Jumat, 30 Juli 2010

KH Bisri Syansuri

Faqih yang Tegas nan Santun

Pertengahan Juni ini, Ponpes Mambaul Maarif Denanyar, Jombang memiliki hajat besar. Ribuan orang diperkirakan memadati lokasi pesatren untuk menghadiri agenda acara tahunan Haul ke-31 wafatnya KH Bisri Syansuri dan bersama-sama meneladani keteguhan prinsip dan kecintaannya kepada ilmu fiqih, Islam dan bangsa.

Pembicarakan kisah hidup Kiai Bisri berarti membicarakan kecintaan seorang ulama terhadap ilmu fiqih. Karena saking cintanya, Kiai Bisri dikenal sebagai ulama yang tegas memegang prinsip. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga cucunya sendiri, menyebut Kiai Bisri sebagai “Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat” yang ter-muat sebagai judul buku yang ia tulis.

Ada kisah menarik yang termuat dalam buku Gus Dur. KH Abdul Wahab Chasbullah sering sekali berbeda pendapat dengan Kiai Bisri. Kiai Wahab, menurut Gus Dur, lahir sebagai anak kaya di Bibis, Kota Surabaya. Ibunya memiliki ratusan rumah di daerah tersebut yang disewa oleh orang-orang Arab pada paruh kedua abad ke-19 Masehi.
Sebaliknya, Kiai Bisri lahir beberapa tahun kemudian, di tengah-tengah keluarga miskin di kawasan Tayu Wetan, Pati, Jawa Tengah. Dia belajar di pesantren lokal dan kemudian di pesantren KH Cholil Demangan, Bangkalan. Di sanalah dia bertemu dengan Kiai Wahab.

Kiai Bisri muda dapat terus menjadi santri karena ia mencuci pakaian dan menanak nasi untuk kawan barunya itu, Kiai Wahab muda. Segera Kiai Bisri muda menjadi orang kepercayaan Wahab muda karena jujur dan rajin. Jadi, urusannya sudah bukan lagi menyangkut pakaian dan makanan, tetapi sudah berkaitan dengan watak dan tempramen. Walaupun begitu, keahlian ilmu agama Islam kedua orang itu juga saling berbeda.
Perbedaannya terletak pada bidang ilmu agama yang mereka senangi. Kiai Wahab senang pada ilmu ushul fiqh, sedangkan Kiai Bisri menyukai tafsir dan hadits Nabi Muhammad SAW. Bidang itu juga dinamai kajian naqly, bertumpu kepada ayat-ayat Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW.

Karena itu, Kiai Bisri tidak banyak berkutat dengan penggunaan akal (rasio) sebagaimana Kiai Wahab. Pernah Kiai Wahab bertanya kepada Gus Dur; “Saya dengar kakekmu itu tidak pernah makan di warung?” Gus Dur menjawab, “Memang benar demikian.”

Kiai Wahab kembali bertanya, “Mengapa?” Gus Dur menjawab, “Kiai Bisri tidak menemukan hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah makan di warung.” Kiai Abdul Wahab menga-takan; “Ya, tentu saja karena waktu itu belum ada warung.”
Tetapi pergaulan mereka, tokoh tekstual di satu sisi dan tokoh satunya yang senang menggunakan rasio, ternyata sangat erat. Hal ini tampak ketika ada bahtsul masail. Gus Dur pernah menyaksikan sekitar 40-an orang kiai berkumpul dari pagi hingga sore hari di ruang tamu Kiai Bisri.Ternyata, keduanya berdebat seru, yang satu membolehkan dan yang satu lagi melarang sebuah perbuatan.

Demikian seru mereka berbeda, hingga akhirnya semua kiai yang lain menutup buku/kitab mereka dan mengikuti saja kedua orang itu berdebat. Sampai-sampai, baik Kiai Abdul Wahab maupun Kiai Bisri berdiri dari tempat duduk mereka sambil memukul-mukul meja marmer yang mereka gunakan berdiskusi. Muka keduanya me-merah karena bertahan pada pen-dirian masing-masing.

Akhirnya kemudian Kiai Abdul Wahab menyerang, “Kitab yang Sampeyan gunakan adalah cetakan Kudus, sedangkan kitab saya adalah cetakan Kairo.” Ini adalah tanda Kiai Abdul Wahab kalah argumentasi dan akan menerima pandangan Kiai Bisri. Walau pada forum bahtsul masail itu mereka berbicara sampai memukul-mukul meja dengan wajah memerah, namun ketika tiba-tiba beduk ber-bunyi, Kiai Bisri segera berlari ke sumur di dekat ruang pertemuan tersebut. Di sana, dia naik ke pinggiran sumur dan menimbakan air wudhu bagi iparnya itu. Beda pendapat boleh tapi harus tetap rukun. Demikian kira-kira pegangan mereka.

Kisah menarik lainnya terdapat di buku “Menapak Jejak Mengenal Watak, Sekilas Biografi 26 Tokoh NU”. Dalam resepsi penutupan Kongres Gerakan Pemuda Ansor di Surabaya, April 1980, Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Yusuf Hasyim (Pak Ud) membisiki seseorang, “Sakitnya KH Bisri Syansuri semakin parah. Beliau dalam keadaan tidak sadar siang tadi ketika saya tinggalkan berangkat kemari,” ujarnya. Orang yang diberitahu tersentak mendengar bisikan itu. Sebab tiga hari sebelumnya, dia ikut hadir di ruang tamu rumahnya, sewaktu pendiri dan pemimpin Ponpes Mambaul Maarif itu menerima Probosutedjo, pengusaha kenamaan dan adik Presiden Soeharto.
Probosutedjo diundang untuk memberikan ceramah tentang kewiraswastaan dalam Kongres Ansor di Surabaya. Kehadirannya memenuhi undangan tersebut di-manfaatkan sekaligus untuk me-ngunjungi Kiai Bisri yang sedang dalam keadaan sakit. Ketika itu Kiai Bisri menjemput sendiri tamunya di teras tempat kediamannya. Bersa-rung putih dengan garis kotak-kotak kebiruan, mengenakan baju putih dan berkopiah haji. Kiai Bisri mem-persilakan tamu dari Jakarta itu me-masuki ruang depan rumahnya yang tua dan berperabotan sederhana.

Wajahnya, seperti biasa, tampak jernih. Dengan sabar penuh perhatian ia mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh tamunya. Dan dengan suara lembut ia menjawab setiap pertanyaan, menjawab salam dari Presiden Soeharto yang disampaikan oleh Probosutedjo dan dengan halus menolak tawaran berobat ke luar negeri.
Terdapat pula kisah Kiai Bisri dalam buku “Antologi NU; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah” jilid I. Saat berlangsung Sidang Umum MPR tahun 1978 ada peristiwa luar biasa. Fraksi PPP tidak sepakat dengan keputusan fraksi lain. Setelah berkali-kali adu argumentasi mengenai rancangan ketetapan MPR tentang P4 namun tetap tidak membuahkan hasil. Sementara partai sudah meng-gariskan untuk memegang teguh ama-nat itu, mereka pun keluar sidang.

Seluruh anggota Fraksi PPP segera berdiri. Dipimpin langsung oleh KH Bisri Syansuri, mereka beriringan walk out sebagai tanda tidak setuju terhadap hasil keputusan. Meski sudah berusia 92 tahun, kiai yang menciptakan lambang ka’bah bagi PPP itu malah berjalan paling depan.

Ketegasan lain nampak tatkala DPR membahas RUU tentang perkawinan. Secara kesluruhan RUU itu dinilai banyak bertentangan dengan ketentuan hukum agama Islam. Maka, di mata Kiai Bisri, menghadapi kasus itu, tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya.

Langkah pertama yang Kiai Bisri lakukan adalah dengan mengumpulkan sejumlah ulama di daerah Jombang untuk membuat RUU tandingan yang akan diajukan ke DPR-RI. Setelah RUU tandingan itu selesai dibahas, lalu disampaikan ke PBNU, yang diterima secara aklamasi.

Setelah itu amandemen RUU itu diajukan ke Majelis Syuro PPP dan diterima. DPP PPP memerintahkan Fraksi PPP DPR-RI agar menjadikan RUU tandingan itu sebagai rancangan yang diterima dan harus diperjuangkan. Setelah melalui proses yang panjang dan melelahkan, serta lebih banyak dilakukan di luar gedung DPR-RI, akhirnya RUU itu disahkan setelah ada revisi dan tidak lagi bertentangan dengan hukum Islam.

Pecinta Ilmu Sejati
Kiai Bisri dilahirkan di Desa Tayu, Pati, Jawa Tengah, tanggal 18 September 1886. Ayahnya bernama Syansuri dan ibunya bernama Mariah. Kiai Bisri adalah anak ketiga dari lima bersaudara yang memperoleh pendidikan awal di beberapa pesantren lokal, antara lain pada KH Abdul Salam di Kajen.

Kiai Bisri kemudian berguru kepada KH Kholil di Bangkalan dan KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Jombang.

Kiai Bisri kemudian mendalami pendidikannya di Mekkah dan belajar ke pada sejumlah ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Sa’id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki, Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu’aib Daghistani, dan Kiai Mahfuz Termas. Ketika berada di Mekkah, Kiai Bisri menikahi adik perempuan Kiai Wahab. Di kemudian hari, anak perempuan Kiai Bisri menikah dengan putra KH Hasyim As’ari, KH Wahid Hasyim dan memiliki putra Gus Dur dan KH Solahuddin Wahid (Gus Sholah).

Sepulangnya dari Mekkah, Kiai Bisri menetap di pesantren mertuanya di Tambak Beras, Jombang, selama dua tahun. Kiai Bisri ke-mudian mendirikan Ponpes Mam-baul Maarif di Denanyar, Jombang pada 1917. Saat itu, Kiai Bisri adalah kiai pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya.
Di sisi pergerakan, Kiai Bisri bersama-sama para kiai muda saat itu antara lain Kiai Wahab, KH Mas Mansyur, KH Dahlan Kebondalem dan KH Ridwan, membentuk klub kajian yang diberi nama Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran) dan sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar. Sedangkan keterlibatannya dalam upaya pengembangan organisasi NU antara lain berupa pendirian rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintis-nya di berbagai tempat.

Di masa penjajahan Jepang, Kiai Bisri terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya.

Pada masa kemerdekaan Kiai Bisri pun terlibat dalam lembaga peme-rintahan, antara lain dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), me-wakili unsur Masyumi. Kiai Bisri juga menjadi anggota Dewan Konstitu-ante tahun 1956 hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971. Ketika NU bergabung ke PPP, Kiai Bisri pernah menjadi ketua Majelis Syuro-nya. Kiai Bisri terpilih menjadi ang-gota DPR sampai tahun 1980. Kiai Bisri kemudian wafat dalam usia 94 tahun pada 25 April 1980 atau berte-patan dengan bulan Rajab di Denanyar.

Mundur dari Jabatan Rais Am
Jasa Kiai Bisri dalam membesarkan NU juga tak patut dilupakan. Kiai Bisri turut terlibat terlibat dalam pertemuan pada 31 Januari 1926 di Surabaya saat para ulama menye-pakati berdirinya NU. Pada periode pertama, Kiai Bisri menjadi A’wan Syuriah PBNU dan kemudian pada periode-periode berikutnya Kiai Bisri pernah menjadi Rais Syuriah, Wakil Rais Am dan menjadi Rais Am hingga akhir hayatnya.

Meski dikenal tegas dalam mem-pertahankan prinsip, kesantunan Kiai Bisri juga tak perlu diragukan. Saat berlangsungnya Muktamar NU ke-24 pada tahun 1967 di Bandung, Kiai Bisri menunjukkan sikap tawadlu’ yang perlu kita teladani.

Ketika itu sedang terjadi pemili-han Rais Am yang melibatkan “rivalitas” antara dua kiai sepuh yang sama-sama berwibawa, yaitu Kiai Wahab yang saat itu menjabat Rais Am (incumbent) dengan Kiai Bisri yang menjadi salah satu Rais Syuriah PBNU. Hasil pemilihan ternyata di luar dugaan. Walaupun lebih muda, tiba-tiba Kiai Bisri bisa meraih suara terbanyak. Kiai Wahab pun menerima kekalahan dengan berbesar hati, apalagi yang menga-lahkan sahabat dekatnya sekaligus adik iparnya sendiri.
Demikian halnya Kiai Bisri yang memperoleh kemenangan juga sangat rendah hati. Walaupun telah dipilih oleh muktamirin, tetapi kemudian Kiai Bisri segera memberikan sambutan, selama masih ada Kiai Wahab yang lebih senior dan lebih alim Kiai Bisri tidak bersedKiai Bisri menduduki jabatan itu. “Karena itu saya menyatakan untuk mengundurkan diri dan kembali menyerah-kan jabatan itu kepada Kiai Wahab Chasbullah.”

Menanggapi sikap Kiai Bisri, Kiai Wahab menerima amanah itu. Tidak perlu merasa tersinggung, karena walaupun sudah uzur tetapi merasa masih dibutuhkan untuk memimpin NU dalam menghadapi situasi sulit masa orde baru. Sementara Kiai Bisri dipercaya sebagai Wakil Rais Am. Kemudian ketika Kiai Wahab wafat pada tahun 1971, baru Kiai Bisri menduduki posisi sebagai Rais Am hingga wafat pada tahun 1980. (AULA Juni 2010)

Selasa, 27 Juli 2010

Napak Tilas Lambang NU

Pada Muktamar NU ke-32 di Makasar telah diputuskan bahwa hari lahir NU menggunakan hitungan hijriyah. Dengan demikian, 16 Rajab nanti jam’iyah ini telah menapaki usia 87 tahun.

NU dikenal sebagai ormas yang memiliki nama-nama legendaris seperti simbol  jagat, bintang sembilan, juga dikenal sebagai ormas yang memiliki lambang bumi. Lambang-lambang itu memiliki makna yang terus menemukan relevansi. Simbol tersebut juga mengalami perkembangan sesuai dengan dinamika zaman. Kedalaman makna simbol NU tersebut bisa dilihat dari proses penciptaannya, yang memang mengatasi kondoisi-kondisi manusiawi, sehingga makna yang di-sebarkan juga melampaui zaman.

Alkisah, menjelang Muktamar yang waktu itu lazim disebut Kongres, walaupun dalam dokumen resmi kata Muktamar juga digunakan. Pada perhelatan Muktamar ke 2 bulan Robiul Awal 1346 bertepatan dengan Oktober 1927 di Hotel Muslimin Peneleh Surabaya memiliki cerita tersendiri. Kongres ini rencanakan diselenggarakan lebih meriah ketimbang Muktamar pertama, Oktober 1926 yang persiapannya serba darurat. Kala itu Muktamar dipersiapkan lebih matang tidak hanya bidang materi dan manajemennya tetapi juga perlu disemarakkan dengan kibaran bendera. Dengan gagasan tersebut maka mulai terbesiklah keinginan untuk memiliki bendera serta simbol atau lambang jam’yah yang membedakan dengan organisasi lain.

Pada saat itu Kongres kurang dua bulan diselenggarakan, tetapi NU belum memiliki lambang. Keadaan itu membuat Ketua Panitia Kongres KH Wahab Chasbullah cemas. Maka diadakanlah pembi-caraan empat mata di rumah KH Ridwan Abdullah di jalan Kawatan Surabaya. Semula pembicaraan berkisar pada persiapan konsumsi Kongres, yang kala itu dipimpin oleh KH Ridwan Abdullah sendiri. Kemudian pembicaraan beralih kepada lambang yang perlu dimiliki oleh NU sebagai identitas dan sekaligus sebagai mitos. Selama ini memang Kiai Ridwan dikenal sebagai ulama yang punya bakat melukis. Karenanya Mbah Wahab meminta agar dibuatkan lambang yang bagus untuk jam’iyah agar lebih mudah dikenal. Tentu saja permintaan Mbah Wahab yang mendadak tersebut agak sulit diterima, tetapi akhirnya disepakati juga demi khidmat kepada NU. Maka Kiai Ridwan mulai mencari inspirasi. Beberapa kali sketsa lambang dibuat. Tetapi semuanya dirasakan masih belum mengena di hati. Usaha membuat gambar dasar lambang NU tersebut sudah diulang beberapa kali dengan penuh kesabaran. Saking hati-hati dan ingin mendapatkan gambar terbaik, Kiai Ridwan butuh waktu hingga satu setengah bulan untuk meramungkannya. Padahal Kongres sebentar lagi akan digelar.

Sampai tiba waktunya, Kiai Wahab pun datang menagih pesanan gambar dimaksud. Saat itu Kiai Ridwan menjawab, “Sudah beberapa sketsa lambang NU dibuat, tapi rasanya masih belum sesuai.” Mendengar jawaban itu,  Mbah Wahab mendesak dengan menga-takan “Seminggu sebelum Kongres sebaiknya gambar sudah jadi lho.” Namun melihat ketidakpastian itu Kiai Ridwan hanya menjawab “Insya Allah.”

Dengan kian sempitnya waktu yang ada, akhirnya Kiai Ridwan melakukan shalat istikharah, minta petunjuk kepada kepada Allah serta qiyamullail untuk inspirasi gambar terbaik. Dalam tidurnya, Kiai Ridwan mendapat petunjuk melalui mimpi, yakni melihat sebuah gambar di langit biru. Bentuknya sama dengan lambang NU yang sekarang.
Pada waktu itu, jam dinding telah menunjukkan jam 02 dini hari. Setelah terbangun, Kiai Ridwan langsung mengambil kertas dan pena. Sambil mencoba meng-ingat-ingat sebuah tanda di langit biru, dalam mimpinya, pelan-pelan simbol dalam mimpi tersebut dicoba divisualisasikan. Tak lama kemudian sketsa lambang NU pun jadi dan sangat mirip dengan gambar dalam mimpinya.

Pagi harinya, sketsa kasar tersebut disempurnakan dan diberi tulisan Nahdlatul Ulama dari huruf Arab dan latin. Akhirnya, sehari penuh gambar tersebut dapat diselesaikan dengan sempurna.

Namun kesulitan selanjutnya adalah bagaimana mencari bahan kain untuk menuangkan lambang tersebut sebagai dekorasi dalam medan Kongres. Saat mencari kain di wilayah Surabaya, ternyata tidak menemukan yang cocok seperti pada petunjuk mimpinya semalam. Tidak putus asa, Kiai Ridwan mencari hingga ke Malang. Syukurlah, kain yang dicari ternyata ada kendati hanya tersisa 4 X 6 meter. Bentuk lambang NU itu dibuat memanjang ke bawah, lebar 4 meter dan panjang 6 meter. Inilah bentuk asli lambang NU sekaligus ukurannya kala itu.

Menjelang pembukaan, simbol NU telah dipasang di arena Kongres. Adanya simbol baru itu menam-bah keindahan suasana. Ketika acara dibuka dan peserta yang berjumlah 18 ribu diperkenalkan dengan symbol jam’iyah itu, mayoritas orang berdecak kagum. Simbol tersebut memang mewakili dinamika abad ke 19 karena pada perjalanan berikutnya terjadi dinamika yang demikian menarik sesuai dengan semangat zaman yang bergerak menuju kemajuan serta didorong semangat perjuangan.

Arti Lambang NU
Dalam pandangan Kiai Ridwan, lambang NU terdiri dari bumi dikelilingi tampar yang mengikat, untaian tampar berjumlah 99, lima bintang di atas bumi (yang tengah berukuran paling besar) dan empat bintang di bawah bumi. Terdapat tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf Arab melintang di tengah bumi dan di bawah bumi ada tulisan NU dalam huruf latin.

Makna lambang NU:
1. Bumi (bola dunia): Bumi adalah tempat manusia berasal, menjalani hidup dan akan kembali. Sesuai dengan surat Thaha ayat 55.
2. Tampar yang melingkar dalam posisi mengikat: Tali ukhuwah (persaudaraan) yang kokoh. Hal ini berdasarkan ayat 103 surat Ali Imran.
3. Peta Indonesia: Melambangkan bahwa NU didirikan di Indonesia dan berjuang untuk kejayaan negara Republik Indonesia.
4. Dua simpul ikatan di bagian bawah melambangkan hubungan vertikal kepada Allah (hablum minallah) dan hubungan horizontal dengan sesama manusia (hablum minannas).
5. Untaian tampar berjumlah 99 melambangkan 99 nama terpuji bagi Allah (Asmaul Husna).
6. Empat bintang melintang di atas bumi bermakna Khulafaur Rasyidin yang terdiri dari Abu Bakar as-Shiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, dan Ali bin Abi Thalib kw.
7. Satu bintang besar terletak di tengah melambangkan Rasulullah Saw.
8. Empat bintang di bawah bumi melambangkan empat imam madzhab Ahlussunnah wal Jamaah yang terdiri dari Imam Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafii.
9. Jumlah bintang seluruhnya Sembilan, bermakna Walisongo (Sembilan orang wali) penyebar agama Islam di tanah Jawa.
10. Tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf Arab melintang di tengah adalah nama organisasi Nahdlatul Ulama yang berarti ke-bangkitan ulama.
11. Tulisan warna putih bermakna kesucian.

Sebuah Refleksi
Dengan usianya yang kian senja, sudah waktunya seluruh elemen NU untuk kembali merenungi sejarah panjang pendirian jam’iyah ini. Demikian pula sedapat mungkin mencari relevansi semangat dari dicarikannya lambang yang telah dengan susah payah ditemukan.

Penting diingat dan diperjuangkan bahwa berdirinya NU adalah berlakunya ajaran Islam menurut faham Ahlussunah wal Jamaah dan menganut salah satu dari mazhab empat, di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah NKRI.
Semoga ini akan mengembalikan ghirah dalam berkhidmat kepada organisasi, masyarakat, agama, bangsa dan negara. Ini penting dengan ter-sebarnya Islam yang rahmatan lil’alamin. (AULA Juni 2010)

Membeli Gereja Untuk Dijadikan Masjid

Di Selandia Baru, banyak gereja yang dijual. Sebagian dibeli oleh warga muslim dan dijadikan sebagai masjid. Sebagai minoritas, semangat mereka justru bergelora di tengah kejenuhan mayoritas pemeluk agama. Berikut kisah menariknya.

September 2009, Dr H Asrorun Niam Sholeh, MA berkesempatan melakukan penelitian di Selandia Baru atau New Zealand. Di negara yang berada di arah tenggara Benua Australia itu, Niam—sapaan akrabnya—menjumpai fenomena menarik terkait dengan sikap beragama warga setempat. melihat ada gejala kejenuhan mayoritas yang bersamaan dengan bergairahnya semangat minoritas pemeluk agama.

Niam adalah pria kelahiran Nganjuk 31 Mei 1976 yang kini aktif sebagai Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat dan dosen di Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebelumnya, Niam pernah menjabat sebagai Ketua IPNU Pusat dan saat ini dipercaya sebagai Sekjend Majelis Alumni IPNU Pusat.

Kedatangan alumnus MAPK Jemebr ini ke New Zealand adalah sebagai wakil dari LP POM MUI untuk melakukan penelitian terhadap kualitas ekspor dan impor daging, teruatam terkait dengan jaminan halal proses penyembelihan dan pengepakan daging. New Zealand dipilih karena Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor daging dari negara kepulauan itu. Dalam penelitiannya, ayah dua anak ini menemukan kepastian bahwa danging yang diekspor ke Indonesia adalah daging-daging sapi yang disembelih secara halal.

Konversi Rumah Ibadah

Menemukan masjid di New Zealand tidak sulit. Dan setiap kali Niam mengikuti jamaah, jamaahnya selalu dalam jumlah banyak. Pengalaman yang sangat membekas bagi Niam adalah ketika pada 26 September 2009, Niam singgah di Masjid El Umar di tengah kota Auckland. Secara fisik, bangunannya megah berlantai dua. Dari arsitekturnya, Niam membatin bahwa bangunan ini mirip gereja. Tampak dalam foto di samping, Niam (kanan) berfoto di depan gedung Masjid El-Umar bersama warga New Zealand keturunan Syiria, Mahmud.

Rasa penasaran itu kahirnya terjawab ketika Mahmud menjelaskan bahwa bangunan tersebut memang dulunya adalah gereja yang, entah mengapa, dijual. Akhirnya, gereja itu dibeli oleh muslim India dengan harga 400 ribu dolar. Ia pun akhirnya tinggal di bangunan yang menempel dengan masjid, mirip pondokan pesantren. Ia menjadi semacam kiai masjid tersebut dengan jumlah jamaah yang cukup banyak, didominasi oleh imigran Afrika dan Timur Tengah.

Di masjid itu, Niam berjalan mengelilingi masjid. Ayah dua anak ini melihat terdapat pengumuman yang ditempel di dinding masjid. Isinya ada beberapa warga asli New Zealand yang masuk daftar muallaf. Ada juga pengumuman yang terasa aneh; “Gereja Dijual”, lengkap dengan foto gereja dan denah lokasi. Di bawahnya ada himbauan partisipasi donasi untuk “membebaskan” gereja yang kemudian akan dijadikan masjid. Dan hebatnya, bangunan tersebut sudah di-”DP”. Karena begitu optimisnya gereja itu pasti “terbeli”, panitia bahkan memberikan pengumuman bahwa peresmian masjid tersebut akan dilakukan pada hari Jumat, 25 Desember 2009, untuk shalat Jumat perdana, tepat di Hari Natal.

Menurut Mahmud, fenomena keberagamaan dan fenomena konversi gereja ke masjid (tentu juga konversi orang kristiani ke Islam) di New Zealand belakangan ini memang meningkat. Pengusaha ekspor-impor yang sejak remaja tinggal di New Zealand itu menjelaskan pemberitaan media massa yang sistematis tentang terorisme yang terkaitkan dengan Islam mungkin justru menjadi berkah tersendiri dalam publikasi Islam dan ajarannya. Berita yang mendeskreditkan umat Islam, bagi umat Islam di New Zealand (dan mungkin di belahan negara yang lain) justru semakin memperkokoh solidaritas sosial sesama umat Islam (ukhuwwah Islamiyyah). Di sisi lain, pemberitaan tersebut memiliki daya tarik bagi kaum terpelajar non-muslim untuk mengetahui lebih banyak tentang Islam. Di sinilah berkah pemberitaan tentang terorisme yan dikaitkan dengan Islam menemu-kan relevansinya.

Selain itu, masih menurut pimpinan lembaga filantropi Islam al-Kautsar itu, warga New Zealand yang mayoritas kristiani sudah tidak begitu tertarik dengan ritus keagamaan mereka. Mungkin jika diistilahkan dalam bahasa yang ada di masyarakat Indonesia, mayoritas dari mereka adalah Kristen KTP. Gereja sepi peminat dan bahkan banyak yang gulung tikar sehingga harus dijual.

Menyaksikan fenomena itu, batin Niam bergumam; seakan sudah menjadi sunnatullah bahwa minoritas cenderung memiliki fighting spirit untuk eksis dan berkembang. Sementara mayoritas yang merasa sudah “mapan” cenderung “jenuh” untuk istiqamah merawat akar tradisinya mencoba “tantangan” baru.

Dalam konteks yang agak berbeda, fenomena keberagamaan di Indonesia juga menemukan fakta yang relatif tidak jauh berbeda. Kaum minoritas (terutama kristiani) cenderung memiliki daya juang yang lebih di banding dengan kaum mayoritas umat Islam yang merasa sudah mapan. Setidaknya, fakta ini dirasakan Niam di kompleks perumahannya di kawasan Depok. Bahkan, sebagian di antaranya justru jenuh merawat akar tradisi keagamaannya dan kemudian mencari sesuatu yang “baru”, meski ia berada di luar pakemnya.

Contoh lain juga sering disampaikan oleh Mantan Ketua Umum PBNU KH A Hasyim Muzadi tentang fenomena sikap beragama anak-anak muda. Anak-anak mdua yang kuliah di kampus umum cenderung ofensif untuk melakukan dakwah Islam padahal mereka bukan lulusan lembaga pendidikan Islam. Sedangkan anak-anak muda yang kuliah di kampus berbasis agama dan alumni pesantren justru cenderung jenuh dengan tradisinya dan bangga jika menemukan sesuatu yang baru.

Tapi alhamdulillah, meski ada kejenuhan keberagamaan yang ada di komunitas mayoritas muslim Indonesia, belum pernah terdengar ada berita menjual “masjid” untuk “gereja”. Paling banter, yang ada adalah menjual “kuburan” untuk mal. Semoga tidak akan ada berita seperti di New Zealand di negeri kita. (AULA Juni 2010)

Sabtu, 15 Mei 2010

Aktualita: Mbah Priok pun Akhirnya Murka


Hanya dengan alasan pembangunan, banyak pihak yang mengabaikan situs bersejarah. Kesadaran sering datang terlambat, apalagi ketika nyawa menjadi taruhan. Diperlukan kearifan semua pihak.

Siapa tak kenal Tanjung Priok? Sebuah wilayah di utara Jakarta tersebut memang pernah mendulang masa keemasan. Sebab, salah satu pelabuhan internasional Indonesia terdapat di wilayah ini.

Hilir mudik kendaraan berat dan aktivitas bongkar muat selalu menjadi daya tarik tersendiri di wilayah ini. Tapi siapa sangka di tengah kerasnya kehidupan masyarakat pesisir, nama Tanjung Priok ternyata diambil dari nama seorang tokoh ulama yang melakukan siar agama Islam sejak ratusan tahun silam?

Ya, dialah Al Imam al-Arif Billah Sayyidina al-Habib Hasan bin Muhammad al-Haddad al-Husaini Ass Syafi‘i Sunni RA atau akrab disapa mbah Priok. Makam mbah Priok terdapat di dalam areal pelabuhan Petikemas Koja, Tanjungpriok.

Makam keramat ini selalu diziarahi para ulama dan santri. Utamanya pada Kamis malam Jumat atau walimatul haul maqam dan pada Ahad akhir di setiap bulan Shafar. Para peziarah tidak hanya berasal dari DKI Jakarta, melain-kan juga berasal dari ulama dan santri di seluruh pulau Jawa.

Meski cukup disegani dan dihormati, namun upaya pelestarian makam keramat tersebut memang tidak mudah. Pihak ahli waris sering mendapat ancaman dan teror dari oknum tak bertanggung jawab yang berusaha menggusur keberadaan makam mbah Priok.

Pada tahun 2004 misalnya, pihak pengelola pelabuhan pernah akan melakukan pembokaran paksa dengan menggunakan buldozer. Tapi upaya ini juga dapat digagalkan karena kebesaran Allah. Buldozer tersebut macet dan terperosok dan para pekerja juga tertimpa musibah. “Bagi mereka yang berniat menggunakan lahan makam keramat untuk bisnis hendaknya berhati-hati dalam bertindak,” kata Habib Ali.

Pendakwah Sejati

Bagi warga masyarakat, Mbah Priok atau Habib Hasan bin Muhammad al Haddad bukan tokoh biasa. Dia adalah penyebar agama Islam dan seorang tokoh yang melegenda. Namanya bahkan jadi cikal bakal nama kawasan Tanjung Priok. Mbah Priok bukan orang asli Jakarta.
Dia dilahirkan di Ulu, Palembang, Sumatera Selatan tahun 1722 dengan nama al-Imam al- Arif Billah Sayyidina al-Habib Hasan bin Muhammad al-Haddad R.A. Al Imam al-Arif Billah belajar agama dari ayah dan kakeknya, sebelum akhirnya pergi ke Hadramaut, Yaman Selatan, untuk memperdalam ilmu agama.

Menjadi penyebar syiar Islam adalah pilihan hidupnya. Pada 1756, dalam usia 29 tahun, dia pergi ke Pulau Jawa. Al Imam al-Arif Billah tak sendirian, dia pergi bersama al-Arif Billah al-Habib Ali al-Haddad dan tiga orang lainnya menggunakan perahu. Konon, dalam perjalanannya, rombongan dikejar-kejar tentara Belanda.

Dalam perjalanan yang makan waktu dua bulan, perahu yang mereka tumpangi dihantam ombak. Semua perbekalan tercebur, tinggal beberapa liter beras yang tercecer dan periuk untuk menanak nasi. Suatu saat rombongan ini kehabisan kayu bakar, bahkan dayung pun habis dibakar. Saat itu, Habib Hasan memasukan periuk berisi beras ke jubahnya.
Dengan doa, beras dalam periuk berubah menjadi nasi. Cobaan belum berakhir, beberapa hari kemudian datang ombak besar disertai hujan dan guntur. Perahu tak bisa dikendalikan dan terbalik. Tiga orang tewas, sedangkan Habib Hasan dan al-Arif Billah al-Habib harus susah payah mencapai perahu hingga perahu yang saat itu dalam posisi terbalik.

Dalam kondisi terjepit dan tubuh lemah, keduanya shalat berjamaah dan berdoa. Kondisi dingin dan kritis ini berlangsung hingga 10 hari, sehingga Habib Hasan wafat. Sedangkan al-Arif Billah al-Habib dalam kondisi lemah duduk di atas perahu disertai periuk dan sebuah dayung terdorong ombak dan diiringi lumba-lumba menuju pantai.

Kejadian itu disaksikan beberapa orang yang langsung memberi bantuan. Jenazah al-Imam Al Arif Billah dimakamkan. Dayung yang yang sudah pendek ditancapkan sebagai nisan. Di bagian kaki ditancapkan kayu sebesar lengan anak kecil yang akhirnya tumbuh menjadi pohon tanjung.

Sementara periuk nasi yang bisa menanak beras secara ajaib ditaruh di sisi makam. Konon, periuk tersebut lama-lama bergeser dan akhirnya sampai ke laut. Banyak orang mengaku jadi saksi, 3 atau 4 tahun sekali periuk itu timbul di laut dengan ukuran sebesar rumah.

Berdasarkan kejadian itu, daerah tersebut akhirnya dinamakan dengan Tanjung Priuk, ada juga yang menyebut Pondok Dayung, yang artinya dayung pendek. Nama al-Imam al-Arif Billah pun dikenal jadi ‘Mbah Priok’.

Kekeramatan dari makam Mbah Priok tidak diragukan lagi. Buktinya, banyak pengunjung yang berziarah dari berbagai daerah ke makam Mbah Priok ini. Dari orang awam hingga pejabat datang ke makam datang guna mendapat karamah dari ulama legendaris ini. Menurut Umar, salah satu pengurus makam Mbah Priok, peziarah bukan hanya warga umumnya, namun pejabat juga kerap datang ke makam tersebut.

Sebut saja dua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan almarhum mantan Prediden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan keluarga Cendana pernah menziarahinya. “SBY, Fauzi Bowo dan Gus Dur juga pernah ke sini,” ungkap Umar kepada beberapa wartawan.

Menurut dia, Majelis Dzikir SBY ‘Nurussalam’ juga banyak memberikan dukungan terhadap keberadaan makam Mbah Priok. Terbukti hal itu dari spanduk majelis pengajian dari Cikeas ini yang banyak terpasang di sekitar makam.

Pihak Istana, sambung dia, setiap malam jumat meminta pengurus makam untuk tashrifan dan maulid, namun belum dipenuhi. “Permintaannya belum dipenuhi karena Habib tidak mau meninggalkan makam,” ujar Umar.

Memang keberadaan makam keramat ini selain banyak menyimpan cerita mistis, juga punya daya tarik bagi para peziarah. Konon, US Coast Guard mengeluarkan peri-ngatan bagi 10 pelabuhan di Indonesia yang tidak aman, salah satunya Terminal Peti Kemas (TPK) Koja, Jakarta Utara.

Terlepas apa ini benar atau tidak, pemerintah Amerika Serikat tidak berani melakukan bongkar muat di TPK Koja karena alasan tidak aman bagi lalu lintas bongkar muat internasional, karena di dalamnya terdapat makam keramat Mbah Priok. Keberadaan para pe-ziarah mau tidak mau harus masuk area TPK Koja bila hendak ke makam, sehingga menjadikannya tidak steril.

Tragedi yang Memilukan

Darah akhirnya tertumpah di muka makam keramat Mbah Priok di Koja, Jakarta Utara, Rabu (14/4). Kerusuhan antara aparat dan warga diwarnai berbagai aksi kekerasan. Ada yang tewas tergeletak, semen-tara korban-korban lain berjatuhan karena sabetan kelewang, diinjak-injak, dan jadi sasaran pukulan -demi sebuah tanah makam-.

Bagi warga masyarakat, Mbah Priok atau Habib Hasan bin Muhammad al Haddad bukan tokoh biasa. Dia adalah penyebar agama Islam dan seorang tokoh yang me-legenda. Namanya bahkan jadi cikal bakal nama kawasan Tanjung Priok.

Dikisahkan, rencana pembongkaran makam Mbah Priok bukan kali ini saja.
Konon, ketika Belanda berkuasa, pemerintah kolonial ingin membongkar makam ini tiba-tiba terdengar ledakan keras dan sinar dari dalam makam, sehingga urung dibongkar.

Pada era Orde Baru, pembongkaran juga direncanakan. Namun yang terjadi, buldozer untuk membongkar makam yang dikeramatkan itu meledak. Korban jiwa pun jatuh. Rencana pembongkaran terakhir sebenarnya direncanakan sejak 2004 lalu. Namun, baru pada hari kejadian itu terealisasi.

Ratusan Satpol PP dibantu kepolisian mengeksekusi lahan — yang menurut instruksi Gubernur DKI nomor 132/2009 tentang penertiban bangunan — berdiri di atas lahan milik PT Pelindo II, sesuai dengan hak pengelolaan lahan (HPL) Nomor 01/Koja dengan luas 1.452.270 meter persegi.

Pemerintah DKI berdalih tidak akan membongkar makam. Kepala Bidang Informasi dan Publikasi Pemprov DKI Cucu Ahmad Kurnia mengatakan makam itu akan dijadikan monumen dan cagar budaya. Bukan digusur. Apalagi, kata Cucu, jasad Mbah Priok sudah tidak ada di sana. Jasad itu sudah dipindah-kan ke TPU Semper.

Menurut surat Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta pada 10 Februari 2009, jasad Mbah Priok dipindahkan pada 21 Agustus 1997. Sebagian lagi jasad-nya dibawa ahli waris ke luar kota.

Karenanya, masyarakat Jakarta Utara menganggap makam Mbah Priok sebagai makam keramat. Masyarakat Muslim di Jakarta Utara sangat menghormati makam itu dan setiap setahun sekali diadakan acara haul yang dihadiri tidak kurang dari sepuluh ribu orang.
Bentrok fisik yang terjadi Rabu (14/4) antara 400-an yang menyebabkan tiga petugas Satpol PP meninggal dunia dan seratusan lainnya mengalami luka berat dan ringan.
Inilah ‘harga’ yang harus dibayar bila pembangunan menafikan ke-arifan lokal. Masihkan keadaan serupa akan diteruskan?(AULA No. 05/XXXII Mei 2010)

Resensi: Mensyarahi Pemikiran Mbah Hasyim

Judul Buku: Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari; Moderasi, Keumatan dan Kebangsaan
Penulis: Zuhairi Misrawi
Pengantar: KH Salahuddin Wahid, DR H Nadirsyah Hosen
Penerbit: Kompas, Jakarta
Cetakan: I, Januari 2010
Tebal: xxxix + 374 halaman
Peresensi: Siti Maslahah, S.Ag *)


Kepemimpinan duet KH Sahal Mahfudh dan Said Aqiel Siradj yang terpilih pada perhelatan Muktamar di Makasar sepertinya akan menghadapi tantangan dari berbagai pihak. Yang mengemuka adalah keberatan yang disampaikan PWNU Jawa Timur terhadap komposisi kepengurusan harian PBNU masa khidmat 2010-2015. Hal ini dipicu oleh diakomodirnya beberapa nama yang sebelumnya tidak pernah muncul pada rapat formatur. Demikian pula ada beberapa nama yang posisinya berubah serta keluar dari kesepakan rapat.

Beberapa pihak telah mengingatkan agar dalam hal menentukan komposisi pengurus lebih memperhatikan aturan main organisasi. Jangan sampai hanya lantaran ingin menampung beberapa kader potensial, lantas mengesampingkan hasil kesepakatan Muktamar.
Semua pihak pastinya berkeinginan agar organisasi kebangkitan ulama ini dapat keluar dari kemelut. Sehingga potensi besar jam’iyah dapat tereksplorasi dengan optimal, bukan semata untuk kemajuan organisasi tapi juga dalam mengisi dan mengawal perjalanan bangsa ke arah yang lebih baik.

Kalau semuanya berangkat dari komitmen ini, rasanya mempersatukan potensi itu adalah pekerjaan yang tidak terlampau sulit. Namun celakanya, mempersatukan para ulama, apalagi di masa sekarang bukanlah hal yang mudah. Tetapi para ulama NU, khususnya hadratus-syaikh berhasil melakukan hal tersebut. Mengapa dulu mbah Hasyim bisa melakukan itu? Karena yang menjadi lokomotifnya adalah ideologi.

Boleh dikata, ideologi yang menjadi media mempersatukan warga dan ghirah dalam memajukan organisasi kebangkitan para ulama ini mulai luntur seiring dengan kemunculan kepentingan sesaat sebagian elit dan warganya. Sebagai contoh, pada aroma pilkada dalam perhelatan Muktamar demikian terasa. Pasalnya, di setiap sudut pintu masuk dijejali oleh spanduk yang berisi foto orang-orang yang akan bertarung dalam kepemimpinan NU untuk lima tahun yang akan datang.

Sebagai kader NU, kita patut menyampaikan keprihatinan yang amat mendalam terhadap fenomena tersebut. Sebab konsekuensinya bisa fatal, yaitu kepemimpinan NU tak ubahnya kepemimpinan partai politik, yang kerapkali mengandalkan modal finansial yang tidak kecil jumlahnya. Lalu, di manakah moralitas yang dijunjung tinggi oleh para ulama dan kiai selama ini?

Sebab sejak berdiri tahun 1926, NU dikenal sebagai organisasi para ulama yang dikenal dengan kepemimpinan moralnya. Mereka dicintai oleh umat bukan karena hartanya, tetapi karena kesalehan dan ketinggian ilmunya. Bahkan mereka cenderung untuk menampilkan diri sebagai pemimpin, karena menjadi pemimpin tidaklah mudah. Harus mempunyai kapasitas intelektual dan kapabilitas moral. Oleh sebab itu, pemimpin NU di masa lalu merupakan penghargaan dan penghormatan atas keistimewaan seorang tokoh.

Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari terpilih sebagai Rais Akbar NU di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926, bukan karena beliau mau memimpin NU. Beliau terpilih melainkan karena kesepakatan para ulama yang memandang hadratus-syaikh sebagai mahaguru dan mahakiai. Kedalaman ilmunya sudah diragukan lagi, di samping kesalehan beliau yang telah memberikan inspirasi bagi warga NU.

Ada satu hal yang menonjol lagi dari Hadratussyaikh, yaitu kemampuannya dalam mengkonsolidasikan ulama. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mampu mempersatukan, bukan justru memecahbelah. Tentu saja, yang dimaksud dengan mempersatukan bukan karena iming-iming harta dan kuasa, tetapi lebih pada kesamaan visi.

Pentingnya persaudaraan dan persatuan ditegaskan oleh hadratussyaikh dalam Qanun Asasi NU, “Perkumpulan, solidaritas, persatuan dan persaudaraan merupakan hal yang sudah diketahui manfaatnya oleh setiap orang”. Beliau menambahkan, “Kerja sama dan tolong menolong merupakan sendi yang dapat menjadi acuan dalam mengatur tatanan sosial. Tanpa hal tersebut, maka keinginan, harapan, dan cita-cita akan lumpuh karena tidak akan mampu memecahkan tantangan. Sebab itu, barangsiapa bergotong-royong dalam urusan dunia dan akhirat, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan yang paripurna. Hidupnya akan terasa indah, tenang, nyaman, dan tenteram.”

Fondasi yang dibangun hadratus-syaikh telah menjadikan NU sebagai organisasi yang mempersatukan ulama dengan tujuan untuk menegakkan panji-panji keislaman rahmatan lim ‘alamin. NU harus menjadi teladan tidak hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi warga Indonesia secara keseluruhan, yang diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi persatuan nasional.

Hadratussyaikh dengan cerdas menulis sebuah buku khususnya, yang dikodifikasi sebagai ideologi NU, yaitu Risalah Ahlussunnah wal Jamaah: fi Hadits al-Mawta wa Asyrathis-Sa’ah wa Bayani Mafhum al-Sunnah wa al -Bid’ah (Paradigma Ahlussunnah wal Jamaah: Pembahasan tentang orang-orang mati, tanda-tanda zaman, serta penjelasan tentang Sunnah dan Bid’ah).

Di dalam kitab ini, rumusan ideologi dikukuhkan dengan sangat baik oleh kakek Gus Dur ini. Dalam bidang teologi, NU menganut paham Asy’ariyah yang dikenal dengan teologi usaha (al-kasbu). Dalam konsep ini disebutkan, bahwa setiap manusia harus melakukan ikhtiar dalam kehidupan nyata sembari memohon pertolongan kepada Tuhan.

Teologi ini kemudian dengan “teologi moderasi”, karena dapat menyelamatkan manusia dalam fatalisme dan kebebasan tak terkendali. Dalam fatalisme, seseorang bisa terjebak pada fanatisme dan ekstremisme, sedangkan pada kebebasan absolut bisa menjerumuskan seseorang pada sikap permisif. Teologi Asy’ariyah telah melahirkan sebuah sikap yang menjadikan umat Islam berada dalam keseimbangan dan ketenangan hidup.

Dalam hukum Islam (baca: fikih), hadratussyaikh memandang hendaknya warga NU merujuk kepada 4 imam mazhad fikih, yaitu Imam Syafii, Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal. Secara khusus, hadratussyaikh menekankan pada Imam Syafii.

Kenapa harus merujuk kepada empat Imam mazhab fikih tersebut? Hal ini tidak lain, karena keempat imam tersebut mempunyai keahlian atau kepakaran dalam bidang hukum Islam, yang mana pandangan-pandangannya merujuk kepada al-Quran dan Sunnah. Dalam hal ini, paradigma NU dalam hukum sebenarnya juga kembali kepada al-Quran dan Sunnah, tetapi harus melalui para imam tersebut. Sebab tidak banyak orang muslim yang mempunyai keahlian sebagai para ulama hukum Islam tadi.

Salah satu keistimewaan paradigma ini, bahwa seorang Muslim dalam memecahkan masalah tidak akan terjebak dalam paradigma hitam-putih, kaku dan rigid. Bahkan, paradigma hukum Islam ala NU jauh lebih akademik dan argumentatif jika dibandingkan dengan kalangan Wahabi dan kelompok puritan lainnya.

Sedangkan dalam spiritualitas, hadratussyaikh memadang agar warga NU merujuk kepada Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Salah satu ciri yang menonjol dalam paradigma ini yaitu perpaduan antara dimensi spiritualitas dan formalitas. Formalisasi agama dalam ruang publik tanpa spiritualitas akan melahirkan kehampaan dan kekosongan.
Ideologi NU sebagaimana dijelaskan tersebut saat ini harus diakui semakin langka dan tidak terdengar lagi dalam tubuh NU. Dimensi yang menonjol adalah paradigma hukum, sedangkan dalam teologi dan spiritualitas kurang terdengar. Apalagi dalam forum keagamaan NU, sebagaimana biasanya dilaksanakan dalam perhelatan Munas dan Muktamar hanya mengakomodasi bahtsul masail. Sedangkan dalam bidang teologi dan spiritualitas belum diakomodasi dalam perhelatan Muktamar.

Oleh karena itu, NU dalam lima tahun ke depan harus menjadikan ideologi sebagai basis perjuangan-nya. Apalagi ditengah godaan politik yang begitu dahsyat. NU tidak mampu berkata “tidak”, karena bukan semata-mata tidak mampu, tetapi NU hakikatnya sedang mengalami krisis ideologi yang sangat akut. Yaitu hilangnya spiritualitas dalam ranah politik. Kecintaan kepada dunia diutamakan, sedangkan spiritualitas ukhrawi ditinggalkan.

Di penutup tulisan ini, ada baiknya NU kembali kepada jejak-jejak kehidupan dan pemikiran hadratus-syaikh Hasyim Asy’ari. Dan setiap kali Muktamar digelar, sayangnya pemikiran hadratus-syaikh tidak terdengar. Karenanya sangat mendesak untuk melakukan revitalisasi terhadap gagasan hadratus syaikh.
*) Peresensi adalah Pegiat Pendidikan dan Fungsionaris PC Fatayat NU Jombang Jatim.

Kamis, 29 April 2010

Ummurrisalah: Selamat Berkhidmat Pengurus Baru


Tuntas sudah perhelatan Muktamar NU di Makassar, Sulawesi Selatan. Malam itu, Wakil Gubernur Sulsel, Ir H Arifin Nukmang, menutup hajatan terbesar Jam’iyah Nahdlatul Ulama tersebut. Gema lagu kebangsaan, alunan ayat suci Al-Quran dan merdunya bacaan Shalawat Badar yang diiringi gemericik air hujan di luar ruangan, membuat suasana semakin mengharukan.

Tidak sia-sia Muktamar NU ditunda hingga dua kali. Hajatan yang semula direncanakan pada bulan Desember tahun lalu itu sempat direncanakan digelar pada bulan Januari, namun akhirnya terlaksana pada bulan Maret lalu. Faktor utama penundaan adalah karena cuaca. Kesempatan itu benar-benar dimanfaatkan panitia untuk memantapkan persiapan.
Ternyata benar. Muk-amar yang berlangsung tanggal 22-27 Maret itu akhirnya berlangsung sukses dan meriah.

Sejak tiba di Bandar Udara Sultan Hasanuddin Makassar nuansa muktamar telah begitu terasa. Spanduk-spanduk ucapan se-lamat datang telah menyambut muktamirin. Sepanjang perjalanan dari bandara hingga arena muktamar di Asrama Haji Sudiang, dipenuhi spanduk dan baliho bernuansa muktamar. Bahkan cenderung berlebihan, karena tidak sedikit dari spanduk itu yang berisi kampanye calon Ketua Umum PBNU. Lengkap dengan foto dan tulisan kampanye. Bahkan beberapa di antaranya dengan “menjual” kiai sepuh. “Kok jadi kayak kam-panye Pilkada begini ya?” tutur salah seorang muktamirin yang mengaku dari Magelang.

Beberapa spanduk lainnya bertuliskan posko tim sukses calon tertentu. Terang-terangan. Karena nuansa model Pilkada yang terlalu kental itulah sampai panitia muktamar meminta agar spanduk dan baliho-baliho itu dibersihkan dari arena muktamar. Namun sayang, tidak semua tim sukses mematuhi permintaan itu. Rupanya sinyalemen KH A Hasyim Muzadi sejak jauh hari sebelum muktamar berlangsung, bahwa banyak pengurus PBNU lebih sibuk mengkampanyekan diri sendiri daripada mengurus persiapan muktamar, ternyata memang benar. Masing-masing sibuk memikirkan dirinya sendiri dalam pencalonan itu.

Meriah Tapi Gerah

Sesuai rencana, Muktamar ke-32 NU dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di gedung Celebes Convention Center (CCC, biasa dibaca Tripel C). Hadir dalam kesempatan itu beberapa Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II. Di antaranya Mensesneg Sudi Silalahi, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menko Polhukam Joko Suyanto, Menteri Agama Surya Darma Ali, Mendagri Gamawan Fauzi, Menlu Manty Natalegawa, Mendiknas Mohammad Nuh, Menakertrans Muhaimin Iskandar, Menkop UKM Syarif Hasan, Menteri PDT Helmy Faisal Zaini, Menpora Andi Mallarangeng, Menteri Perikanan dan Kelautan Fadel Muhammad, dlsb.
Beberapa pejabat tinggi negara juga hadir. Di antaranya Ketua DPR RI Marzuki Ali, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfudz MD, beberapa duta besar negara sahabat, para mufti dari 12 negara, beberapa gubernur dan wakil gubernur, bupati serta wakil bupati, walikota serta wakil walikota dari berbagai daerah, serta para anggota DPR RI maupun DPRD turut memenuhi kursi undangan kehormatan. Beberapa pimpinan ormas maupun orpol juga hadir.
Di tengah kemeriahan acara pembukaan itu ternyata masih menyisakan banyak keluhan. Para undangan VVIP banyak mengeluarkan keringat karena kepanasan. Rupanya penyejuk udara yang dipasang belum sepadan dengan kapasitas ruangan. Perasaan tidak nyaman tampak terlihat ketika mereka terus berkipaskipas di tengah acara berlangsung.

Persoalan lain, banyak peserta dan tamu undangan yang membawa undangan VVIP tidak dapat masuk. Sementara di luar ruangan tidak disediakan tv monitor dan pengeras suara. Praktis mereka hanya bisa terbengong-bengong sambil terus berdesakan. Mereka bertanya-tanya tentang keseriusan panitia yang mengundang mereka. Sudah datang jauh-jauh, teryata tidak mendapat-kan sambutan yang semestinya. “Saudara Tua NU ini memang luar biasa,” kata Ir H Chriswanto Santoso, MSc, Wakil Ketua DPP LDII yang juga tidak dapat masuk ruang pembukaan meski membawa kartu undangan VVIP.

Tidak hanya Pak Kris –sapaan akrabnya—yang menerima nasib seperti itu. Banyak kiai sepuh juga mengalami nasib yang sama. Termasuk beberapa mantan menteri dan anggota DPR RI yang datang dari beberapa daerah. Mereka mengeluhkan ketatnya pengamanan yang dinilai berlebihan. “Banyak orang mengeluhkan pengamanan presiden yang berle-bihan,” kata KH Muhyiddin Abdusshomad, Rais Syuriah PCNU Jember.

Cuaca Mendukung

Prediksi panitia daerah yang disampaikan jauh sebelum muktamar digelar, bahwa pada bulan Maret cuaca kota Makassar sudah terang, tidak salah. Terbukti, selama berlangsung muktamar tidak pernah turun hujan, sehingga seluruh acara dapat berlangsung sukses. Meski tidak hujan, namun bukan berarti tidak ada “penderitaan” lain bagi muktamirin. Tantangan justru muncul dari sisi sebaliknya. Cuaca panas terik! Yah, cuaca kota Makassar memang jauh lebih panas dari pada di Jakarta maupun Surabaya. Apalagi bagi mereka yang menyewa rumah penduduk sebagai tempat tinggal karena membawa rombongan besar. Penderitaan mereka semakin bertambah karena kebanyakan rumah itu beratap seng dan tuan rumah tidak menyediakan kipas angin. Sudah begitu air sangat dibatasi, padahal di kampung halaman mereka biasa mempergunakan air sepuasnya. “Waduh, benar-benar tantangan,” kata Sujani, salah seorang wartawan Aula yang turut menikmati penderitaan itu.

Namun anehnya, meski selama proses pembukaan hingga beberapa kali persidangan cuaca selalu panas, pada saat menjelang pemilihan Rais Am dan Ketua Umum berlangsung ternyata cuaca tiba-tiba berubah. Sejak pagi hingga siang terus mendung. Bahkan ketika malam tiba hujan rintik-rintik terus turun mengiringi, seakan turut mendinginkan hati muktamirin yang kala itu semakin memanas terkait pencalonan. Banyak orang mengaku heran sekaligus bersyukur dengan perubahan cuaca yang tiba-tiba itu.

Penutupan Dipercepat

Bayang-bayang ketidakpastian terus mengiringi Muktamar NU di Makassar sejak awal. Selain telah dilakukan penundaan dua kali, ketidakpastian juga masih terjadi soal waktu pembukaan. Semula presiden direncanakan membuka acara itu pada tanggal 22 Maret, namun yang terjadi malah tanggal 23 Maret, gara menunggu kepastian kedatangan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama.

Ketidakpastian juga terjadi dalam pemilihan Rais Am dan Ketua Umum. Acara penting yang semula dijadwalkan hari Jum’at malam itu akhirnya harus ditunda hingga Sabtu pagi. Demikian pula dengan penutupan, yang dijadwalkan Ahad pagi oleh Wapres Budiono akirnya dipercepat pada Sabtu malam oleh Wakil Gubernur Sulsel Ir H Arifin Nukmang.

Meski penutupan dipercepat, namun prosesi penutupan tetap berjalan khidmat. Dr KH MA Sahal Mahfudh dan Dr KH Said Aqiel Sirodj, MA, Rais Am dan Ketua Umum PBNU terpilih, tampak khidmat mengikuti prosesi penutupan itu. Begitu pula Drs H Slamet Effendy Yusuf, MSi —kandidat yang bersaing ketat dan sehat dengan Kang Said hingga tahap akhir —, berikut beberapa jajaran anggota pengurus PBNU yang lain, turut melakukan hal yang sama. Mereka berdiri di panggung kehormatan untuk mengikuti prosesi penutupan tersebut. Acara penutupan memang tidak seramai pembukaan. Wajar, dan bukan pemandangan baru lagi di dalam jam’iyah NU.

Bila pejabat yang membuka muktamar adalah seorang presiden, yang menutup “hanyalah” wakil gubernur, yang juga salah seorang Mustasyar PWNU Sulsel. Juga banyak muktamirin yang telah pulang lebih dahulu sebelum acara penutupan berlangsung. Persoalannya adalah tiket pesawat yang mengharuskan mereka segera meninggalkan Makassar pada hari itu.

Namun prosesi penutupan tetap berlangsung khidmat. Dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan, disusul pembacaan ayat suci Al-Quran dan dilanjutkan Shalawat Badar secara bersama-sama. Setelah sambutan-sambutan, prosesi ditutup dengan do’a dari para kiai. Seluruh rangkaian muktamar pun dinyatakan telah selesai. Selamat dan sukses untuk Nah-dlatul Ulama. (AULA No. 04/XXXII April 2010)

Ummurrisalah: Imam Baru NU = Mbah Sahal dan Kang Said


Nahdlatul Ulama memiliki pemimpin baru. Rais Am tetap dipercayakan kepada Dr KH MA Sahal Mahfudh yang kini memasuki masa bakti ketiga kalinya, sedangkan Ketua Umum dipercayakan kepada Dr KH Said Aqiel Sirodj, MA, cendekiawan muslim asal Cirebon.

Meski dalam sejarah per-jalanan NU muktamar baru pertama kali ini diselenggarakan di Makassar, namun pelaksanaan muktamar tersebut dapat berlangsung sukses dan meriah.Bahkan lebih meriah dibanding muktamar sebelumnya di Asrama Haji Donohudan, Solo tahun 2004. Tidak sia-sia panitia menunda acara tersebut hingga dua kali.

Tanda-tanda sukses sebenarnya sudah diawali oleh laporan pertang-gungjawaban PBNU periode 2004-2009 yang langsung diterima secara bulat oleh muktamirin. Sidang yang dipimpin oleh Prof Dr H Nasaruddin Umar dan LPj dibacakan oleh Dr KH A Hasyim Muzadi tidak mendapatkan ham-batan sedikit pun. Begitu ditawarkan Nasaruddin, “Apakah laporan pertanggungjawaban dapat diterima?” para peserta langsung menjawab, “Diterima!” secara serentak. Palu sidang pun langsung digedokkan di meja tanda mufakat telah dicapai.

Dalam sesi pemilihan Rais Am, nama Kiai Sahal dan Kiai Hasyim memang telah mengemuka sejak lama. Keduanya adalah Rais Am dan Ketua Umum PBNU periode sebelumnya. Ternyata kemunculan dua nama itu terus bertahan hingga akhir. Dalam pemilihan pertama itu terdapat 492 suara sah. Dari jumlah itu Kiai Sahal mendapatkan 272 suara, Kiai Hasyim 180 suara, KH Maemun Zubair 29 suara, dan Habib Luthfi 4 suara. Sisanya masuk pada KH Ma’ruf Amin, KH Abdullah Mokhtar, KH Musthofa Bisri, KH Said Aqiel Sirodj dan KH Shalahuddin.

Sesuai dengan ketentuan pemilihan yang mensyaratkan calon harus mendapatkan dukungan minimal 99 suara, maka hanya Kiai Sahal dan Kiai Hasyim-lah yang berhak diajukan kembali untuk dipilih oleh muktamirin. Namun sebelum pemilihan dilanjutkan, melalui secarik kertas Kiai Hasyim menyatakan tidak bersedia dipilih sebagai Rais Am.

Suasana haru langsung memenuhi ruangan sidang. Para muktamirin mengumandangkan Sholawat Badar menyambut keputusan bijaksana tersebut, sambil mendatangi Kiai Hasyim. Ada yang memeluk sambil menciumnya, tetap dalam suasana haru. Bahkan ketika Kiai Hasyim berjalan meninggalkan ruang sidang, beberapa di antara mereka meneriakkan dukungan, “Hidup Pak Hasyim!” dengan nada tinggi.

Setelah Kiai Hasyim menyatakan tidak bersedia menjadi Rais Am, Kiai Sahal dipilih secara aklamasi. Suasana haru kembali menghinggapi wajah para muktamirin ketika palu sidang diketuk dan diikuti bacaan surat Al-Fatihah. Dramatis sekaligus memilukan. “Banyak orang menitikkan air mata karena haru,” kata Ustadz Sholeh Qosim, MSi, utusan JQH Pusat yang turut menyaksikan peristiwa itu.

Sedangkan dalam pemilihan Ketua Umum, rupanya banyak orang salah duga dalam penca-lonan. Sejak sebelum muktamar berlangsung, banyak orang memprediksi tiga nama dari tujuh calon yang muncul akan mendapatkan dukungan kuat. Mereka adalah KH Shalahuddin Wahid (Gus Sholah), H Ahmad Bagdja dan KH Said Aqiel Sirodj (Kang Said). Tidak sedikit pula yang merasa yakin Gus Sholah bakal menjadi Ketua Umum, mengingat pencitraan yang di-lakukan tim adik kandung Gus Dur itu paling sempurna. Nama Slamet Effendy Yusuf seakan tidak masuk hitungan. Bahkan sehari sebelum pemilihan berlangsung, sebuah stasiun televisi hanya mengundang Gus Sholah dan Kang Said untuk melakukan debat kandidat. Artinya, hanya dua kandidat itulah yang diprediksi bakal kuat.

Namun apa yang terjadi kemudian ternyata di luar dugaan. Dalam pemilihan pertama, Kang Said mendapatkan 178 suara, Slamet Effeny 158 suara, Gus Sholah 83 suara, Ahmad Bagdja 34 suara, Ulil Abshar Abdalla 22 suara, Masdar F Mas’udi 6 suara, Ali Maschan Moesa 8 suara, Abdul Aziz 7 suara dan Hasyim Muzadi 6 suara. Praktis, hanya Kang Said dan Slametlah yang berhak mengikuti pemilihan selanjutnya, karena aturan mensyaratakan dukungan minimal 99 suara untuk maju di babak akhir.

Menjelang pemilihan akhir itu Gus Sholah datang lalu menggandeng tangan Slamet Effendy, yang dapat diartikan sebagai pengalihan dukungan. Mantan Menristek yang juga pengurus DPP Hanura, AS Hikam, turut duduk di samping Slamet. Sedangkan Kang Said hanya didampingi beberapa teman dekatnya. Sesekali KH Kafabih Mahrus duduk di samping-nya samping membicarakan se-suatu, lalu pergi menjauh.

Diiringi rintik hujan di luar, prosesi pemilihan tahap kedua dilakukan. Sejak awal nama Kang Said langsung unggul. Detik-detik mendebarkan terus berlangsung mengikuti pembacaan hasil pilihan muktamirin. Keributan sempat terjadi ketika Kang Said dipastikan menang dari Slamet. Banyak peserta muktamar secara spontan menghambur ke arah Kang Said untuk sekadar menjabat tangan atau menciumnya. Slamet Effendy segera mendatangi Kang Said untuk mengucapkan selamat. Setelah berangkulan, keduanya duduk berdampingan. Penghitungan langsung dihentikan ketika keamanan tidak mampu mengendalikan suasana. Beberapa kali himbauan panitia untuk tertib tidak diindahkan. Kotak suara pun terpaksa dipindahkan ke altar agar aman. Setelah cukup lama terhenti, penghitungan dapat dilanjutkan kembali. Sampai akhirnya ketika penghitungan berakhir sekitar pukul 21.00 WITA, dari 496 suara yang masuk, dipastikan perolehan untuk Kang Said 294 suara dan Slamet 201 suara, satu suara dinyatakan tidak sah karena masih memilih Gus Sholah. Setelah penghitungan usai, Kang Said dan Slamet Effendy segera mengangkat kedua tangan mereka yang ber-gandengan. Keduanya tampak rukun. Mereka juga melakukan konferensi pers bersama. Rintik hujan masih terus menyertai seluruh prosesi tersebut hingga berakhir.

Pascamuktamar Makassar, kini PBNU memiliki pemimpin baru: Mbah Sahal dan Kang Said. Sosok Kiai Sahal sudah dikenal luas sebagai seorang ahli fiqih yang cenderung pendiam. Sedangkan Kang Said seorang jenius yang kadang suka melakukan kegenitan intelektual. Bahkan kadang menimbulkan kontroversial di kalangan kiai.

Tapi bagaimanapun, para muktamirin telah mempercayakan amanat kepada keduanya untuk meneruskan imamah. Semoga pasangan pengendali NU baru ini akan memberikan kesejukan kepada umat dan mengantarkan kebangkitan Nahdlatul Ulama di masa mendatang. (AULA No. 04/XXXII April 2010)

Ummurrisalah: Ikhtiar Bersama Memperbaiki Jam’iyah


Banyak persoalan dibahas dalam muktamar. Semuanya penting. Tapi muara akhirnya tetap sama: berbagai upaya untuk menjadikan organisasi para ulama ini tetap istiqamah, dengan pelayanan yang lebih baik.

Banyak keputusan penting terkait penataan organisasi disepakati dlam muktamar. Pembatasan masa bakti Ketua Tanfidziyah dan Rais Syuriah di berbagai level kepengurusan yang diusulkan cukup dua periode oleh Jawa Timur, ternyata tidak diterima muktamirin. Sebab kalau hal itu diterapkan di luar Jawa, maka bukan regenerasi yang didapat, malah justru kemunduran organisasi karena terbatasnya men-cari orang yang bersedia menjadi pengurus.

“Dengan demikian, masa khidmat pengurus NU pada level mana saja tidak dibatasi, bisa satu, dua, tiga periode dan seterusnya. Tidak ada batasan,” kata Ketua Panitia Muktamar yang juga menjadi pimpinan sidang Komisi Organisasi, KH Hafidh Utsman, menyampaikan keputusan sidang komisi.

Memang, terkait pembatasan masa bakti pengurus, persoalan itu sebelumnya telah menjadi perdeba-tan hangat di komisi organisasi. Sejumlah pengurus wilayah dan cabang NU menginginkan pembatasan itu dilakukan, dengan alasan agar terjadi kaderisasi. Namun pengurus wilayah dan cabang di daerah yang bukan basis NU, terutama di luar Jawa, merasa keberatan karena keterbatasan kader yang mereka miliki, terutama kader yang mumpuni untuk mengisi posisi di level pimpinan. Kalau sampai itu terjadi, maka kader NU akan habis. Padahal bukanlah pekerjaan mudah untuk mempersiapkan kader yang baik di tempat mereka. “Mengabdi dan beribadah saja kok malah dibatasi periode sih?” kata utusan dari Ternate.

Meski pembatasan masa bakti Ketua dan Rais Syuriah tidak diterima oleh peserta sidang, namun banyak masukan yang diusulkan oleh PWNU Jatim justru diterima dengan baik oleh peserta. Bahkan materi yang tidak tercantum dalam draf dari PBNU, justru diusulkan oleh PWNU Jatim. “Banyak peserta yang berterima kasih kepada kami, karena banyak memberikan usulan dan dinilai sangat positif,” kata H Sholeh Hayat, salah seorang Wakil Ketua PWNU Jatim yang turut bersidang dalam Komisi Organisasi.


Beberapa Masalah Penting

Sejak awal para utusan Jawa Timur memang dinilai paling siap dengan materi. Tidak heran jika banyak keputusan dihasilkan oleh muktamar, yang sebenarnya merupakan suara dari Jawa Timur. Di antara persoalan yang disepakati dan merupakan kontribusi besar dari PWNU Jatim itu adalah:

Pertama, disetujuinya pemben-tukan kepengurusan Pengurus Anak Ranting (PAR) yang efektif dibentuk di beberapa masjid dan mushalla milik NU. Hal itu dinilai sangat mendesak, karena banyak kasus yang terjadi di daerah, aset berupa masjid dan mushalla milik NU ternyata justru dikuasai oleh kelompok aliran wahabi. “Dengan demikian, para takmir masjid dan mushalla nantinya dapat dikukuhkan keberadaannya sebagai Pengurus Anak Ranting,” kata Pak Sholeh, sapaan H Sholeh Hayat, yang turut mengawal keputusan tersebut.

Kedua,
penyebutan secara sempurna identitas Ahlussunnah Waljama’ah dari yang awalnya hanya mencantumkan imam madzhab. Dengan demikian, keberadaan Aswaja ala NU tidak semata mengikuti salah satu imam mazhab fiqh yang empat (Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i), tapi dilanjutkan dengan penyebutan mengikuti paham al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam bertauhid. Demikian pula dicantumkan mengikuti cara yang ditetapkan al-Junaidi al-Baghdadi dan al-Ghazali dalam bertarekat.

Ketiga, hari lahir NU dengan menggunakan kalender hijriyah. Peringatan harlah NU hanya dipe-ringati pada tanggal 16 Rajab, tidak lagi menggunakan kalender masehi. Hal itu dilakukan lantaran dalam penentuan awal Ramadhan maupun hari raya Idul Fitri, semuanya dengan kalender hijriyah.

Keempat, semua aset tanah dan bangunan yang telah digunakan dengan nama NU, tidak bisa dialih-kan kepada pihak lain, tanpa persetu-juan dari PBNU. Hal itu sebagai upaya antisipasi agar semua aset tidak digunakan untuk kepentingan lain.

Kelima, dalam draf yang dikeluarkan oleh PBNU, keberadaan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) ternyata tidak ada. PWNU akhirnya mendesak agar keberadaan ISNU dikembalikan lagi menjadi badan otonom (Banom) seperti semula.

Keenam, mengukuhkan persoalan rangkap jabatan kepada Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziyah dengan jabatan politis. Draf yang semula dicantumkan nonaktif, dipertegas menjadi larangan. Dengan demikian, tidak akan ada lagi Rais ataupun Ketua yang merangkap jabatan politis. “Pengurus harian yang akan mencalonkan diri untuk jabatan politik harus mengundurkan diri,” kata KH Hafidz Utsman.

Sedangkan pengurus harian yang dimaksud adalah Rais Am, Wakil Rais Am, Ketua Umum, dan Wakil Ketua Umum di tingkat Pengurus Besar (PB) serta Rais Syuriah dan Ketua di tingkat wilayah dan cabang. Aturan tersebut lebih tegas dari aturan yang dihasilkan dalam muktamar sebe-lumnya yang hanya mensyaratkan pengurus NU nonaktif selama proses pemilihan berlangsung, baik Pilpres maupun Pilkada.

Ketujuh, penguatan posisi syuriah. Banyaknya polemik dan dualisme kepemimpinan yang akhirnya dikesankan terjadi hubungan tidak harmonis antara Syuriah dan Tanfi-dziyah, PWNU Jatim mengusulkan masukan bahwa posisi Syuriah adalah sangat berwibawa di NU. Karena itu, Syuriah diberikan wewenang untuk menentukan arah kebijakan organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuan Nahdlatul Ulama. Di-samping itu Syuriah juga memberikan petunjuk, bimbingan dan pem-binaan terkait pemahaman, pengamalan dan pengembangan ajaran Islam berdasar faham Ahlussunnah Waljama’ah, baik di bidang aqidah, syari’ah maupun akhlaq/tasawuf. Yang juga penting adanya adalah kewenangan untuk mengendalikan, membimbing, mengawasi dan mengoreksi jalannya organisasi NU dengan pertimbangan syar’i dan ketentuan organisasi.

Kedelapan, usulan terhadap keberadaan badan otonom. Karena seperti disadari, ada berbagai disharmonisasi yang terjadi antara badan otonom dengan NU sebagai induk organisasinya. Malah tidak jarang Banom terkesan berjalan sendiri dan berada di luar kendali NU. Untuk menyelesaikan persoalan ini, usulan PWNU Jatim adalah keberadaan badan otonom dikembalikan kepada rumusan hasil Muktamar 2004 dengan tambahan usulan sebagai berikut: sebelum dipilih dalam per-musyawaratan badan otonom, calon ketua umum dan ketua harus mendapatkan persetujuan tertulis dan pertimbangan dari pengurus NU sesuai tingkatannya. Demikian pula, PD/ PRT badan otonom wajib meratifikasi/ mencantumkan ketentuan AD/ ART Nahdlatul Ulama yang mengatur tentang badan otonom. Dan yang selanjutnya adalah NU sebagai induk organisasi memiliki hak pembinaan dan mengambil tindakan organisatoris apabila diperlukan.

Pada kesempatan ini pula, PWNU Jatim mengusulkan badan otonom baru yakni Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu), yang berfungsi melaksanakan kebijakan NU di bidang pembinaan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Sebagai catatan, sebelum diakui sebagai Banom, badan hukum Yayasan Persatuan Guru Nahdlatul Ulama yang disahkan melalui SK Menkumham Nomor C-88.HT.01.03.TH.2007 tanggal 26 Nopember 2007 harus dibubarkan terlebih dahulu).

Permasalahan Politik

Komisi Bahstul Masail Diniyyah Qonuniyyah (Bidang Keagamaan Perundang-undangan)
Muktamar ke-32 NU menghasil-kan keputusan agar proses Pemilu kepala daerah tingkat gubernur (Pilgub) dihapuskan. Hal itu ditegaskan Ketua Komisi Bahtsul Masail Diniyyah Qonuniyyah Muktamar ke-32 NU Ridwan Lubis. Menurut Ridwan, Pilkada Gubernur dihapus karena dinilai menyedot biaya yang mahal serta berpotensi menimbul-kan konflik. “Kita mengusulkan agar gubernur diajukan oleh partai politik atau independen, lalu dipilih oleh DPRD I. Dari DPRD mengirimkan 2-3 orang, lalu presiden memilihnya, pertimbangannya karena gubernur adalah wakil pemerintah pusat,” ujarnya. Di samping persoalan tersebut, Ridwan menyebutkan, dalam praktiknya tidak jarang antara bupati/walikota tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan gubernur akibat perebutan kekuasaan. “Karena bupati/ walikota juga merasa memiliki kekuasaan, sehingga posisi gubernur tidak ada kewibawaan,” cetusnya.

Oleh karenanya, dengan usulan demikian, Ridwan berharap agar partai hendaknya menyiapkan kadernya untuk dapat mengisi pos di level gubernur sehingga bisa diajukan oleh DPRD di tingkatan provinsi.

Konflik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang masih terus berlangsung hingga kini tidak dibahas dalam muktamar. Namun begitu, NU akan melakukan komunikasi politik dengan berbagai pihak sebagai bentuk perhatian kepada parpol yang banyak diisi kaum nahdliyin itu. “Sejak dari awal kami tidak menga-gendakan pembahasan masalah konflik di PKB,” kata Sekretaris Panitia Muktamar NU ke-32, Taufik R Abdullah.

Taufik menjelaskan, peran NU dalam merespon konflik PKB sangatlah normatif. Peran NU ada tiga, yaitu dalam politik, etik moral sebagai petunjuk berpolitik bagi warga NU, dan peran organisatoris NU yang hanya sekadar memproduksi kader-kader yang akan disalurkan dalam berbagai segmen. “Kalau dituntut politis paling banter peran melakukan komunikasi dari berbagai pihak agar mereka bisa melaksanakan petunjuk NU,” ujarya.

Pembahasan masalah konflik PKB ini memang menjadi tuntutan sejumlah pihak, khususnya para politisi PKB. Namun banyak kalangan yang justru tidak setuju dengan urusan parpol yang satu ini. Alasannya, mereka khawatir NU akan ditarik ke ranah politik praktis kembali.

Demi Kebaikan NU

Ikhtiar yang telah dilakukan orang-orang terpilih dari berbagai utusan di Indonesia dan dari belahan dunia itu semuanya sama, yakni demi kebaikan NU di masa yang akan datang. Tantangan yang dihadapi umat dan jam’iyah tentunya tidaklah semakin mudah dan ringan. Namun tetap memerlukan berbagai kreasi dan amal nyata demi terjaganya ek-sistensi sebuah bangsa yang bermartabat. Ucapan terima kasih sepatutnya layak disampaikan kepada mereka yang berkenan datang dan turut memikirkan NU untuk jangka waktu mendatang. Semoga Allah menerima ikhtiar ini, dan selamat berjuang! (AULA No.04/XXXII April 2010)

Ummurrisalah: Mereka Melihat NU Telah Berubah


Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama tidak hanya menjadi perhatian warga pribumi. Sejumlah perwakilan negara sahabat tidak mau melewatkan momentum besar itu. Termasuk para pengamat yang sudah menjadi langganan hadir dalam acara besar NU. Bagaimana kesan mereka?

Muktamar secara resmi belum dibuka. Tapi siang itu, Senin (22/3), keramaian di Asrama Haji Sudiang, Makassar sudah sangat terasa. Ruang registrasi terlihat sesak dengan antrian peserta. Mereka berdesakan, namun tetap tertib dan tertata. Udara panas terik seakan tak dirasakan oleh mereka. Sound system dari panggung pentas seni yang disiapkan juga mulai bergema. Di sudut lain, senyum para pedagang di stan pameran mulai tersungging, membayangkan keuntungan yang bakal mereka kantongi dari arena.

Pada saat yang sama, beberapa ulama NU sedang berdialog dengan mufti dan cendekiawan dari 12 negara, dalam konferensi pra muktamar di Hotel Sahid Makassar. Mereka antara lain Syeikh Wahbah az-Zuhaili (Suriah), Dr Amr Mustafa Hassanein Fefaie El Wardany (Mesir), Datok Haji Wan Zahidi Haji Wan The (Malaysia), Mr Ekrem Kelec (Turki), Abdurahman Bin Abdullah Azaid (Arab Saudi), Mohammed AN Abualrob Khadra (Palestina), Sulaiman Usman Muhammad Tula (Sudan), Syeikh Hasan Abdallah, Syeikh Maulana Ahmad Zein, Syeikh Abd Annasir Jabri, Syeikh Saaduddin Muhammad Ajouz, Dr Ghalib Arraisi (semuanya dari Lebanon) dan Nidhomuddin Sam Za’i (Maroko). Sedangkan di peserta dari luar Timur Tengah adalah Sadekov Komili (Rusia), Meuleman Johan Hendrik (Belanda), Ikebal Mohammed Adam Patel (Australia), Ju Hwa Lee (Korea) dan Eng Essam Fadel Al Shangqiti (IDB).
Dalam konferensi bertajuk “peran ulama memajukan dunia Islam” itu disepakati tiga rekomendasi yang dibacakan Ketua PBNU Dr KH Said Aqiel Sirodj, MA. Pertama, menyatukan persepsi dunia Islam yang selama ini terpecah untuk memajukan dunia Islam. Kedua, merumuskan konsep strategis yang dibuat untuk meningkatkan peradaban Islam, terutama dengan pendekatan keagamaan. Ketiga, membangkitkan peranan ulama di masa kini dan mendatang.

Tiga rekomendasi yang dihasilkan menjadi poin kesepakatan yang akan dibawa ke pertemuan Liga Arab yang akan berlangsung di Libya, beberapa bulan mendatang. Bahkan akan menjadi bahan rekomendasi resmi ke Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Tanggapan Positif

Di sela-sela muktamar, sejumlah perwakilan negara sahabat yang hadir turut mengungkapkan rasa optimis mereka, bahwa Nahdlatul Ulama akan mampu membawa perubahan bagi bangsa dan negara Indonesia dengan kepemimpinan yang baru.

Presiden The Australian Federation of Islamic Councils Ikebal Mohammed Adam Patel menga-takan, pihaknya optimistis melalui Muktamar NU ke-32 ini energi para muktamirin akan mampu tersalurkan dalam memilih pemimpin yang terbaik bagi masa depan NU. “Pemimpin yang baik adalah yang mampu menjembatani keharmo-nisan antara masyarakat dan pemimpinnya, termasuk menciptakan kader-kader yang memiliki pemikiran positif,” kata Ikebal.

Mengenai sinyalemen yang mendeskreditkan penganut agama Islam sebagai pelaku teror di se-jumlah negara – termasuk Australia, menurut Ikebal, NU sebagai organisasi Islam terbesar harus mampu menepis anggapan tersebut dengan melakukan pembinaan pada umat muslim. “Sesungguhnya umat Islam mencintai perdamaian. Kalaupun ada sinyalemen bahwa muslim radikal terkait dengan terorisme, itu tidak terlepas dari pengaruh perkembangan politik suatu negara dan dunia,” ujarnya.

Duta besar Arab Saudi untuk Indonesia Abdulrahman Mohammed Amen Al-Khayyat juga mengharapkan muktamar kali ini dapat melahirkan perubahan bagi Indonesia untuk keluar dari berbagai persoalan. Menurut dia, perhelatan akbar ormas Islam terbesar di Indonesia ini merupakan momentum yang baik untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam menentukan arah perjuangan organisasi ke depan.

“Sejarah membuktikan, organisasi ini mampu berkiprah tidak hanya di negerinya, tetapi juga menjadi perhitungan organisasi Islam dunia melalui ketokohan sejumlah pemimpin yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum PBNU,” tuturnya.

Senada dengan itu, Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Fariz Al-Mehdawi, turut memberikan sambu-tan hangat atas terselenggaranya muktamar kali ini. Diplomat yang bertugas di Indonesia sejak tiga tahun lalu itu merasa optimis bahwa muktamar bisa menghasilkan keputusan-keputusan penting untuk NU, Islam dan Indonesia.
Faris juga berharap agar NU tidak terlalu dalam masuk ke dunia politik. Tapi lebih banyak berperan dalam kehidupan sosial dalam peningkatan kemajuan ekonomi dan pendidikan.

“Ke depan, NU harus terus berperan dalam kemajuan ekonomi dan pendidikan. Itulah inti dari keberadaan NU sebagai unsur penting dalam kehidupan sosial di Indonesia, bukan dalam bidang poli-tik,” kata-nya saat ditemui di sela-sela konferensi.

Muktamar di Mata Pengamat

Selain para pejabat negara, tampak pula beberapa peneliti asing yang hadir dalam muktamar kali ini. Mereka, antara lain peneliti NU senior dari Belanda Martin Van Bruinessen, Mitsuo Nakamura dari Jepang dan Andree Feillard dari Prancis serta beberapa peneliti muda dari Amerika, Jepang dan Prancis.

Kepada Aula, Martin mengungkapkan dua kesan yang ia rasakan berbeda di banding muktamar sebelumnya. Pertama, diadakannya muktamar di luar Jawa menjadi salah satu agenda strategis NU ke depan. Pasalnya, keterlibatan warga NU selama ini didominasi oleh penduduk pulau Jawa sebagai basis utama massa NU. “Sebenarnya wajar kalau orang menganggap bahwa NU itu Jawa sentris, karena basis massanya ada di Jawa. Tapi dengan diadakannya muktamar di luar Jawa sekarang ini, baik sekali untuk melibatkan warga NU luar Jawa dan menumbuhkan keinginan kuat mereka untuk berperan lebih besar di dalam NU,” ungkapnya.

Kedua, meskipun sesungguhnya persaingan untuk menjadi Ketua Umum PBNU selalu ada di setiap muktamar, tapi kali ini Martin melihatnya sangat terbuka. Baginya, ini adalah fenomena yang sangat erat hubungannya dengan fakta bahwa sejak tahun 1998 segala aspek kehidupan di Indonesia banyak yang dipolitisir. “Daya tarik politik terlalu kuat dan tentu berpengaruh ter-hadap perjalanan NU,” lanjutnya.

Ke depan, Martin berharap NU terus menjadi wadah generasi muda untuk mengembangkan intelektualitasnya. NU tidak perlu lagi ditarik pada kepentingan politik sebagian elit yang belum tentu sama dengan kepentingan politik warga NU yang ada di bawah.

“NU mewakili sebagian besar dari umat Islam Indonesia. Orang bilang 25 juta ada yang bilang 40 juta. Yang jelas sebagian rakyat Indonesia terwakili oleh NU. Maka para elit tidak boleh memikirkan kepentingan sendiri, tapi harus memikirkan warga NU yang tersebar di desa-desa maupun kota. Warga NU harus tetap optimis. Tapi itu belum cukup, harus berjuang untuk mewujudkan cita-citanya sehingga NU tidak hanya dilihat dari jumlah massanya yang besar, tapi juga bisa berperan dalam bidang sosial, ekonomi dan keagamaan,” lanjut profesor di Utrecht University, Belanda ini.

Sedangkan Mitsuo Nakamura sangat mengapresiasi kemajuan NU dalam bidang teknologi informasi. Dalam muktamar kali ini, pada setiap ruangan disediakan layar monitor, sehingga siapapun bisa memantau setiap momen yang terjadi tanpa harus hadir di ruang sidang karena disiarkan secara live oleh TV9 milik PWNU Jawa Timur. Selain itu, menurutnya, keberadaan NU Online juga menjadi salah satu bukti kemajuan teknologi NU. Melalui situs resmi PBNU itu, ia mengaku sangat terbantu ketika berada di Jepang dan ingin mengetahui perkembangan NU di Indonesia.

Di sisi lain, professor dari Chiba University ini juga melihat per-kembangan NU yang menjelma menjadi menjadi organisasi yang sangat demokratis sejak adanya reformasi.
“Dulu ketika di zaman Orde Baru, NU harus melawan intervensi dari luar sehingga agak tertutup. Tapi sekarang terkesan sangat terbuka dan perbedaan pendapat disikapi secara alamiah dan bijak,” terang peneliti yang tertarik pada NU karena Gus Dur itu.

Adapun banyaknya kandidat yang bersaing dalam muktamar, bagi Nakamura, hal itu menun-jukkan pluralitas unsur di dalam NU. Maka ia berharap agar sang pemimpin yang terpilih dapat mengakomodir semua unsur yang ada di dalam NU.

“Satu hal lagi yang terasa berbeda adalah ketidakhadiran Gus Dur. Ya, saya dan kawan-kawan peneliti di luar negeri merasa kehilangan. Gus Dur adalah phenomenon history. Saya mulai tertarik dengan NU karena dikenalkan oleh Gus Dur. Tapi meskipun secara fisik Gus Dur sudah tidak ada, saya merasakan sekarang Gus Dur ada di mana-mana melalui pemikiran dan warisan beliau,” jelas peneliti yang mengikuti Muktamar NU sejak 1979 ini.

Di mata Nakamura, NU sebagai civil society memiliki potensi-potensi besar untuk berperan bagi kemajuan Indonesia maupun dunia. Ke depan, ia berharap agar NU dapat menjadi bagian solusi, setidaknya terhadap dua hal. Pertama, ikut memberantas kemiskinan. “Ekonomi makro Indonesia memang terus meningkat. Masih banyak warga miskin yang lemah, dan NU harus beperan memberikan solusi,” jelas peneliti yang pernah mengajar di Universitas Indonesai itu.

Kedua, berpartisipasi mengatasi konflik kemanusiaan karena unsur agama. Kepada negara-negara berpenduduk mayoritas nonmuslim, NU harus terus berdakwah mewujudkan misi perdamaian Islam ala NU. Di internal umat Islam sendiri, NU juga harus meningkatkan dialog-dialog sebagaimana yang telah dilakukan selama ini.

“NU bergerak di dalam sebuah negara dengan jumlah orang Islam yang terbanyak di dunia. Dan hubungan antara masyarakat yang beragama Islam dan non Islam merupakan salah satu faktor yang menentukan nasibnya umat manusia pada hari depan,” pungkas Nakamura, yang datang ke Makassar bersama istri yang juga seorang antropolog dan sedang meneliti tentang pesantren. (AULA No.04/XXXII April 2010)

Ummurrisalah: Muktamar Tak Bahas Rekonsiliasi PKB


Komisi Rekomendasi dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 telah menyelesaikan tugasnya. Di antara beberapa rekomendasi yang akan disampaikan ke pemerintah dan lem-baga lainnya adalah meminta agar Islam tidak dibajak oleh kelompok teroris yang mengatasnamakan agama.

Bahkan, komisi ini merekomendasikan membentuk suatu lembaga yang berfungsi meredam terorisme dan meluruskan pemahaman bahwa jihad bukanlah terorisme.
“Salah satu rekomendasi yang dihasilkan komisi kami adalah membentuk suatu badan yang berfungsi memberantas terorisme secara kultural dan ideologi dan meluruskan konsep pema-haman tentang jihad,” kata Ketua Komisi Rekomendasi Prof Dr H Masykuri Abdillah.
Menurutnya, hal yang penting dilakukan badan tersebut adalah meluruskan pemahaman keagamaan bahwa jihad itu bukan terorisme, begitu pula segala bentuk teror yang mengatasnamakan jihad, sebab beberapa kelompok yang melakukan aksi teror kerap menggunakan dalil jihad. Selain itu, ia mengatakan, diperlukan pula status hukum yang menegaskan anti terorisme untuk meredam aksi-aksi teror yang terjadi di tanah air. Karena itu, membendung dan memberantas terorisme dengan cara pendekatan kultural, ideologi dan secara hukum sangat diperlukan. “Kita mengeluarkan rekomendasi kepada se-mua pihak agar menjaga agama, agar jangan sampai dibajak atas nama terorisme,” katanya. Selain itu, Muktamar NU juga mengeluarkan rekomendasi penanganan terorisme dari sisi hukum secara tegas. “Dari segi hukum misalnya, dengan penegakan hukum baik dengan menggunakan alat negara melalui serangan militer atau menggunakan Densus 88,” katanya.

Oleh karena itu, Muktamar merekomandasikan agar dilakukan upaya pelurusan persepsi global terhadap jihad yang disalahpahami sebagai terorisme. Bahwa jihad bukanlah terorisme karena terorisme bukanlah ajaran Islam. Pemerintah hendaknya melibatkan peran pemuka agama dalam penyelesaikan konflik, terutama konflik-konflik yang berbasis agama. Upaya-upaya yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam, seperti NU melalui International Conference of Islamic Scholars (ICIS), perlu mendapatkan dukungan dari pemerintah lebih besar lagi, agar peran yang dilakukan bisa lebih maksimal. Di sisi lain, lanjutnya, melalui kegiatan dakwah di masjid dan majelis taklim terus disosialisasikan bahwa jihad itu bukan terorisme dan Islam bukan pendukung terorisme. NU juga mengajak Ormas, LSM dan pemerintah bekerja sama dalam mewujudkan “deradikalisasi”, serta mengajak pe-laku-pelaku teror berdialog dan kembali ke ajaran yang benar.

Selain itu, komisi ini juga mengu-sulkan agar pembaruan pemikiran gerakan Islam tidak menyimpang dari Ahlus Sunnah Waljamaah (Aswaja). Sejalan dengan keyakinan umat bahwa Islam itu tetap sesuai dengan semua waktu dan tempat (shalih likull zaman wa makan), pembaruan (tajdid) pemahaman keagamaan merupakan suatu keniscayaan, karena masyarakat kini telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Ide-ide pembaruan keaga-maan di era reformasi ini semakin kencang dihembuskan oleh berbagai kalangan Islam, baik yang berlatar belakang tradisionalis maupun mo-dernis sendiri, meski kedua kelom-pok ini kini tidak memiliki perbedaan yang berarti. “Di antara ide-ide pembaruan itu ada yang mendukung pengunaan rasio secara bebas dan meninggalkan teks-teks (nash-nash) al-Quran dan Hadits, termasuk yang bersifat absolut (qath’i), sehingga hal ini telah mengarah pada tingkat me-resahkan tokoh dan umat Islam,” kata pria yang pernah menjadi Ketua Panitia ICIS III ini.

Oleh karena itu, Muktamar me-nekankan kembali, bahwa ide-ide pembaruan (tajdid) pemahaman agama merupakan suatu keharusan, tetapi pembaruan ini seharusnya tetap sejalan dengan standar metodologi pemahaman agama yang telah menjadi konsesus ulama mayoritas (ahlussunnah wal jama’ah), dengan tetap berpegang pada kaidah: al-muhâfazhah ‘alal qadîmis shâlih wal akhdzu bil jadîdil ashlah (mempertahankan ide-ide lama yang baik dan mengambil ide-ide baru yang lebih baik). Di antara pembaruan yang sangat dibutuhkan pada saat ini adalah pengutamaan teologi tentang pan-dangan hidup (world view) yang lebih dinamis (menekankan ikhtiar) dari-pada yang bersifat statis (menekankan taqdir) dalam rangka memperkuat motivasi bagi percepatan pembangu-nan umat dan bangsa Indonesia.

Komisi Rekomendasi juga mengeluarkan sejumlah rekomendasi di bi-dang politik, ekonomi, pendidikan, penegakan hukum dan HAM. Soal pendidikan, misalnya, walau sistem pendidikan nasional sudah baik, tapi kurang memperhatikan pendidikan di pondok pesantren. Bidang kese-hatan yang belum menyentuh kalangan masyarakat desa, kelompok bawah dan miskin, sehingga perlu-nya pemberdayaan kembali Jaminan Kesehatan Masyarakat.

Terkait politik, NU menilai etika politik di Indonesia semakin demokratis, tapi belum menyentuh hal yang substantif. Sebab, belum dibarengi dengan budaya etika yang baik. “Misalnya di dalam Pilkada dan organisasi tertentu, kadang-kadang masih menggunakan money politics,” ujar Masykuri.

Adapun dalam kancah perpolitikan internasional, pemerintah juga diminta aktif dengan melibat-kan unsur masyarakat atau people to people. “Ini terkait image building terkait soal budaya Islam dan terorisme. Pemerintah bisa aktif dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi di masyarakat dunia, seperti di Thailand Selatan, Filipina Selatan, Myanmar, Uighur, Palestina dan lainnya,” pungkasnya.

Di sisi lain, desakan agar NU mendorong rekonsiliasi di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa ternyata batal masuk dalam salah satu reko-mendasi muktamar. Padahal banyak pihak jauh-jauh hari mengharapkan NU ikut urun rembug menyelesaikan kisruh di parpol yang kelahiranya ia fasilitasi. Bahkan, tidak hanya berupa desakan, beberapa PCNU dari Jatim juga telah membawa sekaligus menawarkan konsep rekonsiliasi yang telah disusun beberapa pihak di Surabaya sebelum pelaksanaan muktamar. Salah satunya ialah agar PBNU membentuk tim rekonsiliasi untuk segera menyelesaikan kemelut di partai yang identik dengan Gus Dur itu.

Penyelesaian terkait dengan konflik internal di PKB nanti hanya akan dilakukan secara informal. Artinya, NU bisa mengambil posisi melalui peran etik dan moral. Atau, melakukan komunikasi dengan berbagai pihak terkait agar bersatu, bukan hanya untuk kader NU di PKB, tapi juga di seluruh parpol yang ada.

Keputusan tersebut dipastikan dalam rapat pleno komisi-komisi. Mayoritas PCNU dan PWNU berpan-dangan bahwa NU dan PKB me-miliki wilayah yang berbeda. “NU memang punya tanggung jawab, tapi tanggung jawab itu tidak harus dilakukan secara formal,” tegas Sekretaris Panitia Muktamar Taufik R Abdullah. (AULA No.04/XXXII April 2010)