Selasa, 01 November 2011

AULA Edisi Nopember 2011


Kiai Wahab Chasbullah Pahlawan Nasional?

Sejarah panjang bangsa ini sejak masa cengkraman penjajahan, revolusi fisik hingga format dan bentuk negara Indonesia masa depan tak pernah sekalipun dilewatkan. Dengan keberanian, kalkulasi yang cermat serta negosiasi yang fleksibel, keutuhan bangsa ini dapat terjaga hingga kini. Namun dia tak pernah berfikir soal gelar, termasuk pahlawan untuk dedikasinya.

BELIAU adalah KH Abdul Wahab Chasbullah. Sosok yang oleh pengamat dipandang sebagai pendiri NU yang sesungguhnya lantaran mendesain, menghimpun serta melakukan silaturrahim ke berbagai kiai Nusantara dalam rangka meyakinkan mereka akan pentingnya para kiai pesantren terhimpun dalam sebuah organisasi. Kendati tak kunjung mendapat restu dari sang maha guru, hadratus syaikh KH Hasyim Asy’ari, tapi Kiai Wahab tetap tak bergeming. Baginya, akan lebih anfa’ bila para kiai terhimpun dalam sebuah jam’iyah. Dan pucuk dicinta ulam tiba. Restu Mbah Hasyim kian menggelorakan semangatnya untuk mengembangkan jam’iyah tersebut di seluruh pelosok negeri.

Pengembaraan intelektual yang dilakukan semasa muda dari pesantren ke pesantren dan kemudian dituntaskan di Makkah dalam waktu yang lumayan lama mengantarkannya memiliki kolega di hampir seluruh daerah. Kedalaman ilmu, koneksi jaringan kiai tanah air serta keberadaannya sebagai organisatoris ulung yang ditopang sumber dana yang memadai, membuat banyak kalangan langsung sepakat dengan ide briliannya.

NU menjadi ormas keagamaan yang disegani hingga kini, tidak semata dilandasi oleh keteguhan dan kemurnian dalam berjuang. “Yang tak kalah penting adalah jaringan para kiai kenamaan di seluruh negeri,” kata DR KH Said Aqiel Siradj pada perhelatan haul ke 40 yang lalu. “Kiai Wahab datangi satu persatu para kiai di tanah air dengan biaya sendiri,” lanjut Ketua Umum PBNU ini. Bisa dibayangkan, berapa biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk bersilaturrahim dengan kiai se antero tanah air ini.

Yang menarik dari sosoknya adalah kegigihan dalam membentengi aqidah dan amaliyah Ahlussunnah wal Jamaah, baik di tanah air bahkan hingga ke Saudi Arabia. Dia juga sangat tidak terima kalau keberadaan kiai dan santri serta pesantren diremehkan. Manakala kalangan orang berpendidikan yang terhimpun dalam Partai Masyumi memandang sebelah mata terhadap otoritas kiai, Mbah Wahab tidak segan-segan untuk keluar dari partai yang menjadi representasi umat Islam kala itu.

Saat para kiai dan kalangan pesantren kurang pede dan diimbangi dengan provokasi kalangan yang mengklaim dirinya sebagai Islam modernis, dengan lantang Mbah Wahab mengatakan: “Saya hanya butuh seorang pemuda untuk menemani, cukup satu sebagai sekretaris saya. Selanjutnya, kau akan lihat apa yang akan terjadi.”

Itu adalah diantara kematangan kalkulasi yang dilakukan Mbah Wahab. Setelah NU menjadi partai mandiri dan bertarung pada Pemilu 1955, ternyata suara yang dikumpulkan melebihi prediksi berbagai kalangan, bahkan internal NU sekalipun.

Dengan rentang yang lumayan panjang, Mbah Wahab merasakan betul pahit getirnya hidup di dunia politik. Ini pula yang harusnya jadi teladan bagi warga dan pemimpin NU maupun bangsa Indonesia. Saat menjadi orang pertama yang memiliki otoritas penuh di NU dan partai politik, selaksa sanjungan dan cercaan mengiringi kiprahnya.

Hampir bisa dikatakan, sepanjang hidupnya, perhatian, pemikiran, harta dan tenaganya dicurahkan untuk mewujudkan cita-cita Islam Aswaja melalui Nahdlatul Ulama. Tidak heran jika Kiai Wahab tidak pernah absen selama 25 kali penyelenggaraan Muktamar NU.

Dalam khutbah iftitah terakhir sebagai Rais ‘Am, Kiai Wahab sempat berharap: “Supaya NU tetap menemukan arah jalannya didalam mensyukuri nikmat karunia Allah SWT sebagai suatu partai terbesar (dalam arti besar amal shaleh dan hikmahnya kepada bangsa dan negara), melalui cara-cara yang sesuai dengan akhlak Ahlus Sunnah wal Jamaah.”

Pada kesempatan itu pula, beliau berpesan agar kaum nahdliyin tidak semuanya terseret ke dalam dunia politik dan masih berpegangan kuat dan mempunyai jiwa pendirian Nahdlatul Ulama 1926.

Sederet nama dan kiprah besar, kadang memang tak memerlukan “panggung” apalagi “baju” ataupun gelar yang akan disandingkan diantara kebesaran namanya. Kiai Wahab Chasbullah telah menorehkan prestasi yang tak terbantahkan bagi eksistensi jam’iyah dan bangsa ini. Toh, hingga kini gelar pahlawan tidak disandingkan dengan namanya.

Bila memang dirasa layak, itu bukan tugas Kiai Wahab untuk memprosesnya. Tugas dan dedikasi beliau telah paripurna dan kita bisa nikmati hingga kini. Tugas selanjutnya adalah bagi generasi muda dan anak bangsa untuk “sekedar” memprosesnya menjadi pahlawan nasional. Tentunya ini tugas teramat “ringan” dan tidak berbiaya. Masalahnya, siapa yang akan meluangkan waktu untuk itu? Saifullah an-Nawawi

BACA JUGA LIPUTAN SELENGKAPNYA:

Refleksi (hal 8)
Ummurrisalah:
- Kiai Wahab Chasbullah Pahlawan Nasional (hal 10)
- Jalan Panjang Kiai Wahab (hal 13)
- Khidmat Tanpa Pamrih Kiai Tiga Jaman (hal 17)
- Jalan Berliku Meraih Gelar Pahlawan (hal 22)
- Pendiri NU Yang Sebenarnya (hal 26)

Ihwal: Donor Darah, Aksi Sosial Tak Ternilai (hal 33)
Liputan Khusus: Mencetak Kader Pembela Aswaja (hal 36)
Bahsul Masail: Tanda Hitam di Kening Rasulullah? (hal 40)
Mimbar Aula: Merefleksikan Bencana Alam (hal 44)

Nuansa: Monumen Resolusi Jihad (hal 49)
Kantor PCNU Kota Surabaya (dulu Kantor PBNU) di Jalan Bubutan menjadi saksi sejarah dalam membakar spirit juang pertempuran 10 Nopember 1945. Di kantor inilah, inisiasi Resolusi Jihad Fisabilillah dicetuskan dan kini telah diresmikan menjadi monumen. Seperti apa kejadiannya?

Kancah Dakwah: Lika-Liku Mengentas Pelacuran di Surabaya (hal 53)
Mengentas masalah pelacuran bagaikan benang kusut. Diurai satu, masih ada yang lain. Lebih-lebih jika pelacuran itu melibatkan beberapa kepentingan politik dan kekuatan ekonomi tertentu. Namun bukan berarti tidak ada jalan yang bisa ditempuh. MUI Jatim bersama para da’i telah melakukannya.

Pendidikan: MTs NU 10 Penawaja Kendal (hal 57)
Ibrah: Cara Kiai Hamid Mengajari Shalat (hal 60)
Pesantren: PP Mambaul Hikam Mantenan Blitar (hal 61)
Tokoh: Drs H Muhammad Sudjak, M.Ag (hal 65)
Wawasan: Belajar dari Fenomena Sudarminto (hal 69)
Uswah: KH Sullam Syamsun (hal 72)

Khazanah: Rumput Fatimah (hal 76)
Ketika musim haji usai, biasanya banyak oleh-oleh khas Arab yang di bawa ke tanah air. Salah satunya adalah rumput Fatimah. Khasiat tumbuhan ini sudah dipercaya secara turun-temurun namun kerap ditentang kalangan medis. Kenapa?

Muhibah: Pesona Peninggalan Kerajaan Saba’ (hal 79)
Dalam al-Qur’an, banyak sejarah penting yang dikisahkan. Tak sedikit yang mengispirasi kemajuan masa kini dan mempersembahkan peninggalan yang mempesona. Salah satunya adalah pusat peradaban Kerajaan Saba’ yang masih dapat dikenali. Bagaimana keadaannya saat ini?

Aktualita: Fasilitas Baru di Makam Gus Dur (hal 83)
Kecintaan masyarakat kepada mantan presiden ini demikian tinggi. Hilir mudik peziarah seakan tak pernah putus datang ke Pesantren Tebuireng Jombang. Memberikan fasilitas pelengkap adalah sama dengan menghormati mereka.

Rehat: Khofifah Indar Parawansa (hal 87)
Dirasah: Signifikansi Pendidikan Anti Terorisme (hal 88)
Sekilas Aktivitas (hal 90)

Senin, 31 Oktober 2011

AULA Edisi Oktober 2011


Beda Hari Raya, Sampai Kapan ?

Lebaran Idul Fitri yang lalu masih menyisakan masalah hingga kini. Betapa peralatan dan teknologi canggih yang telah dimiliki pemerintah dan beberapa Ormas Islam ternyata belum mampu menjadikan umat Islam satu kata. Hanya karena beda cara, lebaran pun berbeda. Bila hal itu diteruskan, empat kali hari raya lagi akan berbeda lagi.

YUSUF, warga Perumahan Kepuh Permai, Waru, Sidoarjo adalah contoh orang yang bingung karena perbedaan hari raya. Sebagai orang yang dibesarkan dari keluarga NU ia seharusnya mengikuti petunjuk PBNU untuk berhari raya pada hari Rabu (31/8). Namun apa yang dilakukan oleh pemuda yang telah cukup lama ‘pindah pergaulan’ itu malah terdengar aneh. Pada hari Selasa (30/8) ia telah tidak berpuasa, karena mengikuti Muhammadiyah, tapi untuk shalat Id baru dilakukan esok harinya, mengikuti PBNU dan pemerintah. Tentu talfiq model Yusuf ini tidak dapat dibenarkan. Namun oleh karena kebingungan, hal yang terasa aneh itupun dapat terjadi.

Yah, perbedaan awal Ramadlan dan Hari Raya Idul Fitri memang selalu terjadi di Indonesia setiap tahun. Hanya saja biasanya terjadi pada komunitas kecil, seperti Islam Aboge di Madiun dan Nguling, Tarekat Kholidiyah di Peterongan Jombang, atau sebuah aliran di Sulawesi Selatan. Karena komunitas mereka hanya kecil sehingga dampak yang dirasakan masyarakat juga tidak seberapa.

Lain halnya ketika yang berbeda itu NU atau Muhammadiyah, dampak yang dirasakan akan luar biasa, karena keduanya merupakan Ormas terbesar dan memiliki jamaah yang banyak. Terlebih NU yang mempunyai basis massa riil hingga ke pelosok desa. “Kalau NU yang berbeda, pasti lebih ramai, karena massanya sangat banyak,” kata salah seorang kiai. Penatapan hari raya tahun 2011 adalah salah satu contohnya. Muhammadiyah memilih berbeda sikap dengan pemerintah dan Ormas-Ormas Islam lainnya.

Nah, bila dirunut lebih jauh, perbedaan hari raya terjadi karena perbedaan cara pandang. Meski bulan, bumi dan matahari hanya satu, namun karena berbeda cara menilai, berbeda pula hasil dan keyakinan yang didapatkan. Komunitas NU meyakini penentuan tanggal qamariyah harus dilakukan melalui rukyat, dengan dipandu sebelumnya oleh hisab. Muhammadiyah berkeyakinan tidak harus rukyat bil fi’li seperti NU, tapi cukup dilakukan dengan hisab. Perkara metode hisab juga banyak model, itu persoalan lain.

Komunitas Syi’ah lain lagi. Mereka sudah pathok bangkrong meyakini kalau bulan dan matahari di dunia ini hanya satu, sehingga hari jatuhnya tanggal juga harus sama di seluruh dunia. Mereka pun menunggu keputusan dari Iran sebagai induknya. Sebaliknya, komunitas salafi malah berprinsip hidup mati apa kata Saudi Arabia. Menurut mereka, Arab Saudilah yang paling tepat untuk memutuskan kapan umat Islam di seluruh dunia harus memulai Ramadlan dan berlebaran. Sementara para penganut Islam Aboge telah memiliki cara tersendiri dalam menetapkan hari raya.

Ketika perbedaan hari raya terjadi, banyak orang ‘berteriak’ agar para pemimpin umat dapat menyatukan pendapat dalam menentukan hari raya, demi umat. Cara yang ditawarkan adalah dengan menyamakan metode terlebih dahulu. Persoalannya, menyatukan pendapat yang telah menjadi keyakinan kuat bukanlah persoalan mudah. Namun bukan berarti tidak penting untuk dilakukan.

Sebab di tengah perbedaan hari raya selalu muncul tangan-tangan jahil yang ingin memanfaatkan kesempatan. Dalam hari raya 1432 yang lalu misalnya, muncul isu pemerintah Arab Saudi telah meminta maaf kepada kaum muslimin di seluruh dunia atas kekeliruannya menetapkan hari raya pada tanggal 30 Agustus 2011. Tidak hanya meminta maaf, pemerintah Arab Saudi, kata isu itu, juga bersedia mengganti seluruh kerugian yang ditimbulkan atas kekeliruan tersebut. Nah, hebat kan, si penyebar isu tersebut?

Ketika isu itu dilacak di internet, si pembuat isu menyatakan sumber berita adalah siaran berita dari Al-Jazeera yang berbahasa Arab. Namun ketika didengarkan dengan seksama, ternyata berita yang dimaksud tidak ada kaitan. “Penyebar isu itu adalah orang Yahudi, setelah saya lacak. Di Indonesia, yang pertama kali melemparkan isu tersebut adalah situs anu,” kata Gus Habib, yang mengaku telah melakukan ‘pengejaran’ di dunia maya.

Pada bagian lain juga terdengar isu (meski sayup-sayup) sebaliknya. Konon, Pemerintah Indonesia, menurut isu itu, juga meminta maaf atas keputusannya menetapkan hari raya tanggal 31 Agustus 2011. Nah?

Kalau para pemimpin umat tidak segera duduk satu meja membahas jalan keluar masalah tersebut, bukan tidak mungkin hari raya tahun depan akan muncul isu yang lebih sensitif lagi. Apalagi diperkirakan (hampir pasti) tiga hari raya yang akan datang akan berbeda lagi.q Mohammad Subhan

Liputan selengkapnya baca:

Refleksi: Zaman (hal 8)
Ummurrisalah:
- Beda Cara, Beda Hari Raya; Sampai Kapan? (hal 10)
- Isu Seputar Permintaan Maaf Arab Saudi (hal 13)
- Semua Bermuara pada Sidang Itsbat (hal 18)
- Wujudul Hilal yang Usang (hal 22)
- Evolusi Itsbat Versi Muhammadiyah (hal 26)
Liputan Khusus: Sidoarjo Memahami SK Wilayah (hal 29)
Ihwal: Soal Dolly, Gubernur Minta Maaf (hal 34)
Bahtsul Masail: Nadzar yang Terlupa (hal 38)
Mimbar Aula: Khutbah Idul Adha 1432 H (hal 43)
Muhibah: Perkenalkan Islam pada Mereka yang Antipati (hal 48)
Kancah Dakwah: Ketika Polisi Rajin Mengaji (hal 53)
Pesantren: PP Al-Makkiyyah Darussalam Jombang (hal 57)
Pendidikan: Universitas Islam Madura (UIM) (hal 61)
Tokoh: Drs H Moh Salim Al-Djufri, M.Sos.I (hal 65)
Khazanah: Khasiat si Merah, Lebihi Bentuk Fisiknya (hal 69)
Dirasah: Bulan dan Kalender Islam (hal 73)
Rehat: Merawat Kopiah Gus Dur (hal 81)
Uswah: KH Wahib Wahab (hal 84)
Iptek: Memulung Sampah di Luar Angkasa (hal 87)
Sekilas Aktivitas (hal 90)

Kamis, 15 September 2011

AULA September 2011

Halal Bihalal Pun Digugat


Seperti orang kurang pekerjaan, ada saja yang diusili. Dengan kemampuan ilmu agama yang terbatas, semua orang disalahkan, dibid’ahkan dan ditakut-takuti bakal masuk neraka. Kalau ingin masuk neraka, ikutilah dia. Tapi kiai NU sudah terbiasa dengan keusilan mereka itu. Sudah hafal.

TELAH menjadi tradisi yang melekat pada diri bangsa Indonesia, ketika menjelang Hari Raya Idul Fitri, jutaan orang berduyun-duyun kembali ke kampung halaman. Kegiatan itu biasa disebut mudik. Karena orang yang memiliki kesamaan keinginan itu berjumlah sangat banyak, biasanya arus mudik menjadi padat. Meski terkesan sulit dan melelahkan dalam perjalanan, namun tetap terasa nikmat. Terbukti, setiap tahun mereka mengulangi ‘kesengsaraan’ itu lagi dan di jalan yang sama lagi. Sengsara membawa nikmat.

Setiba di kampung halaman, tujuan pertama adalah sungkem kepada kedua orang tua. Sungkem dilakukan sebagai tanda bakti dan penghormatan anak kepada kedua orang tua. Biasanya dilakukan dengan berjabat tangan, posisi anak lebih rendah, anak mencium tangan orang tua sambil meminta maaf. “Ngaturaken sedaya kelepatan, nyuwun pangapunten, Ibu,” begitu ucapan yang biasa meluncur dari bibir sang anak.

Setelah melakukan sungkem pada kedua orang tua, biasanya dilanjutkan dengan sungkem saudara kepada yang lebih tua. Dilanjutkan kepada paman, bibi dan saudara kedua orang tua yang lain. Setelah itu dilanjutkan dengan unjung-unjung. Maksud dari unjung-unjung adalah saling mengunjungi saudara dan tetangga untuk bersilaturahmi dan saling meminta maaf. Rumah orang yang dikunjungi biasanya telah menyediakan makanan sebagai jamuan. Mereka pun biasanya akrab saling bercerita karena telah lama tidak bersua. Kadang pada hari kedua dilanjutkan dengan halal bihalal keluarga untuk menyambung persaudaraan bani (anak cucu) tokoh tertentu. Inti acara tetap sama, menyambung silaturahmi dan saling bermaafan.

Seminggu kemudian biasanya dilakukan halal bihalal dalam skala lebih besar dan formal. Kadang dilakukan oleh instansi pemerintah, lembaga swasta tempat bekerja atau lembaga pendidikan maupun organisasi sosial kemasyarakat serta partai politik. Agenda acara juga tidak jauh berbeda: silaturahmi dan saling bermaafan. Dalam halal bihalal formal ini biasanya dilakukan serangkaian acara seremonial berupa pengajian dan diakhiri dengan saling bermaafan yang disimbolkan dengan berjabat tangan.

Itulah budaya khas masyarakat Indonesia yang telah terjadi selama berabad-abad. Semuanya bernilai baik karena bersumberkan pada anjuran umum agama tentang taat kepada orang tua, menjalin silaturahmi, saling bermaafan dan sedekah. Tidak dipungkiri, kadang memang ada ekses negatif, semacam berjabat tangan dengan lain jenis yang bukan muhrim. Namun persoalan jabat tangan bukanlah keharusan dan berjabat tangan tidak harus saling bersentuhan kulit. Dalam budaya Indonesia, dengan merapatkan kedua telapak tangan di dada sambil kepala sedikit membungkuk, itu artinya sudah berjabat tangan.

Anehnya, masih saja ada orang yang tidak sependapat dengan tradisi yang baik itu. Lihat saja di banyak situs mereka. Ada yang berdalih, tidak ada tuntunan dari Rasulullah SAW, bid’ah, tidak ada manfaatnya, sampai hanya buang-buang waktu. Adapun acara halal bihalal seperti yang sering kita saksikan di negeri kita ini maka hukumnya adalah BID’AH yang sesat. Begitu bunyi salah satu penyataaan mereka.

Ada lagi. Memang tidak ada dalil dari Al-Quran ataupun As-Sunnah tentang halal bihalal. Mudah-mudahan kita tidak meyakininya sebagai bagian dari ibadah, karena itu tergolong sebagai perbuatan bid’ah, yang memperoleh ancaman dari Rasulullah SAW. Atau Tradisi itu sendiri jika tidak memiliki landasan dalam agama sebaiknya dimusnahkan saja, atau Lebih-lebih acara saling berkunjung saat hari raya itu banyak membuang-buang waktu secara percuma. Sedangkan perempuan tidaklah dibolehkan sering keluar rumah. Kalau dirunut lebih jauh, pemikiran mereka adalah model kaum wahabi yang berkeyakinan semua yang tidak ada tuntunan langsung dari Rasulullah dianggap bid’ah dan masuk neraka.

Menanggapi tentang penolakan itu, KH Agoes Ali Masyhuri, Pengasuh Pondok Pesantren Bumi Sholawat Tulangan Sidoarjo, berpesan agar warga NU tetap menjaga, merawat dan melestarikan tradisi yang telah ada dengan memandangnya sebagai kearifan lokal. Halal bihalal, menurut Gus Ali, adalah khazanah Islam khas Indonesia yang tidak ditemukan di belahan dunia manapun. Dan uniknya, ini tidak bertentangan dengan syariat Islam. “Silakan dicarikan dalil yang mengemukakan bahwa halal bihalal bertentangan dengan syariat. Saya siap berdebat dan menjelaskan hal ini dengan mereka,” tantang Gus Ali. Mohammad Subhan

Dapatkan Majalah Aula Edisi September 2011 dengan topik utama “HALAL BIHALAL PUN DIGUGAT” yang meliputi:
- Halal Bihalal Pun Digugat (hal 10)
- Mudik dengan Segala Rangkaiannya (hal 13)
- Tradisi Lebaran Tak Bertentangan Syariat (hal 17)
- Pertahankan Khazanah Islam Lokal (hal 24)
- Hargai Tradisi Kreasi Ulama (hal 27)

Dapatkan juga liputan lainnya:
Liputan Khusus: Memahami Surat Keputusan Wilayah (hal 29)
Ihwal: Pengajian Model Baru (hal 33)
Nuansa: Haul Saiyidatina Khadijah (hal 36)
Bahtsul Masail: Menyerahkan Hak Arisan dengan Ganti Rugi (hal 39)
Mimbar Aula: Evaluasi Taqwa (hal 43)
Muhibah: Muslim Serumpun yang Beda Nasib (hal 48)
Kancah Dakwah: Meretas Kader di Kampung Terpencil (hal 53)
Pesantren: PP Amanatul Ummah Pacet (hal 57)
Pendidikan: MA Matholi’ul Anwar Lamongan (hal 61)
Tokoh: Dr KH A Muhaimin Zen, MA (hal 65)
Uswah: KH Abdul Mughni (hal 70)
Khazanah: Si Putih dengan Aneka Khasiat (hal 73)
Rehat: Agus Sunyoto & Zainal Fanani (hal 78)
Memori: Napak Tilas Perjuangan di Pojok Gus Dur (hal 80)
Resensi: Menimbang Sejarah dan Ajaran Tarekat (hal 86)
Sekilas Aktivitas (hal 90)

Rabu, 24 Agustus 2011

Aula Agustus 2011



Berharap Berkah dari Kaum Sufi

Ketika dunia makin tidak tenteram, kerakusan manusia makin tak terkendali dan keadilan makin sulit didapatkan, para tokoh agama melirik kaum sufi sebagai alternatif jalan keluar. Ternyata para pemimpin tarekat di tingkat internasional jauh dari kesan yang selama ini terlihat di tingkat lokal. Mereka alim, intelek dan berwibawa. Pakaian mereka pun bagus-bagus.

PERTENGAHAN bulan Juli lalu, PBNU menggelar kegiatan besar bertajuk Al-Multaqo as-Sufy al-Alamy (Konferensi Sufi Internasional) di Jakarta. Dalam kegiatan yang dimotori oleh Jam’iyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (Jatman) itu hadir para ulama sufi dan mursyid tarekat dari dalam dan luar negeri. Di antaranya Syaikh Hisyam Kabbani (Amerika, Khalifah Naqsyabandi Haqqani), Syaikh Rojab Dib An-Naqsyabandi (Syria, Mursyid Tarekat Naqsyabandi), Habib Zaid bin Abdurrahman bin Yahya (Yaman), Syaikh Abdurohim Ar-Rukainy (Sudan, Mursyid Tarekat Qur’aniyah As-Sunniyah Al-Muhammadiyah Ar-Rukainiyah), Syaikh Jibril Fuad Al-Hadad (Brunei, penanggung jawab dakwah Asia Tenggara Naqsyabandi Haqqani), Syaikh Fuad Suhaimi (utusan khusus Pemimpin Libya Moammar Qadafi), dan Syaikh Musthafa Mas’ud (Amir Naqsyabandi Haqqani Indonesia). Dari dalam negeri hadir para mursyid tarekat-tarekat mu’tabarah di bawah naungan NU. Mereka berjumlah 50 orang. Ditambah para pengurus Idaroh Aliyah dan Idaroh Wustho Jatman se-Indonesia sehingga jumlah mereka sekitar 300 orang. Hadir pula seorang pengamat dari Jepang Prof Tonaga.

Pertemuan yang merupakan kelanjutan dari pertemuan serupa di Nablus, Libya pada Pebruari lalu itu bertujuan untuk menggali potensi yang terkandung dari nilai-nilai ajaran tasawuf dan tarekat untuk membantu mewujudkan perdamaian dunia yang semakin jauh dari angan. “Mudah-mudahan pertemuan ini akan terus berlanjut menjadi kekuatan tarekat yang tersebar di seluruh dunia sebagai elemen penting membangun peradaban manusia,” H As’ad Said Ali, Ketua Panitia Pelaksana menaruh harap.

Rais Am PBNU, Dr KH MA Sahal Mahfudz, menilai penggalian kembali nilai-nilai tasawuf untuk membantu perdamaian dunia saat ini sangat penting. Apalagi dunia sedang dilanda dekadensi moral, pornografi, korupsi, pelanggaran nilai-nilai dan norma agama Islam. Stigma negatif juga semakin melekat pada umat Islam, akibat sikap radikal yang dilakukan sebagian kecil umat Islam. “Pendekatan tasawuf yang mengedepankan kejernihan hati dan kebenaran universal menjadi sangat penting dilakukan,” tutur Kiai Sahal. Apalagi di Indonesia, kata Kiai Sahal, tasawuf turut berperan penting dalam membebaskan diri dari penjajahan.

Ketua Umum PBNU, Dr KH Said Aqiel Sirodj, MA, menjelaskan, kembali kepada nilai-nilai ajaran tasawuf saat ini adalah sangat penting. Orang Barat modern biasanya berpikir serba materi. Tapi pasca modern mereka mengakui pentingnya aspek spiritual, kalau tidak ingin menjadi kain bila dzakirah alias robot. Orang NU dikenal memiliki toleransi yang tinggi karena di dalamnya mengalir nilai-nilai tasawuf yang kuat. “Tanpa tasawuf orang akan sulit toleran,” tegasnya.

Ia mencontohkan kelompok radikal Wahabi-Salafi yang sulit berinteraksi dengan masyarakat sekitar, karena tidak memiliki akar tasawuf. Mereka selalu menyalahkan kelompok-kelompok lain yang tidak sejalan dengan mereka. Bahkan, konon, menurut mereka, berzina masih lebih baik daripada makan makanan yang disuguhkan dalam tahlilan. Na’udzubillah min dzalik!

Menurut asisten Sekjen Multaqo Sufi Asia itu, NU-lah yang paling paham ber-Islam dan bernegara, sementara mereka masih berkutat pada persoalan klasik yang belum juga menemukan jawaban. “NU paling awal selesai membahas apa itu Islam dan apa itu negara,” kata Kiai Said. Dan semua itu, menurut Kiai Said, karena NU telah lekat dengan ajaran-ajaran tasawuf yang dibawa oleh Walisongo.

Walhasil, dalam pertemuan itu dibahas tentang pentingnya mengupayakan perdamaian dunia yang digali dari nilai-nilai ajaran tasawuf. Disamping itu dirumuskan pula langkah bersama untuk mengurangi fanatisme kelompok, menghimpun silsilah sanad para mursyid dari semua aliran tarekat di seluruh dunia, serta saling bertukar informasi seputar dunia tasawuf dan tarekat dari berbagai negara.

Syaikh Rojab Dib An-Naqsyabandi justru berharap lebih dari itu. “Kami berharap pertemuan ini dapat memunculkan sesuatu yang menjadi daya dobrak dunia, seperti dalam Konferensi Asia Afrika (KAA),” kata Syaikh Rojab. Sebab dulu, menurut murid terdekat Syaikh Ahmad Kaftaro itu, Indonesialah negara yang paling berperan membantu negara-negara Arab untuk bangkit dari penjajahan.

KAA, menurut Syaikh Rojab, adalah murni ide pemikiran para ulama. Ide dasar dari KH Abdul Wahab Hasbullah, salah seorang tokoh NU, yang disampaikan kepada Bung Karno. Bung Karno menyetujui ide tersebut. Mereka yang datang pada konferensi itu juga para ulama. Termasuk Syaikh Ahmad Kaftaro yang menjadi utusan Syria. Oleh karena itu, ia berharap agar kali ini Indonesia kembali menjadi pelopor gerakan itu lagi. M Subhan

Baca ulasan lengkap tentang Kaum Sufi Membangun Peradaban Baru di Majalah AULA edisi Agustus 2011 :
- Berharap Berkah dari Kaum Sufi (hal 10)
- Terpersona Tarian Sufi (hal 13)
- Deklarasi Multaqos Shufi (hal 15)
- Tarekat NU Berstandar (hal 17)
- Tidak Semua Sepakat Konferensi Sufi (hal 20)
- Tiap Orang Butuh Tarekat (hal 24)

Wawancara: Habib Luthfy: Intinya NU Ya Tarekat (hal 27)

DAPATKAN JUGA LIPUTAN MENGENAI :
Refleksi: Tiga Karung (hal 8)
Ihwal: Padukan Akidah dan Tasawuf (hal 31)
Liputan Khusus: Laporan dari Kongres Pertama Pergunu (hal 34)
Bahtsul Masail: Lailatul Qadar dan Zakat Profesi (hal 38)
Mimbar Aula: Menyelami Makna Idul Fitri (hal 43)
Muhibah: Berjuang Mendirikan Masjid di Philadelphia (hal 49)
Uswah: KH Fatchurrahman Kafrawi (hal 52)
Pesantren: Ponpes Al-Luwung Sragen (hal 56)
Kancah Dakwah: Dakwah yang Mengudara (hal 61)
Pendidikan: MTs NU Sunan Kalijaga Batang (hal 64)
Khazanah: Mengawali Buka dengan Semangka? (hal 67)
Dirasah: Pendidikan Karakter Berbasis Pesantren (hal 70)
Rehat: Moh Ma’ruf Syah, SH, MH (hal 78)
Aktualita: Beruntung Indonesia Punya Muslimat (hal 80)
Sekilas Aktivitas (hal 90)

Senin, 04 Juli 2011

IKHTIAR MENAMBAH KECERDASAN ANAK (Belajar Dari Ulama Salaf)

Oleh: Muhyiddin Abdushshomad *)

A.Mukaddimah

Akal adalah salah satu karunia Allah SWT yang sangat berharga yang diberikan kepada manusia. Potensi yang dimiliki akal itu mengantarkan manusia menjadi makhluk yang cerdas, dapat mengetahui segala macam persoalan, sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh makhluk Allah SWT yang lain.

Namun potensi akal tersebut itu tidak serta merta menjadikan manusia cerdas dan memiliki pengetahuan. Tetap harus ada usaha untuk mencapai kecerdasan tersebut, memberdayakan akal disamping mengasahnya dengan belajar berbagai macam ilmu pengetahuan. Tanpa itu, maka potensi yang dimiliki tersebut menjadi sia-sia bahkan akan menjatuhkan manusia ke dalam posisi yang sangat rendah.

Dalam hal mengasah kecerdasan ini, kita bisa belajar dari ulama salaf. Sejarah telah mencatat bahwa generasi Islam terdahulu telah banyak melahirkan manusia-manusia istimewa dengan kecerdasan dan pengetahuan yang luar biasa. Ulama-ulama salaf panutan kita semua adalah orang-orang yang dikaruniai oleh Allah SWT kecerdasan di atas rata-rata sehingga mereka mampu untuk membuat karya-karya yang spektakuler, yang dijadikan rujukan dari satu generasi ke generasi yang lain sampai saat ini.

Untuk sedikit mengetahui sejauh mana kecerdasan dan kemampuan ulama salaf di dalam menyerap berbagai ilmu yang mereka pelajari, simaklah fragmen di bawah ini:

Di antara ulama salaf yang terkenal kecerdasannya ialah Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150-204 H/ 767-820 M), yang lebih dikenal dengan Imam Syafi’i. Ia adalah salah seorang tokoh ulama’ salaf yang mempunyai otak cemerlang. Kala itu Muhammad bin Idris berumur 7 tahun sudah mampu menghafal keseluruhan isi al-Qur’an tanpa sedikitpun ada kesalahan (Al-Imam al-Syafi’i, hal. 32). Muhammad bin Idris melanjutkan mencari ilmu di Madinah kepada Imam Malik bin Anas pada umur 13 tahun. Pada saat menghadap Imam Malik bin Anas sembari bersimpuh dan menundukkan kepala sebagai simbol kesantunannya. Muhammad bin Idris menyampaikan maksud dan tujuannya datang kepada beliau sembari berkata, “Kami datang dari Makkah menghadap tuan guru bermaksud untuk menimba ilmu”. Jawab Imam Malik, “Dengan senang hati, aku menerima kehadiranmu, mungkin engkau perlu mencari teman untuk mencatat dan membacakan kitab Muwattha’ karanganku.” Lalu Muhammad bin Idris menjawab, “Maaf, Tuan Guru. Kami sudah hafal kitab karangan Tuan Guru tersebut.” Imam Malik menimpali, “Jika begitu, coba engkau baca!” Maka Muhammad bin Idris membaca kitab Muwattha’ (kitab yang memuat 3676 Hadits dengan sanadnya) secara hafalan di luar kepala. Setelah jelas bagi Imam Malik bukti hafalnya Muhammad bin Idris akan kitab Muwattha’ secara utuh, Imam Malik melanjutkan menguji Muhammad bin Idris dengan mencecar berbagai pertanyaan hukum yang pelik, beberapa pertanyaan yang diajukan kepada Muhammad bin Idris semuanya dijawab dengan tepat dan benar. Imam Malik berdecak kagum sambil berkomentar “Luar biasa, sebenarnya engkau sudah layak menjadi seorang Qadhi (pakar hukum)”. Padahal kala itu Muhammad bin Idris masih berumur 13 tahun. (Manaqib al-Syafi’i, juz. 1, hal. 100 dan 101).

Dan masih banyak lagi tokoh ulama salaf yang memiliki kecerdasan serta penguasaan ilmu luar biasa, bahkan multi disiplin ilmu. Di antara mereka selain ahli agama juga ahli matematika, filsafat, kimia, kedokteran dan semacamnya. Mereka inilah contoh orang-orang yang memiliki kecerdasan yang sukses dalam belajar.

B.Ikhtiar Menambah Kecerdasan Anak

Kecerdasan yang dimiliki ulama salaf bukan sesuatu yang didapat secara instan. Tetapi dengan usaha yang sungguh-sungguh, baik lahir ataupun batin.

1. Ikhtiar Lahiriyah

Di antara usaha lahiriyah yang mereka lakukan adalah:

a). Menjaga Kesehatan

Di dalam proses pembelajaran diperlukan kesehatan jasmani bagi seorang pembelajar karena fisik yang terganggu kesehatannya akan mengurangi kecerdasan seseorang. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk melestarikan kesehatan. Selain dengan mengatur pola makan, diperlukan olah raga agar fisik tetap dalam kondisi fit. Menurut Dr Nahrawi Abdussalam, Imam Syafi’i telah memberikan teladan kepada kita untuk senantiasa berolah raga guna menjaga kesehatan. (Al-Imam al-Syafi’i, hal. 35).

b).Mengatur Pola Makan dan Tidur

Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari menyatakan: “Bagi pembelajar dianjurkan mengatur pola makan dan minum, karena kenyang itu menjadikan malas untuk beribadah dan menambah berat badan. Di antara manfaat mengatur pola makan ialah kesehatan fisik dan mencegah dari berbagai macam penyakit”.

Yang dimaksud mengatur pola makan adalah makan secukupnya saja sekadar memenuhi kebutuhan asupan gizi dalam tubuh, dan yang dianjurkan ialah menghindari makan sampai terlalu kenyang. Wujudnya yang paling praktis adalah dalam bentuk puasa sunnah. Jadi, seorang pembelajar sangat dianjurkan rajin berpuasa, karena puasa itu menyehatkan.

Barang tentu anjuran untuk mengurangi makan dan tidur tidak ditujukan kepada anak yang lazimnya belum mampu melakukannya seperti anak yang masih dalam usia balita.

c). Mengkonsumsi Makanan yang Menguatkan Fungsi Otak.

Para ulama menganjurkan untuk mengkonsumsi beberapa jenis makanan yang menguatkan fungsi otak agar mudah menerima pelajaran dengan baik. Makanan tersebut adalah zabib, madu, dan lubban.

Kata Imam al-Zuhri (51-123 H), “Barangsiapa yang ingin mudah di dalam menghafal Hadits maka hendaklah sering makan zabib (kismis) 21 biji setiap pagi” (Al-Adab al-Syar’iyyah, juz. III, hal. 20).

Diriwayatkan bahwa Imam al-Zuhri suka minum madu dan berkata bahwa, “Madu itu mencerdaskan.” (Al-Adab al-Syar’iyyah, juz. III, hal. 22).

Kata Saiyidina Ali Karromallahu Wajhah, “Biasakan engkau makan lubban (sejenis getah) karena ia menguatkan jantung dan menghilangkan sifat pelupa.”

d). Memaksimalkan Semua Potensi Otak

Jika kita mempelajari karya ulama terdahulu, dalam berbagai macam disiplin ilmu yang mereka kembangkan, akan ditemukan dua bentuk penyajian, yakni dalam bentuk narasi dan gubahan syair (puisi). Pada pembahasan ilmu tauhid, fiqh, dan sebagainya dapat kita temukan dua bentuk penyajian ini. Bahkan disiplin ilmu yang rumit pun semisal nahwu, sorof, balaghah, mantiq dan lainnya, mereka gubah dalam bentuk syair (puisi) sehingga dapat menumbuhkan semangat, kebersamaan, dan terutama adalah suasana gembira dalam belajar, karena bisa dilantunkan dengan aneka lagu dan irama yang digemari pembelajar.

Dalam teori pendidikan terbaru mengatakan, otak akan bekerja optimal apabila kedua belahan otak ini dipergunakan secara bersama-sama. Otak kanan yang memiliki spesifikasi berpikir dan mengolah data seputar perasaan emosi, perasaan seni dan musik. Sementara otak kiri berfungsi mengelola data seputar sains, bisnis dan pendidikan. Para ulama terdahulu telah mampu mengkolaborasi antara materi ilmu pengetahuan dengan seni dalam waktu yang bersamaan.

2. Ikhtiar Batin

Seorang muslim tentu tidak hanya mengandalkan usaha lahiriyah semata, tetapi ikhtiar batin selalu dilaksanakan sebagai perwujudan keimanannya kepada Allah SWT. Inilah yang dilakukan oleh ulama salaf, sebagai rahasia sukses mereka membentuk individu yang memiliki kecerdasan luar biasa.

a). Banyak beribadah dan menghindari maksiat

Ibadah kepada Allah SWT tidak hanya sebagai sebuah kewajiban, tetapi sudah menjadi kebutuhan manusia, untuk kebaikan hidupnya di dunia dan akhirat. Di antara manfaat ibadah itu adalah sebagai nutrisi otak secara spiritual serta membersihkan hati dan pikiran. Jika pikiran sudah bersih maka ilmu akan dengan mudah terekam dalam memori otak kita.
Sementara al-Zarnuji seorang ahli ilmu pendidikan yang menjadi panutan kalangan pesantren memberi petunjuk dalam usaha meningkatkan kecerdasan seperti di bawah ini.

“Mengatur pola makan, shalat malam serta membaca Al-Qur’an menjadi sebab cepat hafal pelajaran” (Ta’lim al-Muta’allim, hal 41)

b). Berdo’a
Nabi SAW menyebutkan bahwa do’a adalah senjata orang yang beriman. Ini artinya, dalam setiap usahanya seorang mukmin tidak cukup hanya melakukan ikhtiar lahiriyah saja, tetapi juga harus berdo’a. Termasuk juga ikhtiar agar diberikan kecerdasan dan dibukakan fikiran. Setiap saat dan setiap waktu meminta kepada Allah SWT dimudahkan dalam belajar. Khususnya berdo’a pada malam hari setelah melaksanakan shalat tahajud.

Telah banyak do’a-do’a yang diajarkan ulama salaf. Di antaranya adalah:

Saiyid Hasan bin Shalih al-Bahar berkata, “Untuk kecerdasan dan kekuatan ingatan bacalah doa berikut ini:

“Ya Allah aku memohon kepada-Mu kecerdasan sebagaimana kecerdasan para Nabi, kekuatan hafalan sebagaimana hafalan para Rasul, dan mendapatkan ilham sebagaimana malaikat muqarrabin. Ya Allah, kayakanlah aku dengan ilmu, hiasilah diriku dengan sikap santun, muliakanlah aku dengan takwa dan elokkanlah hidupku dengan kesehatan lahir dan batin, Ya tuhan yang Maha Pengasih.” (Al-Manhaj al-Sawiy, hal. 233). Dibaca 3 kali setiap setelah shalat.

Syaikhona Cholil Bangkalan memberikan ijazah do’a yang harus dibaca oleh orang tua untuk anak-anaknya:

“Ya Allah, jadikanlah anak-anakku termasuk orang yang berilmu dan orang yang baik dan janganlah Engkau jadikan aku dan mereka termasuk orang-orang yang sengsara”. Dibaca 3 kali setiap setelah sholat.

Kecintaan orang tua kepada alim-ulama juga merupakan do’a. Di dalamnya terkandung harapan agar anak-anaknya kelak bisa men-jadi seperti ulama tersebut. (Mutiara Nasehat, KH. Abdullah Faqih, hal. 64-65).

C. Penutup

Setelah semua ikhtiar ini dilaksanakan, semua keputusan akhir kembali kepada Allah SWT. Manusia hanya berusaha, Allah SWT yang menentukan. Namun Allah SWT pasti akan melihat dan mempertimbangkan ikhtiar dan kesungguhan hamba-Nya. Ini adalah janji Allah SWT kepada hamba-Nya yang mau berusaha. Wallahu a’lam.q

*) Rais Syuriah PCNU Jember dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris) Antirogo Jember

Selaksa Manfaat dari Tanaman Safarjal



Manusia dituntut mengoptimalkan kondisi saat sehat untuk kegiatan yang bermanfaat. Untuk itu, banyak hal yang harus diperhatikan agar tubuh tetap prima. Mengkonsumsi buah jambu, bisa menjadi pilihan.

SUATU ketika, Thalhah RA menceritakan bahwasanya baginda Nabi Muhammad SAW bersabda: “Aku menemui Nabi SAW. Di tangan beliau ada buah safarjal. Kemudian beliau bersabda: Makanlah ini, karena buah ini bisa melembutkan hati.” (HR. Ibnu Majah).

Demikian pula dalam kitab Mu’jamul Kabiir 1/117 disampaikan berdasar riwayat Imam Yahya bin Yahya, dari Khalid bin Ma’dan bahwa Rasulullah bersabda: “Makanlah oleh kalian (wanita-wanita yang sedang hamil) jambu safarjal karena dapat mempercantik anak.”

Ada pula riwayat yang menyatakan, bahwa sekelompok masyarakat mengadu kepada Nabi Saw. Mereka mengeluh lantaran anak-anaknya yang tidak seberapa tampan dan cantik. Maka Allah SWT memberi wahyu kepada Nabi: “Perintahkanlah mereka agar memberi malam buah jambu safarjal kepada wanita-wanita yang hamil pada bulan ketiga dan keempat kehamilannya.”

Mudah Didapat dan Berguna
Nama buah safarjal mungkin agak aneh di telinga sebagian masyarakat kita. Namun ketika disebut bahwa buah itu sama dengan jambu biji (latinnya: Psidium Guajava), maka hampir semua mengenalnya dengan baik. Tidak jarang, tanaman ini tumbuh secara tidak sengaja di pekarangan rumah atau halaman.

Jambu biji memiliki kandungan vitamin C yang sangat tinggi. Malahan bisa tiga sampai enam kali lipat dibandingkan dengan buah jeruk. Vitamin C ini terkandung pada daging buahnya yang segar serta bijinya. Selain buahnya sebagai sumber Vitamin C, hampir semua bagian tanaman ini, terutama daun dan buah muda, dapat mengobati diare. Bahkan bagian ini dikatakan sebagai obat ampuh untuk disentri awal stadium dua.

Buah ini juga disebutkan mampu meningkatkan jumlah trombosit 100 ribu milimeter per kubik tanpa efek samping. Dari pengujian, peningkatan jumlah trombosit dapat tercapai dalam tempo 8-48 jam atau dua hari setelah ekstrak daun jambu biji digunakan. Luar biasa! Sebab dengan naiknya trombosit seseorang hingga batas normal, maka daya tahan tubuhnya juga akan kuat. Dengan demikian, penyakit demam berdarah yang menyerang bisa segera sirna.

Yang membanggakan, hasil lain dari pengujian pre-klinik mengindikasikan bahwa daun jambu biji tidak memiliki kandungan zat beracun. Sebaliknya, daun jambu biji memiliki komponen yang berkhasiat, yakni kelompok senyawa tanin dan flavonoid. Perlu diketahui, kedua senyawa tersebut dapat menghambat aktivitas pertumbuhan virus dengue.

Seperti disampaikan di depan, bahwa buah ini sarat manfaat. Hal itu tidak semata pada buah yang dimiliki, daun, ranting muda serta akarnya juga sangat berguna. Tak salah bila buah ini dijuluki dengan buah multi-manfaat. Daun digunakan untuk pengobatan diare akut dan kronis, perut kembung pada bayi dan anak, kadar kolesterol darah meninggi, haid tidak lancar, sering buang air kecil, luka berdarah dan sariawan.

Untuk memanfaatkan jambu biji sebagai obat diare dapat dilakukan dengan merebus 15–30 gram daun kering jambu biji dalam air sebanyak 150–300 ml. Perebusan dilakukan selama 15 menit setelah air mendidih. Hasil rebusan disaring dan siap untuk diminum sebagai obat diare. Di samping itu, bisa juga dengan memanfaatkannya dalam bentuk segar, diperlukan 12 lembar daun segar, dicuci bersih, ditumbuk halus, ditambah 1/2 cangkir air masak dan garam secukupnya. Hasil tumbukan diperas, disaring, lalu diminum. Agar terasa lebih nikmat dan tidak sepet, bisa juga ditambahkan madu.

Untuk pengobatan sariawan misalnya bisa dengan memotong segenggam daun dan satu jari kulit batang jambu biji sesuai keperluan, lalu mencucinya sampai bersih. Selanjutnya bahan-bahan direbus dalam satu liter air sampai mendidih. Setelah dingin, disaring. Ramuan inilah yang kemudian diminum.

Sementara untuk luka berdarah, bisa dengan mencuci terlebih dahulu daun jambu biji yang baru dipetik, lantas menggilingnya sampai lumat. Selanjutnya, menempelkannya pada luka dan membalutnya dengan perban. Gantilah perban dan ramuan tersebut 3 kali sehari sampai lukanya sembuh.

Sedangkan buahnya sendiri dapat digunakan untuk pengobatan kencing manis (diabetes mellitus), kadar kolesterol darah tinggi (hiperkolesterolemia) dan mengobati sembelit. Untuk mengobati penyakit tertentu, akan lebih baik bila buah jambu biji yang dagingnya berwarna merah. Bahkan belakangan ini buah jambu biji merah juga dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah trombosit bagi penderita demam berdarah.

Adapun ranting mudanya digunakan untuk pengobatan keputihan (leukoera). Sementara akarnya pun bisa digunakan untuk pengobatan disentri dengan cara merebus 15-30 gr daun segar atau 2,5-4,5 gr daun kering, lalu air rebusannya diminum. Sedangkan untuk pemakaian luar dengan merebus daun segarnya, lalu air rebusannya digunakan untuk mencuci luka. Atau bisa dengan menggiling daun segar halus, lalu membubuhkannya pada luka berdarah akibat kecelakaan dan benda tajam atau borok di sekitar tulang.

Demikianlah, manfaat yang bisa dipetik dari jambu biji. Bukan saja buahnya yang enak dimakan, namun juga mempunyai khasiat yang sangat berguna bagi kesehatan manusia. Dalam buku karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyebutkan bahwa sejenis jambu biji ini dikenal dengan nama safarjal atau quince. Mungkin inilah rahasia Allah di balik tetumbuhan yang diciptakan. Selamat mencoba pengobatan ala Rasulullah dengan tanaman safarjal. (s@if)

Sabtu, 25 Juni 2011

AULA Juli 2011



Sing waras ngalah. Mungkin itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan sikap para kiai dalam menghadapi kaum Wahabiyun di tanah air belakangan ini. Meski telah berkali-kali amaliah mereka dicaci-maki lewat radio dan buku, para kiai tidak memerintahkan Banser dan Pagar Nusa untuk menggeruduk mereka. Memang, padi yang berisi akan semakin merunduk. Hanya padi gabuk yang selalu mendongak ke atas, merasa lebih tinggi dan lebih hebat!

Telah sekian lama ada pihak-pihak yang sengaja “jualan” dengan menyerang amaliah yang telah menjadi tradisi sebagian besar kaum muslimin di Indonesia. Gaya jualan mereka pun bermacam-macam. Mulai dari yang halus dengan tanpa menyebut go-longan tertentu sambil mengatakan “saya belum tahu dalilnya”, sampai yang kasar dengan menyebut nama organisasi lain hingga membid’ah-kan dan mengkafirkan.

Amaliah yang selalu mendapatkan cacian itu adalah tahlil, ziarah kubur, manaqib, shalawat, haul, dst. Padahal amaliah itu telah sekian ratus tahun diamalkan oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia. Secara simbolik mereka tergambar sebagai warga Jam’iyah Nahdlatul Ulama, karena jumlah terbesar muslim Indonesia adalah penganut madzhab Syafi’i dalam Jam’iyah NU.


Baca ulasan lengkap tentang Hujjah-hujjah Amaliah di Bulan Sya’ban dan Ramadlan di Majalah AULA edisi Juni 2011 :
- Siapa yang Harus Belajar Lagi? (hal 10)
- Melihat Fakta di Depan Mata (hal 13)
- Dasar Amaliah di Bulan Sya’ban (hal 16)
- Penentuan Awal dan Akhir Ramadlan dengan Rukyah (hal 22)
- Hujjah Amaliah di Bulan Ramadlan (hal 25)

DAPATKAN JUGA LIPUTAN MENGENAI :

Refleksi: Kenthul-Kenthul (hal 8)
Liputan Khusus: Wahabi Semakin Tidak Punya Nyali (hal 32)
Ihwal: Menghargai Kiprah Pengurus Ranting (hal 36)
Bahtsul Masail: Otopsi Mayat Untuk Praktek Kedokteran (hal 39)
Mimbar Aula: Puncak Tawadlu’ dalam Mu’jizat Isra’ Mi’raj (hal 45)
Muhibah: Belajar Partisipasi Masyarakat ke India (hal 49)
Pendidikan: MTs Al-Azhary Banyumas (hal 53)
Pesantren: PP Al-Hidayat Magelang (hal 57)
Kancah Dakwah: Bentengi Mahasiswa dengan Aswaja (hal 61)
Aktualita: Selamat Berkongres Banom Baru (hal 65)
Dirasah: NU dan Bid’ah, Siapa Takut? bag 2 (hal 69)
Resensi: Shalat Kita Sudah Seperti Rasulullah (hal 71)
Khazanah: Buah Surga yang Cantik dan Berkhasiat (hal 75)
Rehat: Djamaluddin Malik & Fakhrillah Aschal (hal 80)
Uswah: KH Zainul Arifin (hal 84)
Sekilas Aktivitas (hal 90)

Sabtu, 04 Juni 2011

AULA Juni 2011


Para kiai Purworejo layak bersyukur. Meski telah sekian lama telinga dan hati panas mendengar pengajian dari radio MTA, toh akhirnya MTA Pusat telah meminta maaf dan berjanji akan mengubah dakwahnya menjadi lebih sopan. Tapi kini, mereka harus bersiap kecewa, karena akhirnya MTA tidak mengakui pernah meminta maaf. Para kiai pun dituntut untuk memendam kesabaran lebih dalam lagi. Sampai kapan?

Telah sekian lama beberapa kiai merasa resah dengan isi siaran radio MTA. Bungkusnya pengajian, namun isinya menghujat amaliah yang telah dijalani masyarakat sekian ratus tahun lamanya. Keluhan seringkali terdengar dari kiai Jawa Tengah bagian timur dan kiai Jawa Timur bagian barat. Yah, karena pemancar radio itu memang berada di dekat perbatasan Jatim-Jateng. Belakangan keluhan juga datang dari kiai di Jombang, karena suara pengajian itu dapat terdengar di radio Jombang. Namun dalam waktu sekian lama itu para kiai mampu menahan kekesalan hatinya.


Baca ulasan lengkap tentang Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) di Majalah AULA edisi Juni 2011 :
- Ketika MTA Makin Menggoda (hal 10)
- Polemik NU Purworejo dan MTA Berakhir ? (hal 12)
- Mereka Makin Berani (hal 16)
- Berdalih Kembali pada Al-Qur’an (hal 19)
- Slamet: Temui Pemimpin Mereka (hal 23)
- Wawancara dengan Sekretaris MTA (hal 26)

DAPATKAN JUGA LIPUTAN MENGENAI :

Refleksi: Desertir (hal 8)
Liputan Khusus: Pelajaran dari Pakah (hal 28)
Ihwal: Menakertrans Buka Peluang NU dan Santri (hal 36)
Bahtsul Masail: Hukum Ruqyah (hal 39)
Mimbar Aula: Rukun Islam dan Prinsip Dasar Syariat (hal 44)
Muhibah: Membongkar Persepsi Islam Phobia (hal 50)
Kancah Dakwah: Mempersiapkan Generasi di Wanayasa (hal 55)
Aktualita: Menyorot Kampung Idiot Ponorogo (hal 59)
Khazanah: Daging Kambing Tak Harus Dihindari (hal 63)
Pesantren: Ponpes Edi Mancoro Tuntang, Semarang (hal 66)
Tokoh: H Mahmud Ali Zain (hal 74)
Uswah: KH M Arwani Amin Kudus (hal 78)
Rehat: Husnul Yaqin dan Suwito (hal 84)
Kesehatan: Jangan Biarkan Hipertensi Ganggu Jantung (hal 86)
Sekilas Aktivitas (hal 90)

Kamis, 28 April 2011

AULA Mei 2011



Rencana pembangunan PLTN di Indonesia selalu menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Bisa jadi menurut kajian keilmuan pembangunan PLTN sudah cukup siap dilakukan, tapi secara budaya, nanti dulu. Proyek itu tidak main-main. Sementara budaya sembrono masih lekat di tengah masyarakat. Kilang minyak saja bisa terbakar berulang kali di tempat yang sama. Bagaimana jika tenaga nuklir yang meledak?

Baca ulasan lengkapnya di Majalah AULA edisi Mei 2011.
- Maju Mundur Soal Nuklir (hal 10)
- Nuklir dalam Pertimbangan (hal 14)
- Lebih Dekat ke Lokasi PLTN (hal 18)
- PLTN Muria Haram (hal 22)
- Ketika Bobot Mafsadah Lebih Berat (hal 25)

DAPATKAN JUGA LIPUTAN MENGENAI :

Refleksi: Tetamu (hal 8)
Aktualita: Ketika Film Banser Dipersoalkan (hal 29)
Nuansa: Berdayakan Perempuan dengan Aksi Nyata (hal 35)
Ihwal: Selamatkan Aktifitas dan Aset NU (hal 39)
Bahtsul Masail: Seputar Jual Beli Cek (hal 42)
Mimbar Aula: Menyikapi Globalisasi (hal 47)
Muhibah: Optimalisasi Potensi Umat ala Negeri Singa (hal 50)
Kancah Dakwah: Didominasi Salafi, Masjid Tak Berdzikir (hal 56)
Pesantren: Ponpes Al-Musthofa Kendal (hal 60)
Ibrah: Memoles Sinema dengan Dakwah (hal 64)
Khazanah: Kismis; Si Mungil untuk Segudang Manfaat (hal 67)
Wirausaha: Batik Madura yang Kian Mempesona (hal 71)
Tokoh: Drs A Ma’ruf Asrori (hal 75)
Uswah: KH Muhammad Syarqawi (hal 79)
Rehat: Ustadz H Soleh Qosim, M.Si (hal 84)
Wawasan: Menyikapi Kegarangan Puritanisme (hal 85)
Sekilas Aktivitas (hal 90)

Selasa, 01 Maret 2011

AULA Maret 2011



Tempat pelacuran adalah penyakit masyarakat. Di sana banyak bersarang penyakit dan tindak kriminal, mulai dari penyakit moral hingga penyakit fisik. Semua orang menyadari itu. Tapi aneh, beberapa orang malah merasa keberatan bila tempat itu dibersihkan. Mengapa?

Baca ulasan lengkap tentang ikhtiar menjaga moral bangsa dengan menutup lokalisasi DOLLY di Surabaya, yang merupakan lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Mungkinkah? Apa saja kendalanya?
- Siapa Berani Menutup Dolly (hal 10)
- Banyak Orang Menikmati Upeti (hal 14)
- Tidak Gampang Menutup Lokalisasi (hal 22)
- Sudah Saatnya Relokasi (hal 24)
- Jakarta Berani, Kenapa Surabaya Tidak? (hal 26)
- Ini Perintah Agama (hal 28)

DAPATKAN JUGA LIPUTAN MENGENAI :

- Refleksi: Dosa (hal 8)
- Liputan Khusus: Mengunjungi Penulis Buku Putih (hal 31)
- Ihwal: Semarak 88 Tahun NU (hal 35)
- Aktualita: Akhir Pencarian President HBNO (hal 39)
- Bahtsul Masail: Seputar Ahmadiyah (hal 43)
- Mimbar Aula: Mengenal Metode Dakwah Nabi (hal 49)
- Kancah Dakwah: Laporan dari Pertemuan Alumni Saiyid Maliki (hal 53)
- Pendidikan: MINU Ngingas Sidoarjo (hal 57)
- Alam Islami: Efek Domino yang Membakar Timteng (hal 61)
- Wirausaha: Bisnis Jamur yang Bikin Makmur (hal 65)
- Wawasan: Menggagas Maslahah Aqliyah (Bag. 2-habis) (hal 68)
- Muhibah: Peluang Studi di New Zealand (hal 74)
- Rehat: Mbah Muchith & Habib Salim Assyatiri (hal 78)
- Tokoh: Drs KH Kholilurrahman, SH, MSi (hal 80)
- Nasional: Agama Tak Mengajarkan Kekerasan (hal 85)
- Sekilas Aktivitas (hal 90)