Selasa, 01 Maret 2011

AULA Maret 2011



Tempat pelacuran adalah penyakit masyarakat. Di sana banyak bersarang penyakit dan tindak kriminal, mulai dari penyakit moral hingga penyakit fisik. Semua orang menyadari itu. Tapi aneh, beberapa orang malah merasa keberatan bila tempat itu dibersihkan. Mengapa?

Baca ulasan lengkap tentang ikhtiar menjaga moral bangsa dengan menutup lokalisasi DOLLY di Surabaya, yang merupakan lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Mungkinkah? Apa saja kendalanya?
- Siapa Berani Menutup Dolly (hal 10)
- Banyak Orang Menikmati Upeti (hal 14)
- Tidak Gampang Menutup Lokalisasi (hal 22)
- Sudah Saatnya Relokasi (hal 24)
- Jakarta Berani, Kenapa Surabaya Tidak? (hal 26)
- Ini Perintah Agama (hal 28)

DAPATKAN JUGA LIPUTAN MENGENAI :

- Refleksi: Dosa (hal 8)
- Liputan Khusus: Mengunjungi Penulis Buku Putih (hal 31)
- Ihwal: Semarak 88 Tahun NU (hal 35)
- Aktualita: Akhir Pencarian President HBNO (hal 39)
- Bahtsul Masail: Seputar Ahmadiyah (hal 43)
- Mimbar Aula: Mengenal Metode Dakwah Nabi (hal 49)
- Kancah Dakwah: Laporan dari Pertemuan Alumni Saiyid Maliki (hal 53)
- Pendidikan: MINU Ngingas Sidoarjo (hal 57)
- Alam Islami: Efek Domino yang Membakar Timteng (hal 61)
- Wirausaha: Bisnis Jamur yang Bikin Makmur (hal 65)
- Wawasan: Menggagas Maslahah Aqliyah (Bag. 2-habis) (hal 68)
- Muhibah: Peluang Studi di New Zealand (hal 74)
- Rehat: Mbah Muchith & Habib Salim Assyatiri (hal 78)
- Tokoh: Drs KH Kholilurrahman, SH, MSi (hal 80)
- Nasional: Agama Tak Mengajarkan Kekerasan (hal 85)
- Sekilas Aktivitas (hal 90)

Rabu, 16 Februari 2011

Sosok dan Janji Ketua Umum GP Ansor 2011-2016

Di hadapan peserta dan juga wartawan banyak media, ketua umum terpilih menyampaikan beberapa harapan dan komitmennya. Seperti yang harapkan, dia ingin kritik, bukan pujian.

LIMA tahun ke depan, saya ingin melakukan perubahan besar untuk citra dan wajah Ansor yang dikenal sebagai OKP politik,” kata Nusron Wahid yang secara meyakinkan terpilih sebagai Ketua Umum GP Ansor Periode 2011-2016. Didampingi Ketua PW GP Ansor Jatim, Alfa Isnaeni selaku Ketua Panitia Pelaksana Kongres, ia mengatakan perubahan citra itu tidak hanya dilakukan dengan pernyataan, tapi juga tindakan.

Dalam bidang politik, dia ingin mendisiplinkan perilaku kader-kader Ansor, kapan berpolitik, kapan berjam’iyah Ansor, sehingga Ansor tetap tercitrakan sebagai organisasi kemasyarakatan pemuda. Dia mengingatkan kader Ansor untuk berpolitik dengan disiplin yakni berpolitik secara individu, bukan membawa nama organisasi. Termasuk dengan mengubah paradigma politik yang berkembang.

Dia tidak setuju semisal ketika dirinya yang kebetulan politisi menjadi kandidat ketua umum, maka hal itu langsung dikaitkan sebagai adanya intervensi politik. Baginya, Ansor sebenarnya tidak mungkin melarang kadernya berpolitik, karena hal itu sama halnya dengan melarang kader Ansor menjadi pemimpin nasional. Dalam praktiknya, pemimpin nasional itu bersumber dari partai politik.

Dalam pandangan pengganti H Saifullah Yusuf (Gus Ipul) itu, politisi dari Ansor harus memiliki perbedaan, yakni politisi yang disiplin, tidak korupsi dan menjaga akhlak yang baik. Karenanya, Ansor tidak ada urusan dengan politik, tapi individu boleh saja berpolitik, asalkan tanpa menggunakan baju Ansor, stempel Ansor, dan atribut Ansor lainnya. Kalau berpikir 2014 (Pemilu/Pilpres) juga nanti pada tahun 2014 saja.

Mengenai hubungan Ansor dengan pemerintah, ia mengatakan hal itu sama dengan hubungan NU dengan pemerintah yakni bukan oposisional. Dengan pola hubungan tersebut, Ansor dapat mengkritik bila pemerintah bertindak dzalim, tapi juga mendukung bila melayani rakyat.

Cita-citanya adalah membenahi hubungan antara Ansor dengan PBNU yang selama kepemimpinan sebelumnya terkesan kurang harmonis. Namun demikian dia menandaskan bahwa hubungan NU-Ansor tidak ada masalah. Apa yang selama ini ada, hanya sebatas kesan orang. Sebagai Banom NU, tentunya ada cara berorganisasi tersendiri dalam sinergi pengkaderannya.

Oleh karena itu, NU dan Ansor hendaknya tidak dibenturkan, karena Ansor memiliki tugas merealisasikan cita-cita besar NU. Cita-cita ideal dimaksud adalah membangun peradaban dengan nilai ideologi ke-Islaman berbasis ke-indonesiaan, tentunya dengan menyelamatkan ideologi. Karenanya dia lebih mengharapkan program pemuda yang bersifat membangun peradaban melalui ideologi kebangsaan dan kenegaraan yang kritis, objektif, dan tidak radikal.

Didampingi mantan Ketua Umum GP Ansor yang juga salah seorang Ketua PBNU dan Wakil Gubernur Jawa Timur; Saifullah Yusuf, Nusron tidak lagi membutuhkan kalimat pujian dan sanjungan. Dia malah menantang para peserta kongres untuk melakukan kritik konstruktif terhadap kepemimpinan yang akan dia emban. Baginya, kritik lebih berarti dari sederet pujian dan sanjungan yang cenderung melupakan. “Kritik saya, dan tagih juga janji saya,” katanya kepada peserta kongres. “Pasti,” kata peserta menjawab dengan serempak.

Sosok Sarat Pengalaman

Banyak yang memprediksi, Nusron Wahid akan terpilih sebagai Ketua Umum GP Ansor. Kalau ditelisik dengan seksama, sebenarnya jam terbang politisi Partai Golkar yang kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 12 Oktober 1973 ini sarat dengan onak duri di dunia organisasi.

Pemuda asal Desa Mejobo, Kudus, yang juga alumnus Madrasah Qudsiyah dan SMA NU Al Ma‘ruf di Kudus itu menjadi Ketua Umum PP GP Ansor setelah memenangkan “all final politisi” bersama Marwan Jakfar (DPR/PKB).

Pada putaran pertama, Marwan Jakfar memperoleh 183 suara, sehingga berhak maju ke putaran kedua bersama Nusron. Sedang kandidat lain seperti Khatibul Umam Wiranu (Demokrat) yang hanya meraih 40 suara, kandas. Sebelumnya Umam diprediksi merupakan rival terkuat dari Nusron Wahid.

Begitu pula Syaifullah Tamliha (PPP) meraih 40 suara, Munawar Fuad dengan tiga suara, Malik Haramain (PKB) dengan satu suara, Andi satu suara, Choirul Sholeh Rasyid satu suara, dan Yoyo satu suara. Lalu pada putaran kedua, kandidat yang berhak mengikuti pemilihan harus mengantongi suara minimal 99 suara sehingga hanya tersisa dua kandidat yakni Nusron dan Marwan. Hasil putaran kedua akhirnya dimenangkan oleh Nusron Wahid dengan 345 suara dan Marwan Dja’far 161 suara.

Nusron akan menyusun kepengurusan didampingi sembilan formatur dari Jatim, Banten, Sumbar, Sulsel, Kalteng, Malut, Papua Barat, Maluku, dan NTT. “Kita mulai babak baru yang bukan akhir, tapi awal dari perjuangan, karena itu saya minta jangan mendukung saya lagi pasca-kongres, tapi justru mengkritik dan menagih janji saya,” katanya.

Mengenai rumor adanya orang Cikeas yang mau menjadi Penasehat PP GP Ansor, dia mengatakan hal itu tidak ada masalah, asalkan dia pernah aktif di Ansor atau NU. “Orang mau menasihati, kok tidak diterima, orang mau berbuat baik kok ditolak. Yang penting, dia tidak `ujug-ujug` (datang secara tiba-tiba), tapi dia pernah di NU atau Ansor. Kalau bukan NU ya di-NU-kan dulu, bukan langsung jadi penasihat,” katanya.

Tidak berlebihan kalau dibilang Nusron Wahid sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Kudus, Demak dan Jepara. Semenjak memutuskan untuk “pulang kampung” pada Pemilu 2004 dengan tampil sebagai calon anggota DPRRI nomor urut 1 (satu) mewakili Partai Golongan Karya di Daerah Pemilihan Jawa Tengah 2 yang meliputi Kabupaten Kudus, Demak dan Jepara, Nusron Wahid dengan tidak kenal lelah menyapa basis masyarakat sampai ke pelosok-pelosok kampung yang relatif susah di jangkau karena kondisi infrastruktur yang kurang memadai.

Setelah secara resmi dilantik, sebagai bentuk pertanggungjawaban dan komitmennya kepada masyarakat yang diwakili, satu persatu mereka disapa. Beragam permasalahan yang disampaikan, mulai dari permasalahan pribadi makan hanya dengan kerupuk hingga permasalahan kelangkaan pupuk. Termasuk juga masalah kondisi madrasah yang memprihatinkan, orang tua yang tidak mampu membiayai sekolah anaknya, pembangunan masjid yang terbengkalai, pengrajin dan pelaku usaha kecil yang kekurangan modal hingga terjerat rentenir dan sebagainya.

Dengan cermat, alumnus UI ini menangkap permasalahan tersebut, tidak saja karena mempunyai cukup pengalaman dalam hal penguatan institusi dan masyarakat sewaktu memimpin Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) selaku ketua umum, tetapi juga karena memang dia besar di lapis masyarakat bawah.

Berbagai langkah penting telah dilakukan Nusron untuk membantu masyarakat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Dengan segala potensi yang dimilikinya, satu-persatu permasalahan diurai untuk dicarikan jalan penyelesaian terbaik. Berbagai dana bantuan diupayakan untuk membantu madrasah diniyah, madrasah di semua tingkatan, perguruan tinggi, kelompok tani, kelompok usaha kecil, koperasi dan masih banyak lagi.

Memang harus diakui, upaya tersebut masih belum mampu menyelesaikan semua permasalahan, selain karena keterbatasan kemampuan juga karena kompleksitas permasalahan di masyarakat sehingga upaya penyelesaiannya harus bertahap. Sebagai salah satu upaya berkelanjutan untuk membantu masyarakat, utamanya pelaku usaha kecil, jebolan IPB Bogor ini bersama dengan teman sejawat yang satu pemahaman, mendirikan KSU BMT Bina Mitra Mandiri, agar masyarakat dapat mengakses fasilitas kredit modal usaha dengan bunga ringan dan prosedur pelayanan yang tidak berbelit-belit.

Tidak itu saja, di tingkat kebijakan, sebagai salah satu fungsi yang melekat sebagai anggota DPR, anggota Komisi VI ini dengan sungguh-sungguh menggalang kekuatan dengan anggota DPR lain yang mengerti kondisi masyarakat lapis bawah, untuk bersama-sama agar rancangan kebijakan pemerintah lebih berpihak pada rakyat miskin (pro poor). Baik kebijakan yang bersifat peraturan perundang-undangan (regulasi) maupun kebijakan yang bersifat alokasi anggaran. Sebagai contoh nyata, dalam situasi maraknya perusahaan raksasa retail modern (Carefour, Hypermart, dll) menyerbu pasar Indonesia hingga ke lapis bawah yang berpotensi besar mematikan pedagang pasar tradisional, pedagang warung kelontong dan pedagang kecil, Nusron dengan tegas meminta kepada pemerintah agar dilakukan pembatasan yang tegas terhadap ijin pendirian perusahaan retail modern.

Perjuangan yang tidak kalah pentingnya terkait dengan kelangsungan hidup petani adalah mengenai kelangkaan pupuk, benih dan bibit pada masa tanam, dan anjloknya harga jual gabah pada waktu panen. Di DPR, Nusron berjuang agar sistem distribusi pupuk dibenahi, perlunya pemerintah menyediakan benih secara gratis untuk petani, dan yang tergolong progresif adalah pengesahan UU No 9 tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang, yang memungkinkan petani mendapatkan dana pinjaman tanpa harus menjual hasil panennya dengan harga murah pada saat panen.

Khusus bagi masyarakat Kudus, perjuangan yang sangat penting adalah pada saat tarik ulur bagi hasil cukai tembakau dan rokok antara pemerintah pusat dengan daerah produsen rokok. Setelah melalui perjuangan panjang, alot dan melelahkan, akhirnya disepakati kenaikan bagi hasil bagi daerah produsen rokok sehingga daerah produsen mendapatkan bagi hasil sebesar 2 % untuk daerah produsen sesuai dengan UU No 39 tahun 2007 tentang cukai.

Di tingkat kebijakan anggaran, perjuangan berat dalam meyakinkan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran-anggaran yang lebih banyak untuk program yang terkait langsung dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, seperti peningkatan alokasi anggaran untuk kredit mikro, peningkatan anggaran pendidikan, termasuk untuk pendidikan agama, dan lain-lain.

Dengan pengalaman yang dimiliki, baik di organisasi kemasyarakatan maupun di lembaga wakil rakyat, termasuk jaringannya, maka akan banyak yang bisa diharapkan dari sosok Nusron Wahid. Kita akan lihat saja kiprahnya. Selamat mengabdi Bung! (s@if)

*) Dimuat di Majalah AULA Edisi Pebruari 2011

Senin, 31 Januari 2011

AULA Pebruari 2011



Perhelatan tertinggi untuk menata masa depan serta tokoh utama yang akan mengendalikan masa depan Ansor telah usai. Lewat persidangan khas anak muda, terpilihlah kader terbaik Ketua Umum GP Ansor lima tahun mendatang (2011-2016), yaitu Nusron Wahid yang mendapatkan 345 suara, mengalahkan Marwan Dja’far (161 suara).

Baca ulasan lengkap tentang suasana dan serba-serbi Kongres XIV GP Ansor di Majalah Nahdlatul Ulama AULA edisi Pebruari 2011:

- Ansor sebagai Tumpuan Kader NU (hal 10)
- Ansor; Organisasi yang Dinamis (hal 14)
- Parade Orang Penting di Perhelatan Penting (hal 18)
- Harapan Besar Mereka Sandarkan (hal 24)
- Sosok dan Janji Ketua Umum (hal 28)

Dapatkan juga liputan mengenai :
- Refleksi: Musafir (hal 8)
- Aktualita: Pembukaan STKQ Al-Hikam 2 Depok (hal 34)
- Bahtsul Masail: Hukum Maulid Nabi (hal 43)
- Mimbar Aula: Islam dan Kesehatan (hal 47)
- Ihwal: Membentengi Jamaah dan Jam’iyah (hal 51)
- Kancah Dakwah: Tantangan Mengaji bagi Lansia (hal 54)
- Ibrah: Strategi Kiai Mahfudz Atasi Krismon & Kristenisasi (hal 58)
- Pesantren: PP Hasan Jufri Bawean (hal 59)
- Khazanah: Nabi Menyarankan Jinten Hitam (hal 64)
- Wawasan: Menggagas Maslahah Aqliyah Bag. 1 (hal 67)
- Uswah: Asa Bafaqih (hal 72)
- Tokoh: Prof Dr H Babun Suharto, SE, MM (hal 75)
- Rehat: KH Jurjis M & Drs H Abdul Mujib (hal 78)
- Resensi: Memahami Bahasa Al-Qur’an (hal 80)
- Alam Islami: Tarim sebagai Pusat Kota Budaya Islam Dunia (hal 85)
- Sekilas Aktivitas (hal 90)

Kamis, 13 Januari 2011

Polemik H Mahrus Ali (ternyata) Belum Selesai

Kesabaran hati kaum Nahdliyin kembali digoda. Buku terbaru H Mahrus Ali kembali terbit. Isinya masih seperti yang dulu, bisa “menggemaskan” hati. Bedanya, topik yang diangkat kali ini berbeda. Bagaimana kita harus menyikapi?

MASIH ingat nama H Mahrus Ali? Yah, setelah cukup lama tenggelam dari pemberitaan media, nama itu kembali menjadi polemik. Hanya saja kalau sebelumnya polemik berlangsung di tengah masyarakat, polemik kali ini lebih banyak berlangsung di dunia maya, melalui saluran facebook.

Polemik dipicu oleh munculnya buku terbaru H Mahrus Ali dengan penerbit yang sama, Laa Tasyuk! Press. Sebagaimana biasa, judul buku itu cukup mudah memancing emosi. Di sampul depan nama penulis cukup jelas H Mahrus Ali (Mantan Kyai NU), dengan judul buku Amaliah Sesat di Bulan Ramadhan (kesyirikan ngalap berkah kubur, ruwahan, megengan dan kesesatan dzikir berjama’ah disela-sela shalat tarawih).

Sebenarnya Aula kurang tertarik lagi menulis laporan tentang alumni Pondok Pesantren Langitan yang tidak diakui almamaternya tersebut. Pengalaman sebelumnya sudah cukup menjadi pelajaran, betapa ia tidak bisa diajak beradu argumentasi secara sehat dan wajar. Saat ada “tantangan” dialog, ia malah mengajukan syarat yang terbilang tidak masuk di akal orang waras. Pertama, ia minta agar dialog diadakan di rumah H Mahrus, dengan catatan dilakukan orang per orang, tidak boleh secara rombongan. Kalau orangnya banyak harus dilakukan secara bergiliran.

Kedua, jika dialog dilakukan di tempat lain, ia minta dua jaminan: pertama, jaminan uang sebesar Rp 2.000.000.000 (dua miliar), dan kedua, jaminan keamanan. Jaminan keamanan itupun terbilang cukup unik. Ia minta dijemput ke rumah dengan pengawalan 1 truk polisi bersenjata lengkap dan 1 jip polisi militer. Mereka harus menjemput ke rumah, menunggui selama dialog dan mengantar kembali ke rumah. Banyak orang tertawa saat mendengar permintaan yang terbilang cukup janggal tersebut.



Tidak heran kalau tiga kali undangan debat terbuka tidak pernah ia hadiri. Pertama di IAIN Sunan Ampel Surabaya, kedua di Malang, dan ketiga di Masjid Kauman Desa Gedongan, yang hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari rumahnya. Selain karena faktor syarat awal, alasan yang dimunculkan makin berfariasi, mulai dari undangan yang terlalu mepet sampai minta waktu setidaknya 3 bulan untuk muthala’ah. Orang pun tersenyum kala mendengar adanya syarat tambahan tersebut.

Selain faktor mbulet itu, masih ada lagi penyebab Aula enggan menulis seputar H Mahrus Ali. Pengalaman yang lalu (edisi Nopember 2006, Maret 2008, April 2008, Juni 2008 dan Agustus 2008), ternyata tulisan yang panjang lebar itu malah menguntungkan penerbit dan melambungkan nama H Mahrus Ali. Padahal di kampungnya, Tambaksumur, Waru, Sidoarjo, ia bukanlah siapa-siapa. Bukan tokoh kampung, apalagi Kiai NU. Sekitar 30 orang pengikutnya, mayoritas warga pendatang yang tidak berlatar belakang pesantren.

Lebih dari itu, ternyata H Mahrus hanyalah “korban” kenekatan penerbit. Judul buku yang bombastis itu (Mantan Kiai NU) adalah rekaan penerbit yang ingin mengeruk untung sebesar-besarnya dari tulisan ayah dari 14 anak tersebut. Benar juga. Berkat pemberitaan dan polemik yang luar biasa, buku itu malah makin laris bak kacang goreng. Bahkan di beberapa toko buku di luar kota pembeli malah harus berani indent jika ingin kebagian jatah. Repotnya, H Mahrus Ali malah tidak mendapatkan apa-apa dari larisnya buku, mengingat ia menjual naskah, tidak menggunakan sistem royalti. Orang terus marah pada H Mahrus, sementara penerbit dengan enaknya menghitung untung yang terus melambung.

Ketika H Mahrus mengadukan keberatan pada penerbit atas penggunaan judul “Mantan Kiai NU” yang dilabelkan pada dirinya, sehingga banyak kiai NU beneran marah kepadanya, penerbit hanya menjawab dengan enteng: “Supaya bukunya laku. Kalau sampai tidak laku, apa Sampean mau tanggung jawab?” elak mereka. H Mahrus pun langsung ciut nyali mendengar gertakan seperti itu.


Dari banyak pengalaman itu, ditambah saran dari beberapa kiai, dalam waktu cukup lama Aula tidak lagi memperhatikan sepak terjang H Mahrus Ali dan penerbit Laa Tasyuk! Press. Namun setelah mendapatkan banyak pengaduan dari masyarakat di beberapa daerah yang tidak mengetahui kronologi persoalan buku H Mahrus Ali, ditambah dengan maraknya dialog di internet pada akhir Oktober lalu, membuat Aula ingin memberikan tambahan informasi. Apalagi ada rombongan dari Tebuireng yang mengunjungi rumah lelaki asal Desa Telogorejo, Sidomukti, Kebomas, Gresik itu.

Khawatir Mengganggu Kerukunan

Adalah KH Thobary Syadzily yang memulai. Salah seorang anggota Komisi Fatwa dan Hukum MUI Kota Tangerang, Banten itu menulis di akun facebook-nya tentang terbitnya buku H Mahrus yang harus diwaspadai. Judulnya juga cukup menyentak: H Mahrus Ali Pembohong dan Pemecah Belah Ummat.

Telah terbit kembali buku karangan Wahhabi, H Mahrus Ali. Awas jangan sampai terprovokasi atau terpengaruh dengan keberadaan buku ini !!. Buku ini dan buku-buku lainnya karangan H Mahrus Ali penuh dengan kebohongan dan hasil rekayasa dari Wahhabi di atasnya saja. Dengan kata lain, buku-buku itu hanyalah sebagai penyambung lidah Wahhabi (termasuk penerbit “LAA TASYUK” Jln Pengirian No 82 Surabaya dan oknum-oknum yang berada di belakangnya) saja yang bertujuan untuk mengadu domba antara NU, Muhammadiyah, Persis dan ormas-ormas lainnya dan memperdaya ummat Islam di Indonesia khususnya para warga Nahdhiyyin. Itulah gaya politik Wahhabi yang murahan dan rendahan (cheap and low political style of Wahhabi) yang selalu ditampilkan dalam da’wahnya. Begitu sebagian dari bunyi tulisan Kiai Thobary.

Gayung langsung bersambut. Ternyata tulisan itu mendapatkan tanggapan luar biasa dari para penggemar chating. Hanya berselang 2 hari, tidak kurang dari 98 tanggapan masuk. Kebanyakan menghujat penerbit ataupun penulis, mulai dari sekadar mencela sampai yang mohon izin membunuh. “H Mahrus Ali ini bisa memecah belah umat Islam. Saya khawatir mereka bertengkar diakibatkan beredarnya buku-buku yang suka membid’ahkan orang lain itu. Ini harus dihentikan!” Kiai Thobary memberikan alasan sikapnya.

Tidak puas hanya lewat dunia maya, pengasuh Pondok Pesantren Al-Husna Periuk Jaya Tangerang, Banten itupun “ngeluruk” ke rumah H Mahrus pada 22 November 2010. Bersama Gus Cecep dari Tebuireng, Habib Fikri, kenalan di dekat rumah H Mahrus Ali dan seorang sopir ia mendatangi rumah H Mahrus, dengan terlebih dahulu bertamu pada keponakannya, H Mahmud Ubaid. Gus Cecep adalah cucu Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Semasa hidup Gus Dur ia paling sering diajak mendampingi sepupunya itu saat ke makam para shalihin. Tidak heran kalau ia mendapatkan panggilan Sarkub, alias sarjana kuburan. Dunia gaib seakan menjadi kehidupan sehari-hari alumnus Pondok Modern Gontor tersebut. Tanpa kesulitan yang berarti, akhirnya mereka bisa bertemu dengan tuan rumah H Mahrus Ali.

H Mahrus Siap Dialog

Duduk di lantai beralas tikar, mereka berdialog, dimulai dengan hal-hal yang ringan. Ketika disinggung mengenai syariat yang berbeda, H Mahrus lebih banyak menghindar. Namun ketika menyangkut buku karyanya ia dengan senang hati melayani. Bahkan dengan penuh percaya diri ia meminta untuk dikoreksi. “Mana yang salah, saya siap mengoreksi, ini demi kebaikan bersama,” kata H Mahrus, seperti yang ditirukan Gus Cecep.

Pembicaraan mulai serius saat menyentuh judul buku-bukunya yang dapat dengan mudah memancing emosi warga NU. “(judul) Itu bukan kemauan saya, saya hanya buat naskahnya,” elak H Mahrus. Mengapa tidak mengajukan keberatan? “Sudah. Tapi saya tidak kuasa untuk itu,” balas H Mahrus tak mau kalah. Akhirnya ia diminta menuliskan pernyataan bahwa judul buku memang bukan atas kemauan dirinya, melainkan kehendak penerbit. Inilah yang mungkin akan dipersoalkan lebih serius oleh rombongan dari Tebuireng tersebut.

Pembicaraan selanjutnya adalah soal hisab-rukyat. Sebab dalam buku karyanya, H Mahrus menyebutkan bahwa penentuan awal bulan menggunakan ilmu hisab adalah bid’ah, karena tidak ada ajaran dari Rasulullah, tidak ada Hadisnya. Dan pada kenyataannya –menurut H Mahrus dalam bukunya itu – ilmu hisab tersebut tidak menyelesaikan persoalan apabila terjadi perbedaan pendapat dalam penentuan jatuhnya awal bulan qamariyah, seperti awal Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah. “Coba kalau dikembalikan kepada Qur’an dan Sunnah Rasul dengan menggunakan rukyat, maka persoalan akan selesai,” begitu analogi H Mahrus. Enteng.

Ditanya tentang cara melakukan rukyat, mengingat posisi hilal belum diketahui (sementara munculnya kadang hanya dalam hitungan menit atau detik) H Mahrus tampak kurang memahami persoalan itu. “Kalau soal penentuan hari raya, saya percaya NU,” jawabnya singkat tanpa perasaan bersalah. Para tamunya tampak kaget, mengingat NU menggunakan rukyat, namun dipandu dengan hisab sebelumnya.

Lalu, data-data tulisan tentang ilmu hisab yang ada di buku itu dapat dari mana? “Saya ambil dari internet,” tuturnya lirih sambil tersipu-sipu. Kiai Thobary hanya tersenyum melihat keterbatasan penulis yang dalam bukunya dilabeli “Syeikh” itu. Sampai saat itu H Mahrus belum mengetahui kalau orang yang duduk di hadapannya adalah Ketua Lajnah Falakiyah PWNU Banten dan salah seorang anggota tim Badan Hisab Rukyat Kementrian Agama RI.

Menjelang akhir pertemuan, H Mahrus kembali menegaskan kesiapannya melakukan dialog terbuka. Hanya saja tetap ada syarat yang harus dipenuhi. Kali ini bukan persoalan uang, tapi hanya masalah tempat. Ia minta tempat yang aman, bukan di tempat komunitas orang NU. Dan tempat aman yang dimaksud adalah gedung kepolisian! Para tamu itupun hanya tersenyum menanggapinya.

Di sisi lain, saat dialog berlangsung itu Gus Cecep melihat ada makhluk lain yang selalu mendampingi H Mahrus. Tidak ikut bicara, namun cukup untuk memberikan spirit pada penganjur aliran shalat langsung di atas tanah dan memakai sandal tersebut. “Dia itu gurunya saat di Makkah dulu,” tutur Gus Cecep, yang biasa diajak Gus Dur keliling ke makam-makam keramat.

Sepulang dari rumah H Mahrus, mereka sempat memotret warkop yang biasa ditempati H Mahrus bercengkrama. Mereka pun tampak puas dengan kunjungan itu dan memiliki kesimpulan yang sama, bahwa nama H Mahrus Ali tidaklah sehebat yang digembar-gemborkan. Namun soal sikap akhir, keduanya belum satu kata. Kiai Thobary ingin agar PWNU Jawa Timur bersikap lebih tegas lagi pada H Mahrus Ali dan penerbit Laa Tasyuk! Press, mengingat buku-buku yang diterbitkan sangat membahayakan kerukunan umat Islam dan mengandung unsur adu domba.

Sedangkan Gus Cecep bersikap sebaliknya. Ia ingin orang itu dibiarkan saja, toh masyarakat sudah pada tahu siapa sebenarnya dia. “Kalau diurusi serius, dia malah terkenal,” ujarnya memberikan alasan. Bagaimana dengan kita? (M. Subhan)

*) Dimuat di Majalah AULA Edisi Januari 2011 dalam rubric “Liputan Khusus”.

Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS) Kudus

Madrasah Salafiyyah Berorientasi Global

Awalnya, lembaga pendidikan yang kini menginjak usia 81 tahun ini hanyalah madrasah diniyah. Kini, lembaga pendidikan ini terus berkembang dan memiliki 9 unit pendidikan dengan peserta didik tidak kurang dari 3500 siswa.

LOKASINYA strategis, hanya 600 meter sebelah utara Masjidil Aqsha (Menara Kudus). Tepatnya di desa Kajeksan, Kecamatan Kota Kudus. Madrasah ini didirikan oleh KH Ahmad Hadziq dan KH Abdul Muhith, dua ulama terkemuka di Kudus, pada tanggal 7 Jumadil Akhir 1347 H bertepatan dengan 21 Nopember 1928 M dengan nama Tasywiquth Thullab.

Pada awalnya, madrasah ini hanya memberikan kajian dari kitabkitab kuning sehingga disebut Madrasah Diniyyah. Namun, seiring perkembangan zaman dan kebutuhan akan pendidikan umum, maka pada tahun 1935 seorang tokoh muda Kudus, KH Abdul Jalil (ahli falak Nasional) sepulang dari perguruan tinggi di Saudi Arabia berinisiatif menambahkan sedikit pengetahuan umum. Tak hanya itu, ia juga memberikan tambahan nama School di belakangnya menjadi Tasywiquth Thullab School, dengan singkatan TBS. Ini merupakan strategi Kiai Jalil agar tidak dicurigai pemerintah kolonial. Sejak itu, TBS mulai menggeliat dan menunjukkan perkembangan.

Selain madrasah ibtidaiyah yang sudah ada sejak awal mula didirikan, barulah pada tahun 1950 dibuka MTs. ”Sedangkan Madrasah Aliyah TBS baru berdiri tahun 1972,” kata KH Mustofa Imron, S.HI, Kepala MA TBS. Ketiga unit pendidikan di atas dikhususkan untuk putra dan masuk pagi hari.

Karena banyak permintaan dari masyarakat untuk membuka pendidikan bagi kaum hawa, maka pada tahun 1988 dibukalah Madrasah Diniyyah Putri (MADIPU) yang masuk siang hari. Dilanjutkan dengan dibukanya Taman Pendidikan AlQur’an (TPQ) TBS tahun 1990 dan Madrasah Ilmuilmu AlQur’an (MIQ) TBS tahun 1992 yang masuk sore hari.

Namun, menurut KH Choiruzyad TA, kepala pengurus Madrasah TBS, pada 1982 nama belakang School diganti dengan Salafiyyah oleh KH Turaichan Adjhuri, selaku dewan penasehat dan tokoh perintis Madrasah TBS Kudus. Hingga kini nama tersebut menjadi ciri khas TBS, bahkan seolah membawa barakah tersendiri, sebab setelah ditambahkan Salafiyyah, TBS terus bertambah maju. Sebagai penghormatan, hingga kini nama KH Turaichan Adjhuri diabadikan sebagai nama jalan madrasah ini berada.



Pada tahun 1992 karena kepentingan akreditasi, Madrasah TBS bernaung di bawah Yayasan Arwaniyyah Kudus, yang juga menaungi Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus. Hal itu dilakukan untuk mempermudah proses akreditasi dan mempunyai visi dan misi yang sama. Selain itu, Yayasan Arwaniyah juga berada di bawah kendali salah seorang sesepuh Madrasah TBS Kudus, yaitu KH Muhammad Arwani Amin.

Pendidikan Sesuai Kebutuhan

Yang menjadi ciri khas sekaligus tantangan, bagi mereka yang tidak bisa lulus test masuk ke MTs dan MA, maka agar tidak mengulang di MI atau MTs terlalu lama, Madrasah Persiapan Tsanawiyyah (MPTs) didirikan pada tahun 1991. Disusul Madrasah Persiapan Aliyah (MPA) tahun 1998. Masingmasing sekolah persiapan ini berdurasi 2 tahun.

Perkembangan selanjutnya ditandai dengan berdirinya Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) pada 1994, yang siswanya diasramakan. “Namun, sesuai instruksi Dirjen Pendidikan Pusat, MAK ini akhirnya menjadi MAPK (Madrasah Aliyah Program Kejuruan),” Kata KH Ulil Albab Arwani, pimpinan pondok MAPK. Sedangkan MA TBS sendiri masih menyediakan 3 program (jurusan) yaitu IPA, IPS dan Bahasa.

Untuk menyeimbangkan antara Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), Madrasah TBS juga dilengkapi dengan laboratorium biologi, fisika, kimia, komputer dan multimedia, serta perpustakaan guna menunjang kegiatan belajar mengajar agar lebih baik.

Agamis dan Unggul dalam IPTEK

Sesuai dengan visi misi Madrasah TBS Kudus yaitu “Mencetak kader yang tangguh dalam Iman dan Taqwa, unggul dalam IPTEK beraqidah Ahlussunnah Waljama’ah”, jajaran pengurus Madrasah TBS Kudus menerapkan sistem pembelajaran yang ketat, efektif dan efisien dengan tanpa menghilangkan jati diri salafiyyahnya. Sikap tawadlu’ dan ahlaqul karimah kepada para Masyayikh dan Ustadz selalu ditanamkan kepada siswa baik dalam lingkungan Madrasah maupun di luar Madrasah.

Kiai Musthofa juga menambahkan bahwa MA TBS sendiri mempunyai 48 jam mata pelajaran, untuk Kurikulum Negeri (KTSP) hanya 32 mata pelajaran yang diharuskan dimasukkan, itu sudah termasuk pelajaran agama dari Depag, jadi masih sisa 16 jam pelajaran yang diisi dengan kurikulum lokal berupa kajian kitab kuning (salaf) dalam berbagai disiplin ilmu, seperti nahwu, sharaf, ushul fiqih, balaghah, akhlaq, tafsir, mantiq, falak, tashawuf, faraid, fiqih dan sebagainya. ”Dengan begitu, di samping siswa mendapatkan materi pelajaran sebagaimana di sekolah umum juga menerima materi keagamaan sebagaimana yang diajarkan di pondok pesantren,” terang Kiai Musthofa.

“Bisa dikatakan Madrasah TBS Kudus menggunakan kurikulum plus yaitu satu sisi menggunakan kurikulum salaf dengan kemasan kitabkitab kuning, satu sisi menggunakan kurikulum Negara, baik Diknas maupun Depag,” sahut Ustadz Syafi’i Noor, kepala TU MA TBS.

Guna membekali siswa dengan ketrampilan IPTEK, aktivasi laboratorium selalu ditekankan oleh pihak Madrasah terhadap siswa. ”Hampir tiap hari ruangan laboratorium selalu terpakai dengan penyediaan bahan praktek dari madrasah, di samping ditunjang oleh pengajar yang berkompeten di bidangnya masingmasing, bahkan ada pula dari staf pengajar kami yang menjadi dosen di sebuah universitas swasta terkemuka di Kudus,” imbuh Kiai Mustofa yang juga wakil ketua LP Ma’arif NU Cabang Kudus. Dengan demikian siswa Madrasah TBS Kudus selain cakap dalam ilmu agama juga mumpuni dalam bidang IPTEK.

Selain materi formal, siswa Madrasah TBS Kudus juga disibukkan dengan berbagai kegiatan, utamanya kegiatan ini ditangani oleh IPNU Komisariat TBS. IPNU Komisariat TBS ini seringkali mengadakan kegiatan sosial yang menunjang dan mendukung aktivitas para siswa, seperti bakti sosial, latihan dasar kepemimpinan, diklat jurnalistik, dlsb. ”Sebab, bagi kami, ilmu yang didapat juga harus ditunjang segala aktivitas lainnya,” tutur Kiai Musthofa. Bahkan, sebagai wadah pembelajaran dan mengasah kreatifitas jurnalistik, Madrasah TBS juga menerbitkan buletin bulanan dan Majalah AthThullab. Perkembangan terakhir Madrasah TBS bekerjasama dengan pihak Depag untuk memberikan beasiswa terhadap siswa yang berprestasi untuk kuliah di Universitas Umum dan Keagamaan Negeri seperti UNAIR, UGM, UNDIP, UIN, IAIN dan lain-lain.

Selain itu, Madrasah TBS Kudus juga memberikan beasiswa pada siswa yang berprestasi untuk meneruskan studi ke luar negeri, terutama ke Timur Tengah, diantaranya ke Universitas AlAzhar Mesir, Syiria, Turki, Arab Saudi, Sudan dan Libya.

“Alhamdulillah, anakanak kita mampu dan tercover untuk meraih beasiswa tersebut untuk melanjutkan kuliah di universitas umum yang notabene didominasi anakanak dari sekolah umum. Selain itu, alumni kami juga banyak yang melanjutkan studi ke luar negeri,” terang ayah lima orang putra ini.

Selain itu, tidak sedikit alumni Madrasah TBS yang telah berhasil menjadi tokoh masyarakat dan di berbagai bidang, khususnya pendidikan. Diantaranya adalah Prof Dr KH Chatibul Umam, rektor PTIQ Jakarta dan salah satu Rais Syuriah PBNU; Prof Dr Ahmad Rofiq, MA guru besar IAIN Walisongo Semarang, sekretaris MUI Jateng dan rektor Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang; H Sirril Wafa, MA, dosen Universitas Islam Jakarta; Dr H Muhayya, MA, dosen pasca sarjana IAIN Walisongo Semarang; dan Prof Dr Maghfur Utsman, guru besar dan mantan rektor perguruan tinggi di Brunei Darussalam. (Syahid/d!N0)

*) Dimuat di Majalah AULA Edisi Maret 2009

Bundel AULA 2010

Senin, 27 Desember 2010

AULA Januari 2011


Andai saja dilakukan pemilihan manusia paling kontroversial, mungkin Gus Dur akan terpilih sebagai juara pertama. Yah, semasa hidupnya, ia selalu kontroversial. Banyak orang ternganga dan spot jantung dibuatnya. Kini, setahun setelah wafatnya, kontroversial itu muncul kembali. Mengapa?

Baca ulasan lengkapnya di Majalah Nahdlatul Ulama AULA edisi Januari 2011:

Refleksi: Awair (hal 8)
Ummurrisalah :
- Mengenang Kembali Sosok H Abdurrahman Addakhil (hal 10)
- Mengapa Ada Haul Gus Dur? (hal 14)
- Kebijakan Pembuka Transisi Demokrasi (hal 19)
- Gus Dur Si Raja Humor (hal 25)
- Nyleneh Namun Tetap Dipuja (hal 29)

Dapatkan juga liputan mengenai :
- Ihwal: Modernisasi Manajemen, Bukan Keagamaan (hal 35)
- Bahtsul Masail: Bank Syariah Sama dengan Bank Konvensional? (hal 38)
- Liputan Khusus: Polemik H Mahrus Ali Belum Selesai (hal 46)
- Kancah Dakwah: Korban Merapi Butuh Terapi (hal 51)
- Pendidikan: SMA Shafta Surabaya (hal 55)
- Pesantren: PP Sabilul Muttaqin Mojokerto (hal 59)
- Khazanah: Bekam, Alternatif Penyembuhan Penyakit (hal 62)
- Muhibah: Merasakan Hebatnya Muslimat NU London (hal 66)
- Uswah: Muhammad Hasan (Tan Kim Liong) (hal 70)
- Obituari: KH As’ad Umar Tutup Usia (hal 73)
- Tokoh: Prof Dr Drs Surahmat, MSi (hal 74)
- Rehat: H Nurhadi Ridwan & H Afif Hasbullah (hal 78)
- Wawasan: Prespektif Islam tentang Beragama dan Bernegara (hal 80)

Rabu, 01 Desember 2010

AULA Desember 2010

Apa isu strategis Kongres Ansor ke-14?
Siapakah para kandidat yg akan menggantikan posisi Gus Ipul (Drs H Saifullah Yusuf)?
Apa pesan dan kesan Gus Ipul selama memimpin Ansor?
Apa pendapat dan harapan para mantan Ketua Umum PP GP Ansor?

Baca ulasan lengkapnya di Majalah Nahdlatul Ulama AULA edisi Desember 2010:

Assalamualaikum : Ikhtiar Tabayun
Renungan : Abdullah Ubaid (hal 8 )
Ummurrisalah :
- Kongres Mengokohkan Jati Diri (hal 10)
- Menunggu Titik Balik Khittah Ansor (hal 14)
- Proses Regenerasi yang Rawan Intervensi (hal 19)
- Profil Singkat Kandidat Ketua Umum (hal 20)
- Pendapat para tokoh:
Wawancara : Drs H Saifullah Yusuf (hal 30)








Dapatkan juga liputan mengenai :
-Ihwal: PWNU Jatim Berbagi untuk Korban Merapi (hal 36)
-Bahtsul Masail : Jum’atan di 2 Masjid yang Berdekatan (hal 39)
-Mimbar Aula : Naskah Khutbah Jumat (hal 42)
-Uswah : Mbah Mad Watucongol (hal 47)
-Kancah Dakwah : Pengajian Abang Becak se-Surabaya (hal 50)
-Pendidikan : STAINU Temanggung (hal 54)
-Pesantren : PP Manba’ul Hikam Sidoarjo (hal 58)

Baca juga ulasan menarik lainnya seputar :
-Wawasan : Ragam Pemurtadan di Indonesia (hal 62)
-Muhibah : PWNU Jatim Menelusuri Islam di Negeri Tirai Bambu (hal 66)
-Khazanah : Menyingkap Kesakralan Bulan Muharram (hal 71)
-Tokoh : Drs KH Abuya Busyro Karim, M.Si (hal 75)
-Rehat : Ny Hj Munjidah Wahab & Prof Dr Ridwan Nasir (hal 80)
-Alam Islami : Sejarah dan Arti Bulan Hijriah-Masehi (hal 84)