 20 pada bulan Shafar 1433 H atau bertepatan dengan 14 Januari 2012. Suasana pagi di Kabupaten Malang pada hari Sabtu itu tampak redup se-perti biasanya. Kabut dan awan seakan tak rela membiarkan sinar mentari menembus dinding-dinding udara yang suhunya cenderung dingin dan sejuk.

Rintik gerimis pun ikut ambil bagian. Butiran tetesannya berpadu membasahi dedaunan, tanah dan atap gedung-gedung di Ponpes Al-Munawariyah di Desa Sudimoro, Kecamatan Bululawang. Tenda putih nan besar yang mampu menampung sekitar 10.000 orang di halaman masjid Ponpes Al-Munawariyah juga dibuatnya basah kuyup. Wajar jika suasananya terasa damai dan khidmat.

Di tengah iklim yang sejuk itulah, Jam’iyah Ahlith Thariqah Almu’tabarah Annahdliyah (Jatman) mengukir beberapa catatan baru pada Muktamar XI. Sejumlah keputusan penting dirumuskan agar kepakan sayap organisasi para pengamal thariqah ini terus mengembang.

Ketika anak panah jarum jam sudah menunjuk angka 9, seluruh muktamirin telah berkumpul di bawah naungan tenda putih itu. Perhatian muktamirin tertuju pada panggung utama yang serba hijau dan digunakan untuk memimpin jalannya sidang pleno akhir. Seseorang bediri di podium menyampaikan beberapa keputusan penting yang telah diambil di masing-masing sidang komisi.

Hasil sidang Komisi Ifta’ adalah salah satu ketetapan yang ditunggu-tunggu. Sebab dalam komisi itu dibahas tentang siapa yang memegang otoritas tertinggi dalam kepemimpinan Jatman selama satu periode mendatang. Proses sidangnya pun tidak sembarangan. Bersifat tertutup dan hanya boleh diikuti oleh para mursyid dari 43 aliran thariqah bersama delapan orang Rais Idaroh Wustho (pimpinan wilayah) sebagai representasi Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Meski hasilnya sudah bisa diprediksi, namun tetap saja kepastian masih menjadi teka-teki. Dan semua terjawab setelah salah seorang juru bicara Majlis Ifta’ menyuarakan: “Bismillahirrahmanirrahim. Susunan Idaroh Aliyah periode 2012-2016. Rais Am, KH Habib M Luthfi Ali bin Yahya,” katanya membacakan ketetapan.
Kata-kata itu langsung disambut dengan gemuruh tepuk tangan dan takbir dari muktamirin. Sebagai pertanda bahwa mereka sepaham dengan ketetapan Majlis Ifta’ yang memilih Habib Luthfi untuk ketiga kalinya memimpin Idaroh Aliyah (pimpinan pusat). Habib asal Pekalongan itu pertama kali terpilih sebagai Rais Am Jatman dalam Muktamar IX pada 2000 di Pekalongan dan terpilih kembali dalam Muktamar X pada 2005, juga di Pekalongan.

Selain Rais Am, Majlis Ifta’ juga memberi amanat kepada KH. Zaini Mawardi (Demak) sebagai Katib Am, KH Mu’thi Nurhadi (Surabaya) sebagai Mudir Am (ketua umum), KH M Masroni (Semarang) sebagai Sekretaris Jendral dan Ir H Bambang Irianto Ichsanuddin sebagai bendahara umum.

EPISODE BARU

Selain menetapkan struktur ke-pengurusan, Muktamar XI juga mengukir beberapa catatan baru bagi Jatman. Pertama, eksistensi muslimat dalam dunia thariqah semakin diakui. Hal ini terbukti dengan komposisi peserta yang melibatkan sekitar 1000 muslimat dari berbagai daerah di tanah air. Panitia pun menyiapkan fasilitas khusus agar peserta dari kaum hawa itu bisa melangsungkan sidang komisi Muslimat Thariqiyah.

Kedua, Jatman mendeklarasikan lajnah baru bernama Mahasiswa Ahli Thariqah Annahdliyah atau disingkat Matan. Organisasi ini diharapkan mampu menggelorakan sentuhan spiritual dan gerakan moral di tengah para mahasiswa yang dinilai seringkali mengunggulkan intelektual semata.

Ketiga, Jatman berperan besar sebagai pelopor berdirinya asosiasi organisasi thariqah se-luruh dunia. Dalam Muktamar XI tersebut, Jatman mengundang beberapa tokoh dan pemimpin thariqah dari 6 negara di Timur Tengah. Mereka berhasil mengidentifikasi pemimpin thariqah di seluruh dunia dan akan dikumpulkan dalam satu forum. Indonesia ditunjuk debagai tuan rumah dan Habib Lutfi dipercaya sebagai ketua panitia. Forum tersebut direncanakan dihelat pada tiga bulan mendatang dan target utamanya adalah mendeklarasikan Rabithah Atthariqiyah Al-Alamiyah (Asosiasi Thariqah Dunia).

Keempat, Jatman secara resmi merekomendasikan kepada PBNU agar semua pengurus NU dibaiat menjadi pengamal thariqah.

Selengkapnya baca di Majalah AULA Pebruari 2012. Baca juga ulasan lengkap mengenai:

Refleksi: Thariqah (hal 5)
Cermin: Dulu Mengislamkan Sekarang Dikafirkan (hal 8)

UMMURRISALAH:
- Sejarah Baru Jam’iyah Thariqah (hal 9)
- Jalan Keluar itu Bernama Thariqah (hal 12)
- Haruskah Pengurus NU Bai’at Thariqah? (hal 15)
- Menyambut Kehadiran Matan dan Muslimat Thariqiyah (hal 18)

Ihwal Jam’iyah: Aswaja NU Center Manggung di Muktamar (hal 20)
Liputan Khusus: Kasus Karang Gayam (hal 22)
Tokoh: H Imron Rofi’i, BA (hal 25)
Bahsul Masail: Mempertanyakan Hukum Bermadzhab (hal 28)
Kajian Aswaja: Kirim Fatihah, Kenapa Takut Tak Sampai? (hal 30)
Wirausaha: Usaha Bandeng Asap Bu Jalil (hal 32)

NISA’: Dra Hj Choirun Nisa, M.Pd (hal 36)
Berkah ketaatan kepada suami yang pengasuh pondok pesantren dan juga Ketua PCNU Kabupaten Mojokerto, ia terpilih sebagai wakil bupati. Ternyata ia mempunyai resep sendiri untuk tetap dapat menjalankan tugasnya sebagai istri dari seorang kiai, ibu dari anak-anak dan wakil bupati ‘Majapahit’.

Uswah: KH Zaini Mun’im (hal 38)
Pendidikan: SMK Wahid Hasyim Surabaya (hal 40)
Pesantren: Ponpes Ngaren Gresik (hal 42)

MUHIBAH: Menjadi Sahabat Spiritual TKI Hongkong (hal 44)
Banyak sudah orang mengeluhkan nasib TKI di luar negeri, namun tidak banyak yang peduli pada mereka. LDNU Jawa Timur adalah salah satu dari yang tidak banyak itu. Empat orang pengurus LDNU dikirim ke Hongkong untuk ‘menjenguk’ dan membimbing mental mereka. Mereka pun seakan berada di kampung sendiri

Kancah Dakwah: Meng-NU-kan Lembaga Pendidikan (hal 48)

KHAZANAH: Kacang Hijau, Si Kecil yang Multi Manfaat (hal 50)
Tak ada tanaman ciptaan Tuhan yang tidak memiliki manfaat. Termasuk kacang hijau. Ternyata si kecil itu menyimpan manfaat yang luar biasa besar. Bisa diolah menjadi berbagai jenis makanan yang enak dan bergizi. menyehatkan lagi.

Wawasan: Mencintai Ahlul Bait Secara Proporsional (hal 53)
Info Sehat: Pilih-Pilih Makanan Menjelang Tidur (hal 56)
Resensi: Mengenal Lebih Dekat Imam Syafi’i (hal 58)
Obituari: Dr H A Saerozi, M.Pd (hal 59)
Sembilan: Negara dengan Populasi Muslim Terbanyak (hal 60)
Sekilas Aktivitas (hal 90)

Senin, 09 Januari 2012

AULA Januari 2012


TETAP SIAGA SATU MENGHADAPI KOMUNIS

Globalisasi yang di dalamnya dibarengi dengan kemudahan akses informasi membawa dua dampak sekaligus. Bila tak membentengi diri, maka bukan manfaat yang didapat, justru mudharat. Hal ini juga berlaku bagi ideologi dunia, segalanya punya konsekuensi.

TAK kurang KH A Hasyim Muzadi mengingatkan bahwa bangsa ini harus meningkatkan kewaspadaan serta menyadari akan terus terjadinya pertarungan ideologi. Usai perang dunia dan perang dingin, maka sangat kecil akan terjadi perang fisik maupun pertarungan senjata. Bahkan sebagian kalangan menyatakan yang akan terjadi adalah pertarungan peradaban atau class of civilization.

“Menghadapi kondisi seperti ini, maka tidak ada jalan lain kecuali meningkatkan kewaspadaan,” katanya pada sebuah acara seminar neo komunisme beberapa waktu lalu. Kewaspadaan terhadap ancaman ideologi anti Tuhan ini semakin penting lantaran adanya kecenderungan keberadaannya yang ingin melakukan ekspansi dan meneguhkan jati diri.

Rais PBNU ini menilai, ideologi impor saat ini telah mengepung Indonesia, karena demokratisasi yang berjalan tanpa kendali di tengah padatnya penduduk. “Sebagai negara yang memiliki penduduk demikian padat serta demokratis, maka Indonesia menghadapi kepungan tantangan mulai dari ekonomi, politik, budaya, bahkan juga ideologi,” katanya.

Menurut Presiden Konferensi Agama-agama Sedunia untuk Perdamaian (World Conference on Religion for Peace/WCRP) itu, amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang telah memasuki fase keempat ternyata bukan menghasilkan kesejahteraan, melainkan suasana bangsa justru kian tidak kondusif. “Saat kondisi karut marut seperti ini, maka dapat dipastikan bangsa Indonesia dengan mudah mendapat intervensi asing, karena tindakan membatasi kemerdekaan orang akan dianggap melanggar HAM (hak asasi manusia), padahal HAM hanya dimanfaatkan untuk menghancurkan ideologi di sini,” kata Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars (ICIS) ini.

Partai Komunis di Indonesia memiliki romantisme usai kegagalan melakukan kudeta. Sebagai salah satu partai yang keberadaannya menjadi kekuatan dengan suara yang cukup signifikan tentunya masih banyak simpatisan dari partai ini. Pada Pemilu 1955 yang dicatat sebagai pesta paling demokratis, ternyata Partai Komunis Indonesia (PKI) mampu meraup suara yang cukup meyakinkan.

Dalam kajian tentang kebangkitan komunis gaya baru di Indonesia pasca reformasi, Arukat Djaswadi mengatakan, sejarah peristiwa pemberontakan PKI mulai tahun 1948 di Madiun, dan peristiwa G30S PKI tahun 1965 cukup sebagai pengalaman. Meskipun gerakan PKI dapat dikalahkan, tetapi mereka tidak mengakui kekalahan dan justru menuntut ganti rugi atau kompensasi dan pemutarbalikkan sejarah secara sistematis dengan memposisikan diri sebagai korban, bukan pelaku pemberontakan. Hal ini dapat dilihat pada kemunculan beberapa organisasi yang memiliki pola dan gerakan seperti layaknya PKI.

Arukat yang juga pegiat anti komunis ini menambahkan, sekarang ini orang-orang berpaham komunis sudah pada posisi “ring satu” di pemerintahan. Banyak kegiatan mereka yang diketahui oleh aparat keamanan atau aparat hukum, tetapi tidak ada yang diproses atau tersentuh hukum.

Terhadap hal ini, beberapa kalangan menyayangkan. Namun demikian, setiap warga negara memiliki status dan hak yang sama di depan hukum. “Oleh karena itu, siapa saja dari warga bangsa sudah selayaknya mendapatkan perlakukan yang layak, kendati dia PKI,” kata KH Shalahuddin Wahid. “Apalagi hanya sebagai anak atau cucu dari keluarga PKI. Mereka kan tidak salah?” lanjutnya.

Senada dengan itu, Kiai Hasyim Muzadi sependapat bahwa para eks PKI dan keluarganya sudah seharusnya diberikan ruang yang sama dalam konteks kewarganegaraan. “Namun demikian, kecurigaan terhadap kebangkitan neo komunis harus menjadi kesadaran bersama,” katanya.

Oleh karena itu yang layak dipertanyakan adalah keberadaan lembaga intelejen negara yang kurang mampu mendeteksi kemungkinan kebangkitan komunis tersebut. Beberapa dari mereka kini bahkan menjadi orang penting di negeri ini.

Sorotan dunia internasional yang mengharuskan pelaksanaan hak asasi manusia sebagai hal tak terhindarkan dalam keseharian sebuah negara, juga bisa berdampak positif dan negatif. Terjadinya pelanggaran terhadap HAM, apalagi sampai menghilangkan nyawa seseorang pastinya akan menjadi perhatian dunia. Dan celakanya, hal ini tidak berlaku fair. “Kalau ada hak warga yang hilang, maka dunia langsung merespons negatif. Namun jika yang menjadi korban adalah pihak keamamanan, maka tak ada yang melakukan pembelaan,” kata Kiai Hasyim menyayangkan. Isu pelanggaran HAM akhirnya dimanfaatkan berbagai pihak untuk memperkeruh keadaan. Dan ini juga berlaku bagi bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, disaat kondisi bangsa yang serba gamang seperti ini, tidak ada jalan lain kecuali adanya ketegasan dari pemerintah. Demikian pula pada saat yang bersamaan, peran masyarakat diharapkan juga memberikan informasi bila diindikasikan adanya gerakan yang akan mengarah kepada komunis gaya baru.

Bangsa yang besar adalah mereka yang mampu menghargai peran dan jasa para pahlawannya. Kejahatan kemanusiaan akibat ulah PKI di masa lalu adalah bukti sejarah yang jangan sampai terlupakan begitu saja. Keterbukaan yang menjadi bagian tak terhindarkan dari globalisasi hendaknya dimaknai dengan kemampuan membuka diri serta kesadaran untuk senantiasa waspada terhadap berbagai ancaman yang ada. “Hanya dengan ini kita bisa tetap survive,” tandas Kiai Hasyim. Bukan hanya kewaspadaan kepada komunis gaya baru yang menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa ini. Pemberantasan korupsi, penegakan hukum serta perbaikan mutu pendidikan adalah di antara persoalan pelit yang juga layak diperhatikan bagi bangsa Indonesia. Dan itu hanya bisa diselesaikan dengan tuntas bila antara pemerintah dan rakyat terjadi sinergi.

DAPATKAN JUGA LIPUTAN LAINNYA DI MAJALAH AULA JANUARI 2012:

Refleksi: Rotan (hal 8)

UMMURRISALAH:
- Tetap Siaga Satu Menghadapi Komunis (hal 10)
- Kenali Gerakan Komunis Gaya Baru (hal 12)
- Kejahatan Komunis Tak Semata Angka (hal 14)
- Neo Komunisme Bukan Isu Penting (hal 17)

Ihwal Jam’iyah: Pemerintah Abai, Nasib Petani Kian Tercekik (hal 19)
Kancah Dakwah: Geliat Berjam’iyah di Pulau Sapi Bag. 1 (hal 21)

MUHIBAH: Sensasi Plong Muslim Wollongong (hal 25)
Satu bulan berada di Australia dan New Zealand memberikan kesan mendalam bagi KH M Cholil Nafis, Ph.D. Apalagi pria kelahiran Sampang, Madura, ini melakukan safari dakwah selama Ramadlan dan Idul Fitri di sembilan kota. Beliau mengisahkan tentang kehidupan muslim di Wollongong yang berkembang pesat.

Kajian Aswaja: Dasar Tradisi Kenduri Kematian (hal 28)
Bahsul Masail: Mempercayai Sialnya Rebo Wekasan? (hal 30)
Wirausaha: Aneka Camilan New Sehati (hal 32)

SEMBILAN: Universitas Pertama di Dunia (hal 36)
Kejayaan peradaban umat Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan zaman dahulu memang mendominasi. Dalam konteks ini, universitas adalah salah satu unsur penting yang patut dijadikan ukuran. Dari sembilan universitas tertua di dunia, pendirian tiga kampus di antaranya didominasi oleh umat Islam.

Mimbar Aula: Membiasakan Hidup Sederhana (hal 38)
Pendidikan: SMK Al-Islah Surabaya (hal 40)
Tokoh: KH. Mahfudz Syaubari (hal 42)
Wawasan: Bangga dengan Aswaja Nahdliyah (hal 45)
Uswah: KH Abdul Halim (hal 48)

KHAZANAH: Melebihi Nutrisi Susu Sapi (hal 50)
Susu sapi, susu kambing, atau susu kedelai mungkin sudah biasa dikonsumsi, tetapi bagaimana dengan susu dari kedelai? Padahal menurut hasil penelitian, susu keledai jauh lebih bernutrisi daripada susu sapi dan mengandung sedikit lemak.

Rehat: Nur Shodiq & Agus Zainal Arifin (hal 52)
Dirasah: MK dan Wewenang Memutus Persoalan Agama (hal 53)
Lentera: Bapak Ilmu Optik Dunia (hal 56)
Info Sehat: Korelasi Gaya Marah Terhadap Kesehatan (hal 59)
Sekilas Aktivitas (hal 90)

Selasa, 20 Desember 2011

AULA Edisi Desember 2012


Penelitian terakhir soal potensi zakat yang bisa dihimpun di tanah air mencapai Rp217 triliun per tahun dan saat ini baru bisa dihimpun Rp 1,5 triliun. Jelas sekali pemanfaatannya masih jauh panggang dari api. Kini, UU zakat terbaru hadir dari gedung Senayan. Dapatkah memberi jawaban?

Lewat sidang paripurna yang tidak terlampau gaduh, akhirnya DPR mengesahkan Undang-Undang (UU) tentang Pengelolaan Zakat pada rapat paripurna, Kamis (27/10). Dengan disahkannya UU ini, maka pengelolaan zakat akan terintegrasi di bawah koordinasi Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). UU ini adalah perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Dalam praktiknya, keberadaan BAZNAS memiliki fungsi sebagai perencana, pelaksana, pengendalian pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan, hingga pelaporan zakat. Sedangkan lembaga pengelolaan zakat yang selama ini dikelola oleh masyarakat, akan dikoordinasi oleh BAZNAS.

Di sisi lain, para tokoh agama, analis ekonomi dan hampir semua orang sepakat bahwa potensi dana masyarakat yang didapat dari ZIS (Zakat, Infaq, Shadaqah) cukuplah besar. Hal ini dibuktikan dengan telah dimanfaatkannya dana umat tersebut oleh para penjajah. Seiring dengan kian meningkatnya kesadaran keberagamaan yang juga diiringi peningkatan taraf hidup, maka dapat dipastikan bahwa potensi itu tidaklah kecil. Namun kepada siapa para hartawan muslim ini akan menyalurkan kelebihan rejekinya? Dikelola sendiri atau dipasrahkan kepada amil?

Bila pilihan pertama yang diambil, tentunya tak akan ada masalah. Namun persoalannya akan lain bila dana itu diberikan kepada amil. Di antara sekian banyak amil atau lembaga amil zakat (LAZ) yang ada, siapa yang layak dipercaya?

Ditanggapi Beragam

Beberapa pasal yang paling sering diperdebatkan antara lain pasal 38. Dalam pasal itu diatur ketentuan setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat. Pihak yang mengumpulkan, mendistribusikan, atau mendayagunakan zakat, harus mendapat ijin dari pejabat yang berwenang. Jika mengabaikan hal ini, maka yang bersangkutan terancam denda Rp. 50 juta atau kurungan penjara selama setahun (pasal 41).

Selain itu, dalam pasal 18 dinyatakan bahwa lembaga amil zakat yang didirikan syaratnya harus berasal dari ormas Islam. Padahal, lembaga amil zakat yang ada sekarang dan sudah terbukti eksis dalam memajukan sistem pengelolaan zakat di negeri ini tidak berasal dari ormas Islam.

Karena itulah tanggapan beragam muncul pasca disahkannya UU zakat yang baru. Bayang-bayang judicial review ke Mahkamah Konstitusi juga menjadi isu yang santer diberitakan. Sebab, sebagian kalangan menilai ketentuan dalam UU ini akan menyulitkan umat Islam untuk melaksanakan rukun Islam yang keempat. UU ini mewajibkan pembayaran zakat harus kepada amil dari lembaga amil zakat yang terdaftar. Selain itu, lahirnya aturan ini justru kian memperburuk tata kelola kelembagaan zakat di tanah air, bahkan berpotensi mematikan lembaga zakat yang selama ini sudah ada. Argumentasi itu didasarkan peran masyarakat yang dinihilkan di dalam UU ini dan membuat Baznas menjadi lembaga superbodi tanpa ada restriksi.

Akademisi dari Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah UI Yusuf Wibisono, misalnya, menyatakan pengaturan UU ini mewajibkan adanya sentralisasi di bawah BAZNAS. Baginya, sentralisasi pengelolaan zakat oleh negara melalui BAZNAS memiliki argumentasi yang lemah. Padahal di banyak negara, pengelolaan zakat justru lebih diberikan lebih luas bagi partisipasi publik.

Bertolak belakang dengan itu, Ketua Umum BAZNAS Didin Hafidhuddin, menyatakan mestinya masyarakat bersyukur atas disahkannya UU ini. “Dengan UU ini, maka penanganan zakat di Indonesia akan tertangani dengan baik,” katanya.

Terhadap beberapa kalangan yang skeptis dan bahkan mengkerdilkan keberadaan LAZ swasta, Didin membantahnya. “Justru dengan UU ini akan mampu mengatur LAZ dengan baik dan menempatkannya sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem zakat nasional,” sambungnya.

Mengambil Sisi Baik

Di luar hiruk pikuk wacana atas terealisasinya UU ini, salah seorang anggota Komisi VIII berharap agar masyarakat memandang aturan ini sebagai hal positif. “Dengan UU ini, maka keberadaan amil yang ada di masyarakat kian diberikan keleluasaan mengopreasionalkan dana umat,” kata Prof DR H Ali Maschan Moesa, MSi.

Bagi mantan Ketua PWNU Jatim ini, dengan UU tersebut, maka masyarakat dapat lebih terbuka melakukan pengawasan agar dana yang telah terhimpun dapat disalurkan secara optimal. “Bukankah sudah pada tempatnya kalau dana yang dihimpu dari masyarakat juga harus dipertanggungjawabkan?” kata anggota Badan Kehormatan DPR RI ini balik bertanya.

Selama ini memang ada kemudahan bagi perorangan maupun lembaga untuk menjadikan dirinya sebagai amil tanpa ada upaya melaporkan pengelolaan dana yang telah ada.

Demikian pula keberadaan LAZ haruslah berbadan hukum. “Pengelolaan zakat harus berbadan hukum, karena terkait dengan kewenangan pengalihan aset lembaga,” kata Bahrul Hayat yang juga Sekretaris Jendral Kementerian Agama.

“Pasti akan menimbulkan pro dan kontra,” kata Pak Ali. Namun diharapkan dengan UU ini, kepercayaan masyarakat kian bertambah. Dengan demikian akan lebih banyak potensi dana yang bisa diserap dan didistribusikan untuk membantu mengangkat masyarakat dhuafa’ dari keterpurukan. Sinergi antara pemerintah lewat BAZNAS dan masyarakat dengan LAZ-nya, diharapkan pengentasan kemiskinan bukan sekedar slogan tanpa makna.

Selasa, 01 November 2011

AULA Edisi Nopember 2011


Kiai Wahab Chasbullah Pahlawan Nasional?

Sejarah panjang bangsa ini sejak masa cengkraman penjajahan, revolusi fisik hingga format dan bentuk negara Indonesia masa depan tak pernah sekalipun dilewatkan. Dengan keberanian, kalkulasi yang cermat serta negosiasi yang fleksibel, keutuhan bangsa ini dapat terjaga hingga kini. Namun dia tak pernah berfikir soal gelar, termasuk pahlawan untuk dedikasinya.

BELIAU adalah KH Abdul Wahab Chasbullah. Sosok yang oleh pengamat dipandang sebagai pendiri NU yang sesungguhnya lantaran mendesain, menghimpun serta melakukan silaturrahim ke berbagai kiai Nusantara dalam rangka meyakinkan mereka akan pentingnya para kiai pesantren terhimpun dalam sebuah organisasi. Kendati tak kunjung mendapat restu dari sang maha guru, hadratus syaikh KH Hasyim Asy’ari, tapi Kiai Wahab tetap tak bergeming. Baginya, akan lebih anfa’ bila para kiai terhimpun dalam sebuah jam’iyah. Dan pucuk dicinta ulam tiba. Restu Mbah Hasyim kian menggelorakan semangatnya untuk mengembangkan jam’iyah tersebut di seluruh pelosok negeri.

Pengembaraan intelektual yang dilakukan semasa muda dari pesantren ke pesantren dan kemudian dituntaskan di Makkah dalam waktu yang lumayan lama mengantarkannya memiliki kolega di hampir seluruh daerah. Kedalaman ilmu, koneksi jaringan kiai tanah air serta keberadaannya sebagai organisatoris ulung yang ditopang sumber dana yang memadai, membuat banyak kalangan langsung sepakat dengan ide briliannya.

NU menjadi ormas keagamaan yang disegani hingga kini, tidak semata dilandasi oleh keteguhan dan kemurnian dalam berjuang. “Yang tak kalah penting adalah jaringan para kiai kenamaan di seluruh negeri,” kata DR KH Said Aqiel Siradj pada perhelatan haul ke 40 yang lalu. “Kiai Wahab datangi satu persatu para kiai di tanah air dengan biaya sendiri,” lanjut Ketua Umum PBNU ini. Bisa dibayangkan, berapa biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk bersilaturrahim dengan kiai se antero tanah air ini.

Yang menarik dari sosoknya adalah kegigihan dalam membentengi aqidah dan amaliyah Ahlussunnah wal Jamaah, baik di tanah air bahkan hingga ke Saudi Arabia. Dia juga sangat tidak terima kalau keberadaan kiai dan santri serta pesantren diremehkan. Manakala kalangan orang berpendidikan yang terhimpun dalam Partai Masyumi memandang sebelah mata terhadap otoritas kiai, Mbah Wahab tidak segan-segan untuk keluar dari partai yang menjadi representasi umat Islam kala itu.

Saat para kiai dan kalangan pesantren kurang pede dan diimbangi dengan provokasi kalangan yang mengklaim dirinya sebagai Islam modernis, dengan lantang Mbah Wahab mengatakan: “Saya hanya butuh seorang pemuda untuk menemani, cukup satu sebagai sekretaris saya. Selanjutnya, kau akan lihat apa yang akan terjadi.”

Itu adalah diantara kematangan kalkulasi yang dilakukan Mbah Wahab. Setelah NU menjadi partai mandiri dan bertarung pada Pemilu 1955, ternyata suara yang dikumpulkan melebihi prediksi berbagai kalangan, bahkan internal NU sekalipun.

Dengan rentang yang lumayan panjang, Mbah Wahab merasakan betul pahit getirnya hidup di dunia politik. Ini pula yang harusnya jadi teladan bagi warga dan pemimpin NU maupun bangsa Indonesia. Saat menjadi orang pertama yang memiliki otoritas penuh di NU dan partai politik, selaksa sanjungan dan cercaan mengiringi kiprahnya.

Hampir bisa dikatakan, sepanjang hidupnya, perhatian, pemikiran, harta dan tenaganya dicurahkan untuk mewujudkan cita-cita Islam Aswaja melalui Nahdlatul Ulama. Tidak heran jika Kiai Wahab tidak pernah absen selama 25 kali penyelenggaraan Muktamar NU.

Dalam khutbah iftitah terakhir sebagai Rais ‘Am, Kiai Wahab sempat berharap: “Supaya NU tetap menemukan arah jalannya didalam mensyukuri nikmat karunia Allah SWT sebagai suatu partai terbesar (dalam arti besar amal shaleh dan hikmahnya kepada bangsa dan negara), melalui cara-cara yang sesuai dengan akhlak Ahlus Sunnah wal Jamaah.”

Pada kesempatan itu pula, beliau berpesan agar kaum nahdliyin tidak semuanya terseret ke dalam dunia politik dan masih berpegangan kuat dan mempunyai jiwa pendirian Nahdlatul Ulama 1926.

Sederet nama dan kiprah besar, kadang memang tak memerlukan “panggung” apalagi “baju” ataupun gelar yang akan disandingkan diantara kebesaran namanya. Kiai Wahab Chasbullah telah menorehkan prestasi yang tak terbantahkan bagi eksistensi jam’iyah dan bangsa ini. Toh, hingga kini gelar pahlawan tidak disandingkan dengan namanya.

Bila memang dirasa layak, itu bukan tugas Kiai Wahab untuk memprosesnya. Tugas dan dedikasi beliau telah paripurna dan kita bisa nikmati hingga kini. Tugas selanjutnya adalah bagi generasi muda dan anak bangsa untuk “sekedar” memprosesnya menjadi pahlawan nasional. Tentunya ini tugas teramat “ringan” dan tidak berbiaya. Masalahnya, siapa yang akan meluangkan waktu untuk itu? Saifullah an-Nawawi

BACA JUGA LIPUTAN SELENGKAPNYA:

Refleksi (hal 8)
Ummurrisalah:
- Kiai Wahab Chasbullah Pahlawan Nasional (hal 10)
- Jalan Panjang Kiai Wahab (hal 13)
- Khidmat Tanpa Pamrih Kiai Tiga Jaman (hal 17)
- Jalan Berliku Meraih Gelar Pahlawan (hal 22)
- Pendiri NU Yang Sebenarnya (hal 26)

Ihwal: Donor Darah, Aksi Sosial Tak Ternilai (hal 33)
Liputan Khusus: Mencetak Kader Pembela Aswaja (hal 36)
Bahsul Masail: Tanda Hitam di Kening Rasulullah? (hal 40)
Mimbar Aula: Merefleksikan Bencana Alam (hal 44)

Nuansa: Monumen Resolusi Jihad (hal 49)
Kantor PCNU Kota Surabaya (dulu Kantor PBNU) di Jalan Bubutan menjadi saksi sejarah dalam membakar spirit juang pertempuran 10 Nopember 1945. Di kantor inilah, inisiasi Resolusi Jihad Fisabilillah dicetuskan dan kini telah diresmikan menjadi monumen. Seperti apa kejadiannya?

Kancah Dakwah: Lika-Liku Mengentas Pelacuran di Surabaya (hal 53)
Mengentas masalah pelacuran bagaikan benang kusut. Diurai satu, masih ada yang lain. Lebih-lebih jika pelacuran itu melibatkan beberapa kepentingan politik dan kekuatan ekonomi tertentu. Namun bukan berarti tidak ada jalan yang bisa ditempuh. MUI Jatim bersama para da’i telah melakukannya.

Pendidikan: MTs NU 10 Penawaja Kendal (hal 57)
Ibrah: Cara Kiai Hamid Mengajari Shalat (hal 60)
Pesantren: PP Mambaul Hikam Mantenan Blitar (hal 61)
Tokoh: Drs H Muhammad Sudjak, M.Ag (hal 65)
Wawasan: Belajar dari Fenomena Sudarminto (hal 69)
Uswah: KH Sullam Syamsun (hal 72)

Khazanah: Rumput Fatimah (hal 76)
Ketika musim haji usai, biasanya banyak oleh-oleh khas Arab yang di bawa ke tanah air. Salah satunya adalah rumput Fatimah. Khasiat tumbuhan ini sudah dipercaya secara turun-temurun namun kerap ditentang kalangan medis. Kenapa?

Muhibah: Pesona Peninggalan Kerajaan Saba’ (hal 79)
Dalam al-Qur’an, banyak sejarah penting yang dikisahkan. Tak sedikit yang mengispirasi kemajuan masa kini dan mempersembahkan peninggalan yang mempesona. Salah satunya adalah pusat peradaban Kerajaan Saba’ yang masih dapat dikenali. Bagaimana keadaannya saat ini?

Aktualita: Fasilitas Baru di Makam Gus Dur (hal 83)
Kecintaan masyarakat kepada mantan presiden ini demikian tinggi. Hilir mudik peziarah seakan tak pernah putus datang ke Pesantren Tebuireng Jombang. Memberikan fasilitas pelengkap adalah sama dengan menghormati mereka.

Rehat: Khofifah Indar Parawansa (hal 87)
Dirasah: Signifikansi Pendidikan Anti Terorisme (hal 88)
Sekilas Aktivitas (hal 90)

Senin, 31 Oktober 2011

AULA Edisi Oktober 2011


Beda Hari Raya, Sampai Kapan ?

Lebaran Idul Fitri yang lalu masih menyisakan masalah hingga kini. Betapa peralatan dan teknologi canggih yang telah dimiliki pemerintah dan beberapa Ormas Islam ternyata belum mampu menjadikan umat Islam satu kata. Hanya karena beda cara, lebaran pun berbeda. Bila hal itu diteruskan, empat kali hari raya lagi akan berbeda lagi.

YUSUF, warga Perumahan Kepuh Permai, Waru, Sidoarjo adalah contoh orang yang bingung karena perbedaan hari raya. Sebagai orang yang dibesarkan dari keluarga NU ia seharusnya mengikuti petunjuk PBNU untuk berhari raya pada hari Rabu (31/8). Namun apa yang dilakukan oleh pemuda yang telah cukup lama ‘pindah pergaulan’ itu malah terdengar aneh. Pada hari Selasa (30/8) ia telah tidak berpuasa, karena mengikuti Muhammadiyah, tapi untuk shalat Id baru dilakukan esok harinya, mengikuti PBNU dan pemerintah. Tentu talfiq model Yusuf ini tidak dapat dibenarkan. Namun oleh karena kebingungan, hal yang terasa aneh itupun dapat terjadi.

Yah, perbedaan awal Ramadlan dan Hari Raya Idul Fitri memang selalu terjadi di Indonesia setiap tahun. Hanya saja biasanya terjadi pada komunitas kecil, seperti Islam Aboge di Madiun dan Nguling, Tarekat Kholidiyah di Peterongan Jombang, atau sebuah aliran di Sulawesi Selatan. Karena komunitas mereka hanya kecil sehingga dampak yang dirasakan masyarakat juga tidak seberapa.

Lain halnya ketika yang berbeda itu NU atau Muhammadiyah, dampak yang dirasakan akan luar biasa, karena keduanya merupakan Ormas terbesar dan memiliki jamaah yang banyak. Terlebih NU yang mempunyai basis massa riil hingga ke pelosok desa. “Kalau NU yang berbeda, pasti lebih ramai, karena massanya sangat banyak,” kata salah seorang kiai. Penatapan hari raya tahun 2011 adalah salah satu contohnya. Muhammadiyah memilih berbeda sikap dengan pemerintah dan Ormas-Ormas Islam lainnya.

Nah, bila dirunut lebih jauh, perbedaan hari raya terjadi karena perbedaan cara pandang. Meski bulan, bumi dan matahari hanya satu, namun karena berbeda cara menilai, berbeda pula hasil dan keyakinan yang didapatkan. Komunitas NU meyakini penentuan tanggal qamariyah harus dilakukan melalui rukyat, dengan dipandu sebelumnya oleh hisab. Muhammadiyah berkeyakinan tidak harus rukyat bil fi’li seperti NU, tapi cukup dilakukan dengan hisab. Perkara metode hisab juga banyak model, itu persoalan lain.

Komunitas Syi’ah lain lagi. Mereka sudah pathok bangkrong meyakini kalau bulan dan matahari di dunia ini hanya satu, sehingga hari jatuhnya tanggal juga harus sama di seluruh dunia. Mereka pun menunggu keputusan dari Iran sebagai induknya. Sebaliknya, komunitas salafi malah berprinsip hidup mati apa kata Saudi Arabia. Menurut mereka, Arab Saudilah yang paling tepat untuk memutuskan kapan umat Islam di seluruh dunia harus memulai Ramadlan dan berlebaran. Sementara para penganut Islam Aboge telah memiliki cara tersendiri dalam menetapkan hari raya.

Ketika perbedaan hari raya terjadi, banyak orang ‘berteriak’ agar para pemimpin umat dapat menyatukan pendapat dalam menentukan hari raya, demi umat. Cara yang ditawarkan adalah dengan menyamakan metode terlebih dahulu. Persoalannya, menyatukan pendapat yang telah menjadi keyakinan kuat bukanlah persoalan mudah. Namun bukan berarti tidak penting untuk dilakukan.

Sebab di tengah perbedaan hari raya selalu muncul tangan-tangan jahil yang ingin memanfaatkan kesempatan. Dalam hari raya 1432 yang lalu misalnya, muncul isu pemerintah Arab Saudi telah meminta maaf kepada kaum muslimin di seluruh dunia atas kekeliruannya menetapkan hari raya pada tanggal 30 Agustus 2011. Tidak hanya meminta maaf, pemerintah Arab Saudi, kata isu itu, juga bersedia mengganti seluruh kerugian yang ditimbulkan atas kekeliruan tersebut. Nah, hebat kan, si penyebar isu tersebut?

Ketika isu itu dilacak di internet, si pembuat isu menyatakan sumber berita adalah siaran berita dari Al-Jazeera yang berbahasa Arab. Namun ketika didengarkan dengan seksama, ternyata berita yang dimaksud tidak ada kaitan. “Penyebar isu itu adalah orang Yahudi, setelah saya lacak. Di Indonesia, yang pertama kali melemparkan isu tersebut adalah situs anu,” kata Gus Habib, yang mengaku telah melakukan ‘pengejaran’ di dunia maya.

Pada bagian lain juga terdengar isu (meski sayup-sayup) sebaliknya. Konon, Pemerintah Indonesia, menurut isu itu, juga meminta maaf atas keputusannya menetapkan hari raya tanggal 31 Agustus 2011. Nah?

Kalau para pemimpin umat tidak segera duduk satu meja membahas jalan keluar masalah tersebut, bukan tidak mungkin hari raya tahun depan akan muncul isu yang lebih sensitif lagi. Apalagi diperkirakan (hampir pasti) tiga hari raya yang akan datang akan berbeda lagi.q Mohammad Subhan

Liputan selengkapnya baca:

Refleksi: Zaman (hal 8)
Ummurrisalah:
- Beda Cara, Beda Hari Raya; Sampai Kapan? (hal 10)
- Isu Seputar Permintaan Maaf Arab Saudi (hal 13)
- Semua Bermuara pada Sidang Itsbat (hal 18)
- Wujudul Hilal yang Usang (hal 22)
- Evolusi Itsbat Versi Muhammadiyah (hal 26)
Liputan Khusus: Sidoarjo Memahami SK Wilayah (hal 29)
Ihwal: Soal Dolly, Gubernur Minta Maaf (hal 34)
Bahtsul Masail: Nadzar yang Terlupa (hal 38)
Mimbar Aula: Khutbah Idul Adha 1432 H (hal 43)
Muhibah: Perkenalkan Islam pada Mereka yang Antipati (hal 48)
Kancah Dakwah: Ketika Polisi Rajin Mengaji (hal 53)
Pesantren: PP Al-Makkiyyah Darussalam Jombang (hal 57)
Pendidikan: Universitas Islam Madura (UIM) (hal 61)
Tokoh: Drs H Moh Salim Al-Djufri, M.Sos.I (hal 65)
Khazanah: Khasiat si Merah, Lebihi Bentuk Fisiknya (hal 69)
Dirasah: Bulan dan Kalender Islam (hal 73)
Rehat: Merawat Kopiah Gus Dur (hal 81)
Uswah: KH Wahib Wahab (hal 84)
Iptek: Memulung Sampah di Luar Angkasa (hal 87)
Sekilas Aktivitas (hal 90)

Kamis, 15 September 2011

AULA September 2011

Halal Bihalal Pun Digugat


Seperti orang kurang pekerjaan, ada saja yang diusili. Dengan kemampuan ilmu agama yang terbatas, semua orang disalahkan, dibid’ahkan dan ditakut-takuti bakal masuk neraka. Kalau ingin masuk neraka, ikutilah dia. Tapi kiai NU sudah terbiasa dengan keusilan mereka itu. Sudah hafal.

TELAH menjadi tradisi yang melekat pada diri bangsa Indonesia, ketika menjelang Hari Raya Idul Fitri, jutaan orang berduyun-duyun kembali ke kampung halaman. Kegiatan itu biasa disebut mudik. Karena orang yang memiliki kesamaan keinginan itu berjumlah sangat banyak, biasanya arus mudik menjadi padat. Meski terkesan sulit dan melelahkan dalam perjalanan, namun tetap terasa nikmat. Terbukti, setiap tahun mereka mengulangi ‘kesengsaraan’ itu lagi dan di jalan yang sama lagi. Sengsara membawa nikmat.

Setiba di kampung halaman, tujuan pertama adalah sungkem kepada kedua orang tua. Sungkem dilakukan sebagai tanda bakti dan penghormatan anak kepada kedua orang tua. Biasanya dilakukan dengan berjabat tangan, posisi anak lebih rendah, anak mencium tangan orang tua sambil meminta maaf. “Ngaturaken sedaya kelepatan, nyuwun pangapunten, Ibu,” begitu ucapan yang biasa meluncur dari bibir sang anak.

Setelah melakukan sungkem pada kedua orang tua, biasanya dilanjutkan dengan sungkem saudara kepada yang lebih tua. Dilanjutkan kepada paman, bibi dan saudara kedua orang tua yang lain. Setelah itu dilanjutkan dengan unjung-unjung. Maksud dari unjung-unjung adalah saling mengunjungi saudara dan tetangga untuk bersilaturahmi dan saling meminta maaf. Rumah orang yang dikunjungi biasanya telah menyediakan makanan sebagai jamuan. Mereka pun biasanya akrab saling bercerita karena telah lama tidak bersua. Kadang pada hari kedua dilanjutkan dengan halal bihalal keluarga untuk menyambung persaudaraan bani (anak cucu) tokoh tertentu. Inti acara tetap sama, menyambung silaturahmi dan saling bermaafan.

Seminggu kemudian biasanya dilakukan halal bihalal dalam skala lebih besar dan formal. Kadang dilakukan oleh instansi pemerintah, lembaga swasta tempat bekerja atau lembaga pendidikan maupun organisasi sosial kemasyarakat serta partai politik. Agenda acara juga tidak jauh berbeda: silaturahmi dan saling bermaafan. Dalam halal bihalal formal ini biasanya dilakukan serangkaian acara seremonial berupa pengajian dan diakhiri dengan saling bermaafan yang disimbolkan dengan berjabat tangan.

Itulah budaya khas masyarakat Indonesia yang telah terjadi selama berabad-abad. Semuanya bernilai baik karena bersumberkan pada anjuran umum agama tentang taat kepada orang tua, menjalin silaturahmi, saling bermaafan dan sedekah. Tidak dipungkiri, kadang memang ada ekses negatif, semacam berjabat tangan dengan lain jenis yang bukan muhrim. Namun persoalan jabat tangan bukanlah keharusan dan berjabat tangan tidak harus saling bersentuhan kulit. Dalam budaya Indonesia, dengan merapatkan kedua telapak tangan di dada sambil kepala sedikit membungkuk, itu artinya sudah berjabat tangan.

Anehnya, masih saja ada orang yang tidak sependapat dengan tradisi yang baik itu. Lihat saja di banyak situs mereka. Ada yang berdalih, tidak ada tuntunan dari Rasulullah SAW, bid’ah, tidak ada manfaatnya, sampai hanya buang-buang waktu. Adapun acara halal bihalal seperti yang sering kita saksikan di negeri kita ini maka hukumnya adalah BID’AH yang sesat. Begitu bunyi salah satu penyataaan mereka.

Ada lagi. Memang tidak ada dalil dari Al-Quran ataupun As-Sunnah tentang halal bihalal. Mudah-mudahan kita tidak meyakininya sebagai bagian dari ibadah, karena itu tergolong sebagai perbuatan bid’ah, yang memperoleh ancaman dari Rasulullah SAW. Atau Tradisi itu sendiri jika tidak memiliki landasan dalam agama sebaiknya dimusnahkan saja, atau Lebih-lebih acara saling berkunjung saat hari raya itu banyak membuang-buang waktu secara percuma. Sedangkan perempuan tidaklah dibolehkan sering keluar rumah. Kalau dirunut lebih jauh, pemikiran mereka adalah model kaum wahabi yang berkeyakinan semua yang tidak ada tuntunan langsung dari Rasulullah dianggap bid’ah dan masuk neraka.

Menanggapi tentang penolakan itu, KH Agoes Ali Masyhuri, Pengasuh Pondok Pesantren Bumi Sholawat Tulangan Sidoarjo, berpesan agar warga NU tetap menjaga, merawat dan melestarikan tradisi yang telah ada dengan memandangnya sebagai kearifan lokal. Halal bihalal, menurut Gus Ali, adalah khazanah Islam khas Indonesia yang tidak ditemukan di belahan dunia manapun. Dan uniknya, ini tidak bertentangan dengan syariat Islam. “Silakan dicarikan dalil yang mengemukakan bahwa halal bihalal bertentangan dengan syariat. Saya siap berdebat dan menjelaskan hal ini dengan mereka,” tantang Gus Ali. Mohammad Subhan

Dapatkan Majalah Aula Edisi September 2011 dengan topik utama “HALAL BIHALAL PUN DIGUGAT” yang meliputi:
- Halal Bihalal Pun Digugat (hal 10)
- Mudik dengan Segala Rangkaiannya (hal 13)
- Tradisi Lebaran Tak Bertentangan Syariat (hal 17)
- Pertahankan Khazanah Islam Lokal (hal 24)
- Hargai Tradisi Kreasi Ulama (hal 27)

Dapatkan juga liputan lainnya:
Liputan Khusus: Memahami Surat Keputusan Wilayah (hal 29)
Ihwal: Pengajian Model Baru (hal 33)
Nuansa: Haul Saiyidatina Khadijah (hal 36)
Bahtsul Masail: Menyerahkan Hak Arisan dengan Ganti Rugi (hal 39)
Mimbar Aula: Evaluasi Taqwa (hal 43)
Muhibah: Muslim Serumpun yang Beda Nasib (hal 48)
Kancah Dakwah: Meretas Kader di Kampung Terpencil (hal 53)
Pesantren: PP Amanatul Ummah Pacet (hal 57)
Pendidikan: MA Matholi’ul Anwar Lamongan (hal 61)
Tokoh: Dr KH A Muhaimin Zen, MA (hal 65)
Uswah: KH Abdul Mughni (hal 70)
Khazanah: Si Putih dengan Aneka Khasiat (hal 73)
Rehat: Agus Sunyoto & Zainal Fanani (hal 78)
Memori: Napak Tilas Perjuangan di Pojok Gus Dur (hal 80)
Resensi: Menimbang Sejarah dan Ajaran Tarekat (hal 86)
Sekilas Aktivitas (hal 90)

Rabu, 24 Agustus 2011

Aula Agustus 2011



Berharap Berkah dari Kaum Sufi

Ketika dunia makin tidak tenteram, kerakusan manusia makin tak terkendali dan keadilan makin sulit didapatkan, para tokoh agama melirik kaum sufi sebagai alternatif jalan keluar. Ternyata para pemimpin tarekat di tingkat internasional jauh dari kesan yang selama ini terlihat di tingkat lokal. Mereka alim, intelek dan berwibawa. Pakaian mereka pun bagus-bagus.

PERTENGAHAN bulan Juli lalu, PBNU menggelar kegiatan besar bertajuk Al-Multaqo as-Sufy al-Alamy (Konferensi Sufi Internasional) di Jakarta. Dalam kegiatan yang dimotori oleh Jam’iyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (Jatman) itu hadir para ulama sufi dan mursyid tarekat dari dalam dan luar negeri. Di antaranya Syaikh Hisyam Kabbani (Amerika, Khalifah Naqsyabandi Haqqani), Syaikh Rojab Dib An-Naqsyabandi (Syria, Mursyid Tarekat Naqsyabandi), Habib Zaid bin Abdurrahman bin Yahya (Yaman), Syaikh Abdurohim Ar-Rukainy (Sudan, Mursyid Tarekat Qur’aniyah As-Sunniyah Al-Muhammadiyah Ar-Rukainiyah), Syaikh Jibril Fuad Al-Hadad (Brunei, penanggung jawab dakwah Asia Tenggara Naqsyabandi Haqqani), Syaikh Fuad Suhaimi (utusan khusus Pemimpin Libya Moammar Qadafi), dan Syaikh Musthafa Mas’ud (Amir Naqsyabandi Haqqani Indonesia). Dari dalam negeri hadir para mursyid tarekat-tarekat mu’tabarah di bawah naungan NU. Mereka berjumlah 50 orang. Ditambah para pengurus Idaroh Aliyah dan Idaroh Wustho Jatman se-Indonesia sehingga jumlah mereka sekitar 300 orang. Hadir pula seorang pengamat dari Jepang Prof Tonaga.

Pertemuan yang merupakan kelanjutan dari pertemuan serupa di Nablus, Libya pada Pebruari lalu itu bertujuan untuk menggali potensi yang terkandung dari nilai-nilai ajaran tasawuf dan tarekat untuk membantu mewujudkan perdamaian dunia yang semakin jauh dari angan. “Mudah-mudahan pertemuan ini akan terus berlanjut menjadi kekuatan tarekat yang tersebar di seluruh dunia sebagai elemen penting membangun peradaban manusia,” H As’ad Said Ali, Ketua Panitia Pelaksana menaruh harap.

Rais Am PBNU, Dr KH MA Sahal Mahfudz, menilai penggalian kembali nilai-nilai tasawuf untuk membantu perdamaian dunia saat ini sangat penting. Apalagi dunia sedang dilanda dekadensi moral, pornografi, korupsi, pelanggaran nilai-nilai dan norma agama Islam. Stigma negatif juga semakin melekat pada umat Islam, akibat sikap radikal yang dilakukan sebagian kecil umat Islam. “Pendekatan tasawuf yang mengedepankan kejernihan hati dan kebenaran universal menjadi sangat penting dilakukan,” tutur Kiai Sahal. Apalagi di Indonesia, kata Kiai Sahal, tasawuf turut berperan penting dalam membebaskan diri dari penjajahan.

Ketua Umum PBNU, Dr KH Said Aqiel Sirodj, MA, menjelaskan, kembali kepada nilai-nilai ajaran tasawuf saat ini adalah sangat penting. Orang Barat modern biasanya berpikir serba materi. Tapi pasca modern mereka mengakui pentingnya aspek spiritual, kalau tidak ingin menjadi kain bila dzakirah alias robot. Orang NU dikenal memiliki toleransi yang tinggi karena di dalamnya mengalir nilai-nilai tasawuf yang kuat. “Tanpa tasawuf orang akan sulit toleran,” tegasnya.

Ia mencontohkan kelompok radikal Wahabi-Salafi yang sulit berinteraksi dengan masyarakat sekitar, karena tidak memiliki akar tasawuf. Mereka selalu menyalahkan kelompok-kelompok lain yang tidak sejalan dengan mereka. Bahkan, konon, menurut mereka, berzina masih lebih baik daripada makan makanan yang disuguhkan dalam tahlilan. Na’udzubillah min dzalik!

Menurut asisten Sekjen Multaqo Sufi Asia itu, NU-lah yang paling paham ber-Islam dan bernegara, sementara mereka masih berkutat pada persoalan klasik yang belum juga menemukan jawaban. “NU paling awal selesai membahas apa itu Islam dan apa itu negara,” kata Kiai Said. Dan semua itu, menurut Kiai Said, karena NU telah lekat dengan ajaran-ajaran tasawuf yang dibawa oleh Walisongo.

Walhasil, dalam pertemuan itu dibahas tentang pentingnya mengupayakan perdamaian dunia yang digali dari nilai-nilai ajaran tasawuf. Disamping itu dirumuskan pula langkah bersama untuk mengurangi fanatisme kelompok, menghimpun silsilah sanad para mursyid dari semua aliran tarekat di seluruh dunia, serta saling bertukar informasi seputar dunia tasawuf dan tarekat dari berbagai negara.

Syaikh Rojab Dib An-Naqsyabandi justru berharap lebih dari itu. “Kami berharap pertemuan ini dapat memunculkan sesuatu yang menjadi daya dobrak dunia, seperti dalam Konferensi Asia Afrika (KAA),” kata Syaikh Rojab. Sebab dulu, menurut murid terdekat Syaikh Ahmad Kaftaro itu, Indonesialah negara yang paling berperan membantu negara-negara Arab untuk bangkit dari penjajahan.

KAA, menurut Syaikh Rojab, adalah murni ide pemikiran para ulama. Ide dasar dari KH Abdul Wahab Hasbullah, salah seorang tokoh NU, yang disampaikan kepada Bung Karno. Bung Karno menyetujui ide tersebut. Mereka yang datang pada konferensi itu juga para ulama. Termasuk Syaikh Ahmad Kaftaro yang menjadi utusan Syria. Oleh karena itu, ia berharap agar kali ini Indonesia kembali menjadi pelopor gerakan itu lagi. M Subhan

Baca ulasan lengkap tentang Kaum Sufi Membangun Peradaban Baru di Majalah AULA edisi Agustus 2011 :
- Berharap Berkah dari Kaum Sufi (hal 10)
- Terpersona Tarian Sufi (hal 13)
- Deklarasi Multaqos Shufi (hal 15)
- Tarekat NU Berstandar (hal 17)
- Tidak Semua Sepakat Konferensi Sufi (hal 20)
- Tiap Orang Butuh Tarekat (hal 24)

Wawancara: Habib Luthfy: Intinya NU Ya Tarekat (hal 27)

DAPATKAN JUGA LIPUTAN MENGENAI :
Refleksi: Tiga Karung (hal 8)
Ihwal: Padukan Akidah dan Tasawuf (hal 31)
Liputan Khusus: Laporan dari Kongres Pertama Pergunu (hal 34)
Bahtsul Masail: Lailatul Qadar dan Zakat Profesi (hal 38)
Mimbar Aula: Menyelami Makna Idul Fitri (hal 43)
Muhibah: Berjuang Mendirikan Masjid di Philadelphia (hal 49)
Uswah: KH Fatchurrahman Kafrawi (hal 52)
Pesantren: Ponpes Al-Luwung Sragen (hal 56)
Kancah Dakwah: Dakwah yang Mengudara (hal 61)
Pendidikan: MTs NU Sunan Kalijaga Batang (hal 64)
Khazanah: Mengawali Buka dengan Semangka? (hal 67)
Dirasah: Pendidikan Karakter Berbasis Pesantren (hal 70)
Rehat: Moh Ma’ruf Syah, SH, MH (hal 78)
Aktualita: Beruntung Indonesia Punya Muslimat (hal 80)
Sekilas Aktivitas (hal 90)