Tampilkan postingan dengan label Cover. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cover. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 September 2012

AULA September 2012

Ketika Pendidikan Pesantren Diragukan


Sebelum terjadi gegap gempita pemberitaan tentang KPK vs Polri jilid 2, di ujung Pulau Madura ada kasus menarik yang juga melibatkan kepolisian. Bukan karena kasus korupsi atau kasus rekening gendut. Tapi berawal dari ijazah seorang alumni pesantren yang ditolak ketika mendaftarkan diri dalam rekrutmen anggota korps baju cokelat itu. 

Beritanya sempat meledak menjadi isu nasional. Nama Mohammad Azhari mendadak terkenal lantaran beberapa televisi nasional menyiarkan peristiwa itu. Media cetak, terutama di Jatim, juga rutin menginformasikan setiap perkembangan kasus tersebut. Apalagi, media masa menambahnya dengan “bumbu-bumbu” yang menurut Pengurus Yayasan Pondok Pesantren Annuqayah tidak sesuai fakta.

Menurut Muhammad Musthafa, salah seorang ustadz di Ponpes Annuqayah, pemirsa yang tak mengikuti rangkaian kejadian kasus yang bermula satu bulan sebelum aksi turun jalan tersebut akan membuat kesimpulan rekaan peristiwa sederhana: ada santri ditolak mendaftar di Kepolisian, lalu teman-temannya unjuk rasa dan rusuh. Apalagi pembawa berita menuturkan dengan penuh percaya diri sambil memainkan intonasinya saat tiba di bagian yang memaparkan tentang aksi rusuh.

“Proses yang panjang sebelum terjadinya aksi itu menjadi hilang dalam pemberitaan televisi. Saya paham bahwa ada keterbatasan durasi dalam menyiarkan berita ini. Tapi menghilangkan fakta yang sangat terkait dan bernilai penting sangat berpotensi membelokkan fakta yang dipaparkan. Dan itulah yang menurut saya terjadi,” terang alumnus UGM Yogyakarta ini.
Redaksi Majalah NU Aula ikut merasakan ramainya berita tersebut. Beberapa pesan singkat melalui SMS dan e-mail diterima dan menanyakan ihwal kasus Annuqayah. Apalagi, PWNU Jatim juga menggelar jumpa pers dan memberikan pernyataan sikap untuk mendukung Ponpes Annuqayah. Karena itulah, Redaksi Majalah Aula melakukan kajian untuk menjawab keinginan para pembaca.

Kisahnya dimulai ketika Mohammad Azhari lulus dari Madrasah Aliyah (MA) 2 Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Kemudian ia menjajaki jalur karir sebagai anggota kepolisian melalui seleksi penerimaan brigadir Brimob dan Dalmas di Polres Sumenep. Di awal seleksi, Azhari langsung dinyatakan ditolak karena tidak memenuhi persyaratan administratif berupa kelengkapan ijazah SLTA.

Kabar penolakan itu lalu sampai ke pengurus yayasan. Tentu mereka tak mau berpangku tangan. Berbagai upaya dilakukan untuk meminta klarifikasi dari Polres Sumenep. Singkat cerita, karena tidak mendapatkan titik temu dan pengurus yayasan meyakini Polres Sumenep telah melakukan kesalahan, maka pengurus yayasan menuntut Polres Sumenep meminta maaf secara terbuka dan institusional. Selain itu, Polres juga diminta untuk menjamin lulusan sekolah/madrasah yang telah diakui resmi oleh negara, khususnya yang berafiliasi dengan pondok pesantren, untuk diperlakukan sama dengan sekolah/madrasah pada umumnya dalam penerimaan calon anggota Polri.

Akhirnya Polres Sumenep, berdasarkan pertimbangan dari Polda Jatim, mengakui telah terjadi kesalahan dalam menafsirkan aturan yang diterbitkan oleh Polda Jatim terkait seleksi anggota kepolisian tahun 2012. Untuk itulah, Polres Sumenep mengadakan jumpa pers yang dihadiri para pengurus yayasan guna meminta maaf dan mempersilakan Azhari untuk mendaftar lagi tahun depan karena proses seleksi sudah hampir usai. (Kronologi lengkapnya dapat di halaman 11)

Membuka Mata

Permintaan maaf dari Polres Sumenep memang melegakan. Tapi sesungguhnya masih ada teka-teki yang belum terjawab. Sebagian orang masih menduga ada alasan substantif yang tidak mungkin diungkapkan. Apalagi jika dikaitkan dengan telegram dari Polda Jatim yang memberi pengakuan hanya kepada empat pesantren tertentu saja. Apa dasarnya? Dan bagaimana dengan pesantren lain? Apakah benar ada diskriminasi terhadap pendidikan pesantren?

Dalam pandangan Ketua PW Lembaga Pendidikan Maarif NU Jatim, Akhmad Muzakki, masalah yang terjadi di Sumenep bukanlah masalah lokal. Bukan pula masalah individual Azhari. Seluruh masyarakat pesantren dan madrasah di seluruh penjuru nusantara ini bisa menjadi korban dari kebijakan dan praktik diskriminatif oleh aparatur negara. Oleh karena itu, perhatian publik harus diberikan kepada kebijakan dan praktik diskriminatif oleh negara terhadap pesantren dan madrasah di negeri ini.

“Kita harus menolak semua bentuk diskriminasi dalam pendidikan karena persamaan hak dan kewajiban antara sekolah dan madrasah telah dijamin oleh negara. Bahwa sekolah dan madrasah sama di mata hukum. Keduanya tidak dibedakan, apalagi didiskriminasi,” tutur Dosen Pasca-sarjana IAIN Sunan Ampel ini.

Sedangkan beberapa orang, dalam diskusi di PWNU Jatim misalnya, kemudian menduga-duga apa sesungguhnya alasan substantif itu. Di satu sisi, diskriminasi terhadap segala pendidikan di bawah naungan NU dan pesantren memang pernah terjadi di era Orde Baru. Selama puluhan tahun NU dan pesantren dipinggirkan dan ditutup dari akses-akses peme-rintahan. Dan mungkin saja apa yang menimpa Azhari adalah sisa-sisa kebijakan Orde Baru di tengah naiknya pesantren di panggung nasional yang sudah berlangsung sejak bergulirnya era reformasi.

Itulah sebabnya, bukan perkara mudah jika sekarang kita mencari alumni pendidikan formal pesantren yang menjadi pejabat penting atau ilmuan di luar bidang agama. “Kalau yang sekedar mondok mungkin banyak. Misalnya Gus Dur, Pak Muhaimin Iskandar, Pak Suryadharma Ali atau Pak Mahfud MD. Semuanya memang alumni pesantren, tapi telusuri dulu pendidikan formalnya. Ternyata bukan jebolan pendidikan formal pesantren. Ini adalah imbas dari kebijakan masa lalu,” kata salah seorang peserta diskusi.

Di sisi lain, ada yang mengatakan bahwa tentara dan kepolisian memang sangat menghindari unsur pesantren masuk sebagai anggota. Sebab, anggota Polri dituntut untuk taat pada atasan, sedangkan santri memiliki kultur ketaatan yang kuat kepada kiainya. Sehingga ketika santri menjadi anggota kepolisian dikhawatirkan ia akan memiliki standar ketaatan ganda.

Di luar itu ada juga yang menganalisis lebih dalam. Bahwa pendidikan formal pesantren ternyata masih dipandang sebelah mata oleh keba-nyakan masyarakat Indonesia. Keraguan ini erat kaitannya dengan kualitas pendidikan formal di pesantren. Peran besar pesantren terhadap negeri ini ternyata belum bisa memantapkan posisi pesantren sejajar dengan lembaga pendidikan lain, meskipun secara de jure undang-undang sudah mengakuinya.

Tentu saja kita berharap masa depan pendidikan pesantren di negeri ini akan lebih baik. Apalagi, UU Pendidikan Nasional sudah “mengharamkan” semua bentuk diskriminasi. Pesantren juga sudah menjelma menjadi semacam “supermarket” lembaga pendidikan. Semuanya tersedia di dalamnya mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, dengan tetap menguatkan karakter generasi Al-Quran yang multitalenta. Semoga. afif

Assalamu’alaikum (hal 4)
Refleksi (hal 5)
Kotak SMS (hal 6)
Surat Pembaca (hal 7)

Ummurrisalah:
Ketika Pendidikan Pesantren Diragukan (hal 9)
Bercermin dari Kasus An-Nuqayah (hal 11)
Ikhtiar Itu Bernama Madrasah (hal 13)
Garis Miring Madrasah, Bukan Nasib Miring (hal 16)

Ihwal Jam’iyah: Menyapa Anak Muda (hal 19)
Berbagai upaya terus dilakukan oleh PWNU Jawa Timur dalam berkhitmah kepada masyarakat. Menjelang Idul Fitri PWNU Jatim disibukkan dengan kegiatan yang akan diadakan. Antara lain mudik gratis dan halal bihalal yang dimeriahkan oleh Wali Band.

Liputan Khusus: Menyongsong Munas dan Konbes NU di Cirebon (hal 21)
Tak mau setengah-setengah menggelar acara, panitia memastikan Presiden akan membuka acara Munas-Konbes NU kali ini. Panitia telah menyatakan kesiapannya menggelar hajat besar NU tersebut dengan sebaik-baiknya. Sudah benar-benar siapkah?

Tokoh: Dr KH Abdul Ghofur (hal 25)
Karakter suaranya khas dan mudah diingat. Gaya penyampaiannya blak-blakan dan mudah dimengerti. Isi materinya juga berbobot dan sangat bermanfaat. Apalagi kepribadiannya low profile dan tegas. Itulah sebabnya kenapa pengajiannya di pagi hari selalu dinanti oleh ribuan pendengar radio dan pemirsa televisi di pesisir pantai utara Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Bahsul Masail: Mengakhirkan Puasa Syawal (hal 28)
Kajian Aswaja: Mengkaji Hujjah Selamatan Haji (hal 30)

Khazanah: Solusi Sehat dengan Ikan Laut (hal 32)
Tak ada makhluk yang tercipta sia-sia. Semua memiliki arti dan manfaat. Keterbatasan pengetahuan saja yang membuat manusia tidak menyadari kegunaan di sekelilingnya. Termasuk ikan laut.

Pendidikan: SMA NU 1 Gresik (hal 36)
Memasuki dimensi kekinian institusi pendidikan dituntut tidak hanya membekali anak didiknya dengan kemampuan akademik semata. Pengembangan skill atau kemampuan non-akademik menjadi bagian yang harus diberikan. Begitu pula yang dilakukan oleh SMA NU 1 (SMANUSA) Gresik. Dengan pengembangan keterampilan, sekolah ini menjelma menjadi institusi pendidikan dengan segudang prestasi.

Eksibisi: Menyambut Pameran Haji dan Umroh (hal 38)
Tak ada kata berhenti untuk berkarya, itulah yang seharusnya dilakukan oleh siapa saja yang ingin maju dan berprestasi. Prinsip itu pula yang kini dijalankan oleh kerabat kerja Majalah Aula kita ini.

Pesantren: Ponpes Tarbiyatul Qulub Surabaya (hal 40)
Pesantren ini terbilang unik. Banyak orang datang bukan untuk mendidik anaknya dengan pendidikan keilmuan, melainkan untuk mengobati penyakit-penyakit hati. Hasilnya, setiap santri memiliki bekal yang kuat untuk menjalani hidup dengan mengedepankan moral, akhlak dan kejernihan hati.

Kancah Dakwah: Mantan HTI yang Membentengi Aswaja (hal 42)
“Orang Hizbut Tahrir (HT) tahu kalau rumahnya itu keropos.Tapi kekeroposan itu justru ditutupi dengan tembok besar untuk melindunginya agar tidak diketahui oleh pengikutnya”.

Nisa’ : Hj Andi Asny Patoppoi (hal 44)
Mengisi masa tua dengan ibadah, tanpa dibebani lagi dengan hiruk-pikuk urusan duniawi, adalah dambaan setiap orang. Salah seorang yang menikmati kesempatan itu adalah Andi Asny. Siapa dia?

Uswah : Kolonel K.H. Muslich (hal 47)

Nuansa: RSNU Jombang (hal 49)
Untuk bisa mendirikan fasilitas umum, biasanya warga NU memberikan sejumlah sumbangan dan tidak pernah memikirkan imbalan. Tapi dengan membangun fasilitas kesehatan ini, mereka juga akan menikmati bagi hasilnya kelak.

Wirausaha: Bisnis Sandal yang Makin Handal (hal 51)
Lahir dari keluarga miskin pengrajin sandal tidak membuat H M Yunus bermental ciut. Sejak kecil ia memiliki semangat tinggi untuk belajar dan bekerja keras agar bisa memperbaikai taraf hidup keluarganya. Dengan bermodal pengalaman itu kini ia menjadi bos produsen sandal. Ingin tahu kisahnya? Simak ulasan di bawah ini.

Mimbar Jum’at (hal 53)
Wawasan: Antara Sekolah dan Penjara (hal 55)

Sembilan: Media Massa NU (hal 57)
Banyak media massa yang lahir dari rahim NU. Media itu memiliki peran penting untuk menyiarkan peran NU dalam membangun bangsa dan umat, sekaligus menjadi media dakwah dan sarana komunikasi bagi warga Nahdliyin. Seiring berjalannya waktu, banyak di antaranya hanya tinggal kenangan. Namun tak sedikit pula yang masih eksis. Berikut di antaranya:

Sekilas Aktivitas (hal 60)
Rehat: Hj Sinta Nuriyah & H Suhar Billah (hal 66)

Sabtu, 04 Agustus 2012

AULA Agustus 2012

Serba-Serbi Perkumpulan Bani

Bulan Syawal merupakan bulan pelebur dosa sesama. Di mana-mana orang saling bermaafan. Di bulan itu pula para keluarga besar keturunan (bani) tokoh tertentu biasa berkumpul. Macam-macam acara yang menyertainya. Ada yang unik, ada yang klasik, ada yang modern. Tapi untuk apa mereka melestarikan garis keturunan itu?

Kalian ini keturunan orang besar, orang hebat. Karena itu kalian harus mengaji yang lama, mondok yang lama. Jangan mentang-mentang Mas, harus dijaga, Rek. Meskipun mas, kalau dalam lumpur, tidak terlihat masnya. Meskipun Mas, kalau tidak mengaji, apa yang harus dibanggakan? Kalah dengan orang Nokromo. Ya kalah kuat, ya kalah uang”.

Kutipan di atas adalah pesan-pesan dari KH Mas Umar Baidlowi yang disampaikan untuk memberi semangat kepada para anggota keturunan Bani Hajji. Memang seperti itulah yang seharusnya dilakukan oleh mereka yang memiliki garis nasab keturunan tokoh besar. Mereka harus mampu menjaga martabat sang tokoh tersebut dengan akhlak dan ilmu. Bukan malah menggantungkan nasib dengan ‘menjual’ nama besar sang tokoh utama, merasa lebih tinggi dari yang lain, lalu minta dihormati layaknya sang tokoh tersebut. Rasulullah SAW sendiri telah melarang seseorang membanggakan keturunannya.

Keturunan adalah soal takdir. Tidak ada orang yang dapat meminta atau menolak untuk dilahirkan atau tidak dilahirkan sebagai anak tokoh tertentu. Tinggal bagaimana cara menyikapi ketika mereka mendapatkan takdir itu. Orang bijak biasanya malah merasa berat ketika terlahir sebagai keturunan orang penting, sebab ia harus menjaga martabat kakek moyangnya dengan berakhlakul karimah. “Oleh karena kamu keturunan Sunan Giri, kamu tidak boleh berbuat dosa, malu sama kakekmu,” begitu biasanya orang tua bijak menasehati putranya.   

Halal bihalal, konon, pertama kali dilakukan oleh Presiden Soekarno atas inisiatif dari KH Abdul Wahab Hasbullah. Di saat Bung Karno merasa galau lantaran banyak perbedaan pandangan seputar bentuk negara dan ancaman disintegrasi bangsa yang tampak semakin nyata, Kiai Wahab mengusulkan agar diadakan acara Halalun Bihalalin, yakni saling merelakan atau menghalalkan peristiwa masa lalu berganti dengan rekonsiliasi.

Bung Karno setuju. Beberapa waktu kemudian digelarlah acara itu di istana kepresidenan. Beberapa kalangan dari banyak aliran, bahkan mereka yang bukan muslim sekalipun, berkenan datang untuk saling bersalaman. “Istilah kita saat itu ya kosong-kosong,” kata KH A Hasib Wahab, salah seorang putra Kiai Wahab. Maksud dari kalimat itu adalah saling memaafkan segala perbedaan dan kesalahan yang telah dilakukan sebelumnya.

Kini acara halal bihalal telah berkembang luas. Tidak hanya di kampung, tapi juga dilangsungkan oleh para pejabat tinggi negara di kantor-kantor pemerintahan, perusahaan dan tempat-tempat lain. Para pemilik garis keturunan tokoh tertentu biasanya juga memanfaatkan momentum halal bihalal di bulan Syawal ini untuk menyambung kekerabatan mereka, yang sebenarnya di negeri Arab sendiri malah tidak ada. “Inilah kekhasan yang dimiliki bangsa ini dibandingkan dengan bangsa manapun di dunia,” kata Gus Hasib yang mantan anggota DPR RI dari PDIP itu.

Inilah salah satu kekayaan khas muslim Indonesia. Inti acara adalah halal bihalal dan silaturahmi, namun dalam kemasan yang berbeda-beda. Masihkah ada yang bilang bid’ah? Ah, sudah tidak jaman, om.

Baca ulasan lengkapnya di Majalah NU Aula edisi Agustus 2012, baca juga liputan lainnya :

Ummurrisalah :
Serba Serbi Perkumpulan Bani (hal 9)
Beda Keluarga, Beda Acara (hal 11)
Untung Rugi Perkumpulan Bani (hal 16)
Agar Perkumpulan Tetap Lestari (hal 17)

Refleksi : Surga (hal 8)

Ihwal Jam’iyah : Kader Pembela Aswaja Telah Lahir (hal 19)
Tidak salah ucapan Sekjen PBNU Dr H Marsyudi Suhud, bahwa NU Jawa Timur adalah teladan. Apa yang dimunculkan oleh Jawa Timur (hampir pasti) akan dijadikan pilot project oleh PBNU untuk daerah lain. Kali ini Jawa Timur menggelar Olimpiade Aswaja. Menarik, sekaligus dapat dicontoh.

Liputan Khusus : Kongres II IPSNU Pagar Nusa di Lamongan (hal 21)
Kepemimpinan Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama (IPSNU) Pagar Nusa telah memasuki episode baru. Terpilihnya H Aizuddin Abdurrahman sebagai ketua umum dalam kongres yang lalu diyakini akan banyak memberikan nuansa baru dalam organisasi para pendekar NU ini.

Tokoh : Drs KH Mas’ud Yunus (hal 25)
Berada di luar lingkaran NU membuat orang dapat melihat NU dari sisi lain yang mungkin lebih netral. Kondisi itu saat ini dialami oleh tokoh kita kali ini. Dari sudut itu pula akhirnya ia menginginkan agar orang-orang NU (kelak) terlihat lebih gagah. Seperti apa?

Bahsul Masail : Penukaran Uang Jelang Lebaran (hal 28)
Kajian Aswaja : Menyirikkan Orang Shalat di Kuburan (hal 30)

Uswah : KH Bisri Musthofa (hal 32)
Sebagai tonggak perjuangan masyarakat, ulama selalu menjadi sosok yang terdepan dalam melawan penjajahan. Ia menjadi panutan dan pembimbing di tengah jalan kegelapan. Begitu pula yang diperankan oleh KH Bisri Musthofa.

Nisa’ : Isti Zusrianah (hal 36)
Di lingkungan rumahnya, Isti Zisrianah memang dikenal sebagai guru TK biasa. Tapi ketika keluar rumah, namanya dikenal sebagai aktivis organisasi perempuan yang handal. Ia mengawali kiprah kepemimpinan dari bawah hingga dipercaya sebagai Ketua PW Fatayat NU DI Yogyakarta. Tapi ia masih tidak mau melepaskan profesinya sebagai guru TK. Kenapa?

Pesantren : Ponpes Riyadhul Jannah Mojokerto (hal 38)
Pesantren ini tak hanya membekali para santri dengan kemantaban ilmu agama dan akhlakul karimah. Tapi juga memberikan doktrinasi supaya para santri menjadi pengusaha muslim yang handal. Dengan cara apa?

Pendidikan : MA Unggulan Nurul Islam (hal 40)
Di tengah gempuran sekte keagamaan yang datang dari semua lini. Sudah sepatutnya warga NU mewaspadainya. Maka, membentengi generasi muda mutlak dilakukan. Sebagaimana yang dipraktekkan oleh MA Unggulan Nurul Islam Jember hingga mampu mencetak kader unggul yang menguasai Ahlussunnah wal Jamaah dan hujjahnya di luar kepala.

Kancah Dakwah : Usai Pembakaran, Muallaf Kian Merana (hal 42)
Tragedi pembakaran mushala Insan Kamil Oktober tahun lalu, membuat kondisi muallaf memprihatinkan. Beberapa kepala keluarga tidak lagi menetap. Ingin tahu kisah lengkapnya?

Muhibah : Kesempatan Beasiswa Luar Negeri Terbuka Luas (hal 44)
Apresiasi banyak kalangan kepada NU sungguh luar biasa, khususnya di belahan dunia. Untuk kesempatan dan tawaran ke luar negeri misalnya, sangat terbuka luas. Mampukah kesempatan itu dioptimalkan? Apa saja yang perlu disiapkan menyambut kesempatan itu? Semoga informasi ini membuka cakrawala kita bersama.

Khazanah : Keajaiban di Setiap Tetes Air Zam-Zam (hal 47)
“Sebaik-baiknya air di muka bumi  ialah air Zam-Zam. Padanya ada makanan yang menyegarkan dan penawar bagi segala penyakit.” (HR. Ibnu Abbas Radhiallaahu ‘anhu)

Nuansa : Sumbangsih Kampung Tangguh Nahdliyah (hal 49)
Taraf hidup dan kualitas kesejahteraan masyarakat harus terus meningkat. NU sebagai ormas terbesar di Indonesia ini, mengupayakan membentuk kampung tangguh nahdliyyah di tengah masyarakat Indonesia.

Aktualita : Pertemuan Aktivis Guru dan Mahasiswa (hal 51)
Jawa Timur menjadi tuan rumah kegiatan berskala nasional. Di antaranya pertemuan para pegiat guru dan mahasiswa NU. Pertanda bahwa jam’iyah ini terus bergeliat, dan wilayah ini sangat kondusif menjadi tuan tumah yang baik untuk kegiatan besar.

Mimbar Idul Fitri (hal 53)

Wawasan : Meneguhkan Peran Pemimpin Umat
oleh Prof Dr KH Malik Madani, Katib Am Syuriah PBNU (hal 55)

Sembilan : Menteri Agama dari NU (hal 57)
Sebagai organisasi yang memiliki kontribusi besar bagi corak dan bentuk negara, ditambah dengan jumlah anggota yang demikian besar, sudah sewajarnya keberadaan NU diperhatikan. Termasuk dalam seleksi Menteri Agama RI. Berikut Sembilan di antara mereka.

Sekilas Aktivitas (hal 59)

Sabtu, 07 Juli 2012

AULA Juli 2012


Ketika Umrah Ramadlan Jadi Pilihan

Antrian calon jama’ah haji di Indonesia makin panjang saja. Di daerah tertentu mencapai 13 tahun lamanya. Itupun mereka harus melunasi pembayaran seat lebih dulu yang jumlahnya juga tidak sedikit. Seiring dengan itu, umrah Ramadlan makin laris saja. Persaingan ibadah dan bisnis pun makin sulit dipisahkan.

Suatu ketika di Kabupaten Sidoarjo. Ada sebuah travel perjalanan wisata yang menawarkan paket umrah bersama Gus Abid (nama samaran seseorang yang cukup terkenal). Karena nama Gus Abid sedang ngetrend di tengah masyarakat, banyak orang terpikat dengan tawaran itu. Dalam waktu singkat banyak warga yang mendaftarkan diri dengan harapan dibimbing langsung oleh Gus yang banyak dikagumi orang tersebut. Sesuai rencana, mereka pun berangkat bersama Gus Abid.

Tapi apa yang terjadi kemudian, sepulang umrah bukannya mereka merasa puas, justru malah  banyak menumpahkan kekesalannya kepada orang lain. Kok bisa? “Di sana Gus Abid hanya diam, tidak membimbing, tidak ngurus jama’ah, seperti tidak kenal dengan kami, hanya mikir dirinya sendiri,” keluh salah seorang jama’ah. “Gus Abid hanya sibuk dengan dirinya sendiri,” keluh peserta yang lain. Rupanya keluhan serupa banyak berdatangan dari anggota rombongan yang lain. Secara kasat mata mereka tampak menyesal dan merasa diakali oleh travel yang memberangkatkan.

Yah, di sinilah tampak kepiawaian sales travel tersebut dalam memasarkan paket umrahnya. Ia sengaja ‘menjual’ Gus Abid untuk menarik konsumen agar mau berumrah melalui biro perjalanan miliknya. Dengan begitu ia mendapatkan untung besar, sementara Gus Abid tidak mau tahu dengan urusan itu. Akhirnya masyarakatlah yang menjadi korban. Travel untung, Gus Abid untung, masyarakat buntung.

Umrah adalah amalan yang sangat dianjurkan, sedangkan Ramadlan merupakan bulan paling mulia. Umrah di bulan Ramadlan adalah amalan yang sangat mulia dan sangat dianjurkan. Sebuah Hadits Rasulillah SAW yang masyhur dan shahih menyebutkan: “Barangsiapa yang umrah bersamaku di bulan Ramadlan nilainya sama dengan pergi haji bersamaku.” (HR Bukhari dalam Fathul Baari 4/ 74). Juga: “Jika bulan Ramadlan telah tiba, tunaikanlah umrah, sebab umrah di bulan Ramadlan menyamai ibadah haji.” (HR Bukhari Hadits No. 1782 dan Muslim Hadits No. 1258).

Banyak kelebihan yang didapat dalam umrah Ramadlan, karena bulan Ramadlan merupakan bulan istimewa; amal sunnah dinilai seperti amal wajib dan amal wajib pahalanya dilipatgandakan berlipat-lipat. Ramadlan juga merupakan kesempatan untuk koreksi diri dan memohon ampun atas segala dosa. Karena itulah umrah dalam bulan ini sangat dianjurkan bagi mereka yang mampu.

Baca ulasan lengkapnya di Majalah AULA Tab’ah Juli 2012, dapatkan juga liputan lainnya:

Ummurrisalah:
Ketika Umrah Ramadlan Jadi Pilihan (hal 9)
Berlomba Melayani Tamu Allah (hal 11)
Pengalaman Spiritual dengan Layanan Plus (hal 13)
Prof  Dr KH Ali Musthafa Ya’qub, MA: Waspadai Provokator Umrah (hal 15)
Prof Dr H Ahmad Zahro, MA: Jangan Semata Motivasi Bisnis (hal 17)

Assalamu’alaikum (hal 4)
Refleksi (hal 5)
Kotak SMS (hal 6)
Surat Pembaca (hal 7)

Ihwal Jam’iyah: Mantapkan Aswaja NU Sesuai Mainstream Indonesia (hal 19)
Dalam usia yang ke-89, Nahdlatul Ulama mengambil posisi strategis untuk memantapkan Aswaja sesuai mainstream NKRI. Banyaknya aliran keagamaan yang masuk ke Indonesia, membuat NU harus bekerja keras dalam menghadapi permasalahan ini. Mirip dengan suasana ketika pertama kali NU didirikan.

Liputan Khusus: Uji Kesabaran di Akhir Bulan (hal 21)
Penghujung bulan Mei lalu menjadi catatan tersendiri bagi keluarga besar PWNU Jawa Timur. Itu karena dua peristiwa kekerasan menimpa warganya. Pertama, di kawasan Mataraman Banser dibacok anggota Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT); kedua, di tapal kuda pengurus NU dilarang mengadakan pengajian hingga terjadi pembacokan di bagian kepala.

Tokoh: Prof Dr Rochmat Wahab, MA, MPd; Pendidikan sebagai Lompatan Hidup (hal 25)
Rochmat Wahab kecil lahir dari seorang ayah yang berprofesi sebagai petani di Jombang. Gigihnya perjuangan dan doa membuahkan lompatan hidup yang luar biasa. Berhasil meraih gelar profesor, menjadi rektor di universitas ternama dan Ketua PWNU. Bagaimana caranya?

Bahsul Masail: Puasa di Bulan Rajab (hal 28)
Kajian Aswaja: Keabsahan Tradisi Nishfu Sya’ban (hal 30)

Uswah: TMA Panglima Polim; Perintis NU Aceh yang Terlupakan (hal 32)
Sejak masa-masa awal kerajaan Islam, seluruh masyarakat, ulama dan para raja di Aceh adalah penganut madzhab Syafi’i yang taat. Namun tidak banyak orang tahu jika NU secara resmi masuk ke wilayah ini malah belakangan. Dibawa oleh salah seorang keluarga bangsawan kerajaan. Dia adalah TMA Panglima Polim

Nisa’: Hj Mutmainnah; Tetap Tirakat untuk Anak (hal 36)
Setiap orang tua selalu menginginkan anak-anaknya sukses. Untuk menjadikan mereka berhasil menggapai cita-cita, biasanya orang tua rela melakukan riadlah batiniah dan mendekat kepada orang-orang alim agar mendapatkan bimbingan. Sudah begitu, ketika anak telah sukses, orang tua malah tidak mau ngeriwuki. Kisah seperti itulah yang dijalani Hj Mutmainnah ini.

Pesantren: PP Darussa’adah Gubuk Klakah;  Berkah dari Ketaatan pada Habib (hal 38)
Bermula dari daerah merah dan Islam sebagai minoritas, pesantren itu didirikan dengan penuh keprihatinan. Tak kurang dari 40 orang telah gagal berdakwah di sana, kalah oleh kerasnya black magic orang pegunungan. Namun, rupanya kesuksesan dakwah baru dialami oleh orang ke-41. Dia adalah Nur Hasanuddin.

Pendidikan: MTs NU Joho Nganjuk; Jihad Akademis di Lereng Gunung Wilis (hal 40)
Mengelola lembaga pendidikan di pedalaman memang penuh tantangan. Bukan murid butuh sekolah, tapi sekolah yang harus mencari murid. Perjuangan itu pernah dilewati oleh MTs NU Joho yang berada di kawasan pegunungan. Alhamdulillah, kini kondisinya sudah jauh lebih baik. Bagaimana caranya?

Kancah Dakwah: Menyapa Mereka yang Ditinggal (hal 42)
Tidak banyak mubaligh yang mau tinggal bersama masyarakat binaannya di pelosok pegunungan. Biasanya mereka lebih suka tinggal di kota, di tengah komunitas masyarakat yang sudah islami. Tapi lain halnya dengan da’i kita ini. Ia dengan telaten menemani masyarakat binaannya di atas gunung dan berkabut selama bertahun-tahun.

Muhibah: Menemukan “Islam” di Swiss (hal 44)
Wakil Pemimpin Umum Majalah AULA Abdul Choliq Baya pada 10-24 Mei 2012 lalu mengunjungi enam negara di Eropa Barat; Jerman, Belanda, Belgia, Perancis, Swiss dan Italia. Berikut hasil laporan perjalanannya selama di Swiss semoga bisa dipetik hikmahnya.

Mimbar Aula (hal 47)

Nuansa: Ramadlan Berkah dengan Ngaji Kilatan (hal 49)
Ada yang berbeda dari bulan penuh berkah ini. Ya Memasuki Ramadhan, beberapa pesantren menyelenggarakan kilatan kitab kuning. Targetnya adalah bisa mengkhatamkan kitab-kitab besar dalam hitungan hari.

Wirausaha: Prospek Rebana Makin Cerah (hal 51)
Siapa bilang pengrajin rebana tinggal menghitung hari untuk gulung tikar. Tanpa banyak diketahui orang, ternyata masa depan mereka makin cemerlang. Pesanan terus datang, bahkan sampai kewalahan. Ternyata semua itu berkaitan erat dengan Gus Dur. Lho, kok bisa?

Lentera: Pakar Astronomi dan Matematika (hal 53)
Ibrah: Pidato Kiai Hasyim yang Menghebohkan (hal 54)
Wawasan: Perjanjian Hudaibiyah, NKRI dan Khilafah (hal 55)

Sembilan: Pesepakbola Muslim Terelit di Eropa (hal 58)
Gemerlap turnamen EURO 2012 baru saja berlalu. Permainan para bintang yang meliuk-liuk di atas lapangan mampu menyihir sebagian besar pasang mata di seluruh dunia. Di antara mereka, ada beberapa pemain yang beragama Islam. Mereka berhasil menembus persaingan ketat masuk ke klub elit maupun tim nasional di negara mereka.

Sekilas Aktivitas (hal 60)
Rehat: Habib Umar & Hj Siti Aniroh (hal 66)

Sabtu, 02 Juni 2012

AULA Juni 2012


MENELADANI PARA PENDIRI

Banyak peneliti luar negeri merasa heran dengan NU. Itu karena tidak sedikit yang tidak masuk akal terjadi di NU dan berlangsung sepanjang sejarah perjalanan organisasi ini. Sampai kini misteri itu masih juga banyak yang belum menemukan jawab. Maklum, NU didirikan penuh dengan iringan do’a dan tirakat para auliaillah, bukan dengan pesta dan hura-hura. Namun, masihkah semua itu dilakukan?

Pada 16 Rajab ini Nahdlatul Ulama telah genap memasuki usianya yang ke-89 tahun. Usia yang cukup matang untuk perjalanan sebuah organisasi. Memang kadang masih ada orang bimbang, Harlah (hari lahir) NU yang benar mana: ke-85 atau ke-89, tanggal 16 Rajab atau 26 Januari, hijriyah atau masehi? Jawaban pertanyaan itu sebenarnya sudah tertulis di Anggaran Dasar NU Bab I pasal 2, bahwa Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 hijriyah. Artinya, Harlah NU saat ini adalah yang ke-89.

Warga NU selayaknya lebih banyak mengucap syukur lagi karena organisasi yang mereka banggakan itu kini makin besar, makin banyak jumlah anggotanya dan makin diperhitungkan keberadaannya. Para pejabat yang cukup lama tiarap pun kini sudah tidak takut-takut lagi mengaku sebagai orang NU. Kalau mau teliti, kata seorang kiai, sebenarnya NU tidak hanya organisasi Islam terbesar di Indonesia, tapi sekaligus terbesar di dunia.

Kebesaran NU tidaklah datang begitu saja. Namun kebesaran itu dilalui dengan penuh riadlah batiniyah, perjuangan fisik dan pengorbanan para kiai di dalamnya. Setiap zaman selalu membutuhkan pengorbanan. Di masa rintisan, para kiai harus hilir-mudik berkeliling tanah Jawa untuk mempersatukan langkah. Mereka harus rela masuk ke pelosok-pelosok pedesaan untuk menjelaskan pentingnya pembentukan wadah perjuangan bersama.

Di masa perang kemerdekaan pondok-pondok pesantren yang menjadi tempat tinggal para kiai harus disulap menjadi markas perjuangan. Hal itu bukan tanpa risiko, karena mata-mata penjajah selalu ada di mana-mana. Tidak sedikit santri gugur di medan perang, tidak sedikit pula kiai yang harus menjalani siksaan di penjara penjajah demi mempertahankan kehormatan mereka.

Di saat menjelang peristiwa G 30 S/ PKI tahun 1965 merupakan tahun-tahun yang menegangkan. Setiap saat jiwa para kiai dan pengurus NU dapat melayang menghadapi penculikan orang-orang PKI dan kaki tangannya. Itu karena para kiai telah terdaftar dalam dokumen “7 Setan Desa” yang harus dilenyapkan oleh mereka. Kalau sekarang ada anak-anak NU yang membela eks aktifis partai komunis dan menjadikan mereka sebagai korban yang harus dibela, dimungkinkan karena dua hal; pertama, karena ketidaktahuan dan kedua, karena faktor gerojokan dana dari funding luar negeri yang membuat nanar mata mereka. Mereka menganggap peristiwa itu hanya dari sisi kemanusiaan semata, tanpa melihat bagaimana nyawa kiai di desa-desa terancam setiap saat.

Berkat do’a dan kebersihan jiwa merekalah NU tetap bertahan dan makin besar seperti sekarang. Dari rangkaian sejarah yang panjang itu KH Abdul Muchith Muzadi (Mbah Muchith) meyakini kalau NU bukanlah organisasi sembarangan. “Ibarat nyawa, nyawanya NU itu rangkap. Banyak yang tidak masuk akal namun terjadi di NU,” tutur Mbah Muchith suatu ketika. Mereka yang mempermainkan NU pun – melihat banyak contoh yang ada – biasanya akan kualat. Hidup mereka berantakan. Na’dzubillah. Karena di NU masih banyak orang yang berhati ikhlas.

Memasuki bulan Harlah biasanya tidak lepas dari acara syukuran, tirakatan dan muhasabah (introspeksi). Ibarat sedang menempuh perjalanan panjang, perlu dilakukan evaluasi: apakah jalan yang diambil sudah benar, sudah sampai di mana, strategi apa lagi yang akan dipergunakan, kira-kira kapan sampai di tujuan? Itulah sebagian dari bahan dasar muhasabah yang perlu dilakukan di hari Harlah.

Ikuti ulasan lengkapnya di Majalah NU Aula edisi Juni 2012, dengan topik utama “Meneladani Para Pendiri”, ikuti juga liputan lainnya tentang:

Ummurrisalah:
Meneladani Para Pendiri (hal 9)
Kisah Dibalik Nama dan Lambang (hal 11)
Mereka yang Teguh di Lapangan (hal 15)
NO Tempo Doeloe (hal 18)

Refleksi (hal 8)

Ihwal Jam’iyah: Khotmil Qur’an Bersama Tuna Wicara (hal 20)               
Keterbatasan fisik jangan sampai dijadikan alasan untuk tidak bisa belajar agama, khususnya mendalami Al-Qur’an. Para tuna wicara saja bisa mengkhatamkan kitab suci umat Islam ini dengan sempurna. Sebuah rintisan yang layak diapresiasi.

Liputan Khusus: Persoalan Syi’ah Sampang Belum Selesai (hal 22)
Merasa tidak puas dengan penanganan kasus Tajul Muluk di Kabupaten Sampang dan dikhawatirkan kasusnya malah akan melebar, banyak kiai ingin ‘wadul’ pada Kiai Sahal. Mereka ingin agar Ketua Umum MUI Pusat yang sekaligus Rais Am PBNU itu bertindak jelas dan tegas kepada aliran Syi’ah. Benar juga, mereka berangkat secara bersamaan. Bagaimana hasilnya?

Tokoh: Dr Ir H Irnanda Laksanawan, MSc.Eng (hal 24)
Sosoknya sederhana namun punya visi dan komitmen yang tinggi. Meski memiliki jabatan strategis namun tetap nyaman bergaul dengan banyak kalangan, termasuk dengan para kiai dan masyarakat bawah. Prinsipnya, bisa bermanfaat untuk siapa saja. Khusus kepada NU, dia punya harapan besar.

Bahsul Masail: Puasa di Bulan Rajab (hal 28)
Kajian Aswaja: Qunut Subuh, Benarkah Menyalahi Sunnah? (hal 30)

Uswah: KH Abdul Wachid Hasyim (hal 32)
KH Abdul Wachid Hasyim dengan kiprah dan pemikirannya telah berkontribusi bagi perjuangan kemerdekaan dan pembangunan Indonesia. Laku kehidupannya senantiasa memberi spirit dan semangat yang perlu kita teladani. Namun perannya seringkali dinafikan oleh para sarjana dari kalangan modernis. Mari mengenal ayah Gus Dur ini lebih dalam.

Nisa’: Hj Fatmah Assegaf (hal 36)
Berjuang dengan ikhlas, jujur dan istiqamah. Itulah prinsip hidup yang dimiliki oleh Hj Fatmah Assegaf. Di usia senjanya, wanita keturunan Jawa dan Yaman ini tetap bersemangat mengurus rumah sakit yang didirikan NU.

Pesantren: Ponpes Putri Salafiyah Bangil (hal 38)
Pondok Pesantren Putri Salafiyah Bangil terkenal sebagai pesantren yang mendidik generasi da’iyah handal. Mencetak kader dakwah putri yang bertakwa, berbudi luhur, berintelektual tinggi dan konsisten di jalan Allah. Telah terbukti banyak alumni yang menjadi penyiar agama.

Pendidikan: MTs Al-Musthofa Canggu, Mojokerto (hal 40)
Di tengah makin tingginya kompetisi dunia pendidikan, sekolah-sekolah dituntut semakin kreatif untuk meningkatkan daya saing. Salah satunya melalui kegiatan ekstra, seperti yang dilakukan oleh MTs Al-Musthofa Canggu. Seperti apa?
Kancah Dakwah: Geliat Dakwah di Ujung Negeri (hal 42)
Berdomisili  di perbatasan negara identik dengan kesengsaraan. Selain karena terpencil dan jauh dari pusat ibu kota, wilayah ini juga kental dengan gerakan kristenisasi. Lebih-lebih di Indonesia timur. Yang sekan-akan menutup asa bagi kita (umat Islam) untuk melantunkan dakwah di sana. Namun tidak bagi Kiai Kamali, kegigihannya berdakwah membawanya pada perjuangan di ujung negeri.

Muhibah: Sowan ke Masjid Tertua di AS (hal 44)
Sebagai negara adi kuasa, Amerika Serikat menyimpan banyak hal. Berkunjung ke negara pimpinan Barrak Obama yang demikian luas, pasti menyisakan banyak hal menarik. Hal positif inilah yang akan diceritakan Mufti Rasyid Maskub kepada pembaca Aula.

Khazanah: Gandum; Media Pengobatan Nabi (hal 47)
Beberapa iklan promosi tentang gandum mulai marak di beberapa media. Sayangnya, hanya sedikit di antara kita yang memahami kandungan serta manfaat dari makanan sarat nutrisi ini.

Nuansa: Terkesima Cucu Syaikh Abdul Qadir (hal 49)
Bertemu dengan cucu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani demikian istimewa. Apalagi sampai berkenan memberikan pandangan seputar Islam di tanah air, khususnya NU. Berikut catatan Murtadji Djunaidi khusus kepada Aula.

Aktualita: Rapimnas LTM-NU Bertabur Bintang (hal 51)
Sudah cukup lama Palangkaraya tidak tersentuh acara besar NU. Meski secara faktual orang NU mayoritas, namun mereka lemah dalam banyak sisi. Soal masjid misalnya, dari 82 masjid yang ada di kota itu, hanya 4 milik “mereka”, selebihnya dikelola ala NU. Tapi sayang, belum satu pun yang bernadzir NU. Belum lagi sisi politik.

Lentera: Al-Khawarizmi Bapak Matematika Dunia (hal 53)
Sejarah adalah milik para penguasa. Itu adalah kalimat yang tepat demi menggambarkan bahwa bangsa Barat telah merampas banyak penemuan dari dunia Islam yang kemudian diklaim atas nama mereka.

Ibrah: Guru Menjadi Murid, Murid Menjadi Guru (hal 54)

Wawasan: Mencari Sekolah, Merenda Masa Depan (hal 55)

Sembilan: Ulama Penyangga Akidah Umat (hal 58)
Sumbangsih terbesar yang diberikan para ulama Nusantara terdahulu adalah keteguhan mereka dalam menjaga aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Kalau sekarang banyak serangan terhadap keberadaan Aswaja, ada baiknya belajar dari metode dan kiprah mereka. Berdebat secara elegan dengan buku dan kitab, bukan dengan kekerasan.

Sekilas Aktivitas (hal 60)
Rehat: KH Mutawakkil Alallah & A Wazir Wicaksono (hal 66)