Kamis, 26 Juli 2012

Dasar Amaliah di Bulan Ramadlan (3)


Tadarus

Pelaksanaan tadarus Al-Quran pada malam bulan Ramadlan pada hakikatnya adalah mengamalkan ajaran Nabi  SAW untuk menghidupkan malam bulan Ramadlan. Sebagaimana tersebut dalam riwayat Imama Al-Bukhari no 1870 pada pembahasan shalat tarawih di atas.

Yang dimaksud dengan memeriahkan malam bulan Ramadlan, menurut Al-Shan’ani:
“Yang dimaksud dengan qiyam Ramadlan (dalam Hadits itu adalah) mengisi dan memeriahkan malam bulan Ramadlan dengan melakukan shalat atau membaca Al-Quran.” (Subul Al-Salam, juz II, hal 173)

Keterangan dari Hadits serta penafsiran para ulama tersebut adalah bersifat sangat umum. Segala bentuk usaha untuk menghidupkan malam bulan Ramadlan adalah sangat dianjurkan, tidak ada perbedaan apakah dilakukan sendiri-sendiri ataupun bersama-sama. Misalnya tadarus Al-Quran. Syaikh Nawawi Al-Bantani mengatakan:
“Termasuk  membaca Al-Qur’an (pada malam Ramadlan) adalah mudarasah (tadarus), yang sering disebut pula dengan idarah. Yakni seseorang membaca pada orang lain. Kemudian orang lain itu membaca pada dirinya. (yang seperti ini tetap sunnah) sekalipun apa yang dibaca (orang tersebut) tidak seperti yang dibaca orang pertama.” (Nihayah Al-Zain, 194-195)

Kesimpulan Syaikh Nawawi ini didasarkan pada dua dalil. Pertama, Hadits shahih yang menganjurkan untuk melakukan perkumpulan yang di dalamnya dilaksanakan tadarus.
“Dari Abi Hurairah RA ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Apabila berkumpul suatu kaum di dalam sebuah masjid/ mushalla sembari membaca Al-Quran dan bertadarus di antara mereka maka Allah SWT akan menurunkan ketentraman hati dan memberikan rahmat kepada mereka serta memberi perlindungan kepada mereka, karena Allah bangga kepada mereka. (HR. Muslim, juz 3 hal. 208 [2620]).

Kedua, walaupun dalam bentuk yang sedikit berbeda, Rasulullah SAW melakukan tadarus bersama Malaikat Jibril. Dalam sebuah Hadits disebutkan:
“Dari Ibn Abbas RA bahwa Rasululah SAW adalah orang yang paling pemurah. Sedangkan saat yang paling pemurah bagi beliau pada bulan Ramadlan adalah pada saat Malaikat Jibril mengunjungi beliau. Malaikat Jibril selalu mengunjungi Nabi SAW setiap malam bulan Ramadlan, lalu melakukan mudarasah (tadarus) Al-Quran bersama Nabi. Rasul SAW ketika dikunjungi Malaikat Jibril, lebih dermawan dari angin yang berhembus.” (Musnad Ahmad [3358])

Dapat disimpulkan bahwa tadarus yang dilakukan di masjid-masjid atau di musholla pada malam bulan Ramadlan tidak bertentangan dengan agama dan merupakan perbuatan baik, karena sesuai dengan tuntunan dan ajaran Nabi SAW. Jika dirasa perlu menggunakan pengeras suara, agar menambah syi’ar agama Islam, hendaklah diupayakan sesuai dengan keperluan dan jangan sampai mengganggu pada lingkungannya, supaya esensi syi’ar tersebut bisa diraih.

 Yang perlu tetap ditekankan oleh orang yang membaca Al-Quran adalah menjaga makharijul huruf dan tajwidnya harus sesuai dengan aturan yang sudah baku. Tidak terburu-buru karena ingin mengejar jumlah hataman dalam satu bulan, sehingga melalaikan aspek bacaan.

Juga diperlukan memahami dan menghayati arti daripada setiap ayat yang dibaca agar memperoleh tambahan ilmu, memperkokoh keimanan dan menambah semangat dalam beribadah. Anjuran untuk memahami makna Al-Quran pada setiap ayat itu memang diperintahkan sebagaimana dalam firman Allah SWT berikut ini:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memahami ayat-ayat dan agar mendapatkan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS. Shaad, 29)

Dengan jelas ayat tersebut menganjurkan agar setiap pembaca Al-Quran memahami dan menghayati makna yang tekandung di dalamnya. Pengertian ini bukan berarti bahwa orang yang membaca Al-Quran yang tidak memahami maknanya itu tidak dinilai sebagai ibadah. Siapapun yang membaca Al-Quran tetap saja bernilai ibadah dan setiap ibadah itu berpahala. Adapun dasarnya ialah hadits Nabi SAW:
“Dari Ibnu Mas’ud RA, ia berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa membaca satu huruf dari Al-Quran, maka dia akan mendapatkan satu kebaikan dan kebaikan tersebut berlipat sepuluh kali, sebagai contoh ketika aku membaca “alif laam miim” itu tidak dihitung satu huruf tetapi alif, laam, miim masing-masing di hitung satu huruf” (HR. Tirmidzi, juz 1 hal. 496)

Dalam Hadits tersebut diterangkan bahwa membaca satu huruf Al-Quran itu sudah berpahala, meskipun  yang dibaca satu huruf itu tidak  ada makna yang bisa diserap artinya. Itulah sebabnya ulama menyatakan bahwa membaca Al-Quran walaupun tidak paham pada artinya tetap dinilai sebagai ibadah yang berpahala (Al-Burhan fi Ulum Al-Quran, hal. 133). Tetapi  bagi setiap pembaca Al-Quran itu wajib berusaha memahami dan menghayati makna yang terkandung di dalam Al-Quran agar Al-Quran benar-benar menjadi pelita hati dan penerang jiwa dalam merengkuh kehidupan yang bahagia baik di dunia dan di akhirat.

*) Dimuat di Majalah NU Aula edisi Juli 2011.

Dasar Amaliah di Bulan Ramadlan (2)


Pelaksanaan Witir

Tentang pelaksanaan shalat witir tiga  rakaat dengan dua kali salam ialah berdasarkan Hadits riwayat ‘Aisyah RA yang menerangkan bahwa Nabi SAW ketika melaksanakan shalat witir dilakukan setiap dua rakaat diakhiri dengan salam dan yang terakhir satu rakaat diakhiri dengan salam juga. Sebagaimana tertera dalam Hadits:
“Dari ‘Aisyah RA, “Rasulullah SAW melaksanakan shalat witir setelah shalat isyak sebanyak 11 rakaat, yang dilakukan dengan satu salam setiap dua rakaat, dan terakhir satu rakaat.” (Shahih Muslim, 1216)

Setelah shalat witir disunnahkan membaca dzikir dan do’a. Di dalam Hadits dijelaskan:
Dari Ubay bin Ka’b ia berkata, Rasulullah SAW melaksanakan shalat witir tiga rakaat dengan membaca surat Al-A’la , Al-Kafirun dan al-Ikhlas, kemudian qunut sebelum ruku’. Setelah salam beliau membaca, “Subhanal malikil quddus” tiga kali, kemudian pada bacaan terakhir mengeraskan suaranya seraya membaca  “Robbil malaikati war ruh”  (Sunan Al-Kubro lil Baihaqi, juz III hal 40)

Di dalam Hadits yang lain:
Dari Ali bin Abi Thalib ra ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW membaca “Allahumma inni audzu bika biridhoka……” di akhir shalat witir. (Sunan Abi Dawud, juz I hal 537)

Berdasarkan dua Hadits ini, Imam Nawawi menjelaskan:
Setelah shalat witir sunnah membaca “subhanal malikil quddus” tiga kali. Kemudian membaca “Allahumma inni a’udzubika…….. dua doa ini  terdapat di dalam sunan Abi Dawud dan lainnya” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz IV hal 16)

Selain dua dzikir ini, kemudian ditambah dengan bacaan yang dianjurkan ketika lailatul qodar dengan harapan semoga kita bisa mendapatkan malam yang mulia ini. Dzikir yang dimaksud adalah sabda Nabi SAW:
Dari Aisyah ia berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, bagaimana pendapatmu jika aku mengetahui lailatul qodar. Apakah yang akan aku baca? Nabi SAW menjawab,”Bacalah allahumma innaka afuwwun karimun tuhibbul afwa fa’fu anni” (Sunan Al-Tirmidzi, juz V hal534 ).

Perlu diketahui bahwa tidak ada larangan berdo’a dengan redaksi yang tidak ada teksnya dari al-Quran dan al-Hadits sepanjang isi do’a tersebut berupa permohonan yang baik. Penambahan atau pembuatan redaksi dzikir dan do’a bukan sesuatu yang dilarang di dalam agama. Pada masa Rasululullah SAW, ada seorang sahabat yang menambah sendiri dzikir di dalam shalat, dan Rasul tidak menyalahkannya. Diceritakan dalam Hadits:
“Dari Rifa’ah bin Rafi’ Al-Zuraqi, pada suatu hari ketika kami shalat berjamaah dengan Nabi SAW. Pada saat Nabi SAW mengangkat kepalanya dari ruku’ seraya membaca “sami’allahu liman hamidah”, seorang laki-laki di belakang Nabi SAW membaca “robbana wa lakal hamdu hamdan katsiran thoyyiban mubarokan fihi” (Tuhan kami, dan bagi-Mu segala pujian, dengan pujian yang banyak, baik dan diberkahi). Setelah shalat, Nabi SAW kemudian bertanya, ”Siapakah yang membaca do’a seperti tadi itu?” Laki-laki itu menjawab, “Saya”. Nabi SAW bersabda, “Saya melihat sekitar tiga puluh malaikat berebutan untuk menjadi yang pertama menulis pahala dari bacaan tersebut.” (Shahih Al-Bukhari, juz II, hal. 287 [766]).

Di dalam kitab Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqallani menjelaskan:
“Ulama menjadikan Hadits ini sebagai dalil kebolehan membaca dzikir di dalam shalat walaupun tidak ma’tsur (tidak dicontohkan) langsung oleh Nabi SAW, selama dzikir yang dibaca itu tidak menyalahi yang ma’tsur (yang dicontohkan Nabi SAW).” (Fath Al-Bari, juz II, hal. 287).

Dengan demikian jelaslah bahwa tidak ada larangan membuat redaksi do’a untuk shalat tarawih, witir, dan lain sebagainya. Sebagaimana  banyak ditulis dalam buku-buku tuntunan shalat.

Dasar Amaliah di Bulan Ramadlan (1)


Seakan tidak pernah selesai diperdebatkan: tarawih yang benar dan mengikuti tuntunan itu 8 rakaat atau 20 rakaat? Lalu disambung lagi: waktunya kapan, mengukuti tuntunan siapa? Pertanyaan tahunan itu selalu muncul bagi mereka yang belum yakin. Berikut dasar-dasar amaliah di bulan Ramadlan.

Tarawih 20 Rakaat

Bulan Ramadlan adalah bulan penuh berkah, rahmat dan ampunan. Oleh sebab itu, Nabi SAW menganjurkan untuk memperbanyak beribadah.
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, beliau berkata Rasulullah SAW bersabda “barangsiapa yang beribadah pada bulan Ramadlan dengan (dilandasi) iman dan penuh keikhlasan maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (Shahih Al-Bukhari [1768])

Termasuk dalam hal ini ialah melakukan shalat tarawih sehabis shalat isya’ di bulan Ramadlan. Dinamakan tarawih karena setiap selesai dua salam (4 raka’at) dianjurkan istirahat sejenak. Tentang shalat tarawih ini dijelaskan dalam Hadits:
“Diriwayatkan dari Siti ‘Aisyah RA, bahwasanya Rasulullah SAW shalat di masjid, lalu banyak orang shalat bersama beliau, demikian pada malam berikutnya, beliau shalat dan bertambah banyak orang (yang mengikuti beliau). Pada malam ketiga dan keempat, orang-orang berkumpul menunggu beliau, tapi Rasulullah SAW tidak keluar (lagi ke mesjid). Ketika pagi-pagi beliau bersabda, “sungguh aku lihat apa yang kalian perbuat (tadi malam). Tapi, aku tidak keluar karena aku khawatir kalau shalat tarawih itu diwajibkan pada kalian” Siti Aisyah berkata bahwa hal itu terjadi pada bulan Ramadlan” (Shahih Al-Bukhari juz I, hal 380 [1077])

Hadits ini menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW memang pernah melaksanakan shalat tarawih. Namun, jumlah raka’atnya belum dijelaskan secara rinci. Al-Hafidz Al-Baihaqi dalam kitab Al-Sunanu Al Kubra meriwayatkan:
“Dari yazid bin Khushaifah, dari Al-Sa’ib bin Yazid dia berkata bahwa: “Kaum muslimin pada masa ‘Umar melakukan shalat tarawih di bulan Ramadlan dua puluh raka’at” (Al-Sunan Al Kubra, juz II, hal.492)

Ini adalah dalil yang menjelaskan bahwa jumlah raka’at shalat tarawih adalah dua puluh raka’at. Syaikh Isma’il bin Muhammad Al-Anshari seorang peneliti di Darul Ifta’ Kerajaan Arab Saudi menyatakan: “Hadits ini dishahihkan oleh Imam Nawawi dalam kitab beliau, Al-khulashah dan Al-Majmu’, dan diakui oleh al Zhaila’i dalam kitabnya Nashb Al-Rayah, dan dishahihkan oleh Imam Al-Subki dalam kitabnya Syarh Al-minhaj, Ibn Al-‘Iraqi dalam kitabnya Tharhu  Al-tasrib, Al-‘Aini dalam kitabnya ‘Umdah Al-Qari dan Ali Al-qori dalam kitabnya Syarh Al-Muwaththa’ dan Al-Nimawi dalam Atsaru Al-Sunani serta ulama-ulama yang lain.” (Tashih Hadist Shalah Al-Tarawih ‘Isyrina Rak’ah, 7)


Dalam Sunan Tirmidzi Disebutkan:
“Mayoritas ahli ilmu mengikuti riwayat Sayyidina Umar, Sayyidina ‘Ali dan sahabat-sahabat Nabi SAW tentang shalat tarawih dua puluh raka’at. Ini juga merupakan pendapat Al-Tsauri, Ibn Al-Mubarak, dan Imam Syafi’i. Imam Syafi’i  berkata, “Inilah yang aku jumpai di negara kami Makkah. Mereka semua (penduduk Makkah) shalat tarawih sebanyak dua puluh raka’at.” (Sunan Al-Tirmidzi, [734])

Sementara di sisi lain ada Hadits yang meriwayatkan bahwa shalat Nabi SAW di bulan Ramadlan itu berjumlah 11 rakaat. Yakni hadits:
Dari Saiyidah ‘Aisyah RA bahwa Nabi SAW tidak pernah menambah dari 11 rakaat, baik di dalam Ramadlan ataupun di selain Ramadlan. (Shahih Al-Bukhari 1079)

Hadits ini dipahami oleh sebagian kalangan  sebagai bilangan shalat tarawih. Bahwa shalat tarawih itu adalah sebelas rakaat.  Di antaranya Syaikh Al-Albani  dalam karangannya Shalatut tarawih, juz I hal 15. Namun   menurut mayoritas ulama bahwa Hadist ini tidak menjelaskan bilangan shalat tarawih, tetapi penjelasan tentang shalat witir. Syaikh Yusuf Khattar Muhammad menjelaskan: Adapun Hadits yang diriwayatkan oleh Saiyidah ‘Aisyah RA bahwa Nabi SAW tidak pernah menambah dari sebelas rakaat, baik di dalam Ramadlan ataupun di selain Ramadlan. Yang dimaksud dalam Hadits tersebut ialah shalat witir, bukan shalat tarawih. Ungkapan ‘Aisyah RA wala fi ghairihi yang artinya “dan selain bulan Ramadlan”. Ini jelas bahwa di selain bulan Ramadlan tidak ada shalat tarawih. Sedangkan shalat witir itu bisa dilakukan baik di bulan Ramadlan maupun di selain Ramadlan. (Al-Mausu’ah Al-Yusufiyyah, 634)

Dari sinilah kita bisa mengkritisi beberapa pertanyaan yang biasa disampaikan untuk  membid’ahkan pelaksanaan tarawih dua puluh rakaat. Biasanya pertanyaan yang diajukan adalah: “Mana yang lebih utama mengikuti Rasulullah SAW atau mengikuti Sayyidina Umar RA?”.

Bagi orang yang kurang memahami inti permasalahan ini, akan mengira pertanyaan tersebut itu benar, dengan asumsi bahwa Nabi Muhammad SAW melaksanakan tarawih sebelas rakaat, sementara Sayyidina Umar RA dua puluh rakaat.

Yang harus dijelaskan terlebih dahulu bahwa, tidak ada data dari Hadist shahih yang menjelaskan bahwa Nabi SAW melaksanakan shalat tarawih sebelas rakaat. Yang ada hanyalah pemahaman Syaikh Al-Albani bahwa Nabi SAW shalat tarawih sebelas rakaat. Sementara mayoritas ulama mengikuti amaliah yang dicontohkan Sayyidina Umar RA yaitu melaksanakan shalat tarawih dua puluh rakaat.

Dus, dalam masalah ini yang terjadi sebenarnya adalah perbedaan dua pemahaman terhadap Sunnah Nabi SAW tentang  jumlah rakaat shalat tarawih. Oleh karena itu, seharusnya pertanyaan yang diajukan adalah: mana yang lebih utama mengikuti pemahaman Sayyidina Umar RA terhadap sunnah Nabi SAW yang shalat tarawih dua puluh rakaat, atau mengikuti pemahaman Syaikh Al-albani terhadap Sunnah Nabi SAW yang shalat tarawih sebelas rakaat? Bagi mereka yang taat kepada Nabi SAW, tentu akan memilih mengikuti pemahaman Sayyidina Umar RA, karena ada perintah Nabi SAW dalam Hadits yang shahih untuk mengikuti beliau. Sementara tidak ada satu pun dalil  yang memerintahkan untuk mengikuti Syaikh Al-Albani.  Nabi SAW bersabda:
Dari Hudzaifah ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Ikutilah dua orang setelah aku, yakni Abu Bakar dan Umar” (Sunan Al-Tirmidzi, 3662)



Nida’ Tarawih

Membaca nida’ (Bilal) di sela-sela pelaksanaan shalat tarawih dengan membaca taradhdhi kepada Khulafaur Rasyidin itu adalah perbuatan yang terpuji dan tidak ada dalil yang melarangnya. Tujuan pertama adalah untuk melaksanakan apa yang telah dicontohkan oleh Al-Quran yang mengajarkan membaca taradhdhi terhadap para sahabat Nabi SAW terkemuka. Sebagaimana tersebut pada ayat:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama (masuk Islam) di antara Kaum Muhajirin dan Kaum Anshar dan orang-orang  yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah” (QS. Al-Taubah, 100)

Kedua, mendo’akan orang yang mulia adalah dianjurkan dalam Islam. Tujunnya adalah agar kita mendapat aliran barokahnya. Seperti halnya kita dianjurkan membaca shalawat kepada Nabi SAW dan para sahabat Nabi Muhammad SAW. Ini disebabkan Nabi Muhammad SAW adalah manusia pilihan Allah SWT yang memiliki  keutamaan dari makhluk Allah yang lain. Tentang keutamaan keempat Khulafaur Rasyidin disampaikan oleh Imam Al-Syafi’i sebagai berikut:
“Diriwayatkan dari Al-rabi’ dari Al-Syafi’i bahwa beliau berkata: manusia yang paling utama setelah Rasulullh SAW adalah Abu Bakr, Umar, Utsman kemudian ‘Ali. Semoga keridhoa’an Allah SWT selalu tercurahkan kepada mereka” (Manaqib Al-Syafi’i, Juz I, hal 433)

Membaca taradhdhi di sela-sela pelaksanaan shalat tarawih merupakan cara ulama terdahulu mengajarkan dan menanamkan kecintaan kepada para sahabat Nabi SAW, khususnya Khulafaur Rasyidin. Metode ini benar-benar terasa manfaatnya, terutama  ketika sudah mulai muncul orang yang memaki-maki para sahabat. Maka kaum Aswaja tidak terpengaruh oleh para penghujat sahabat tersebut. Perihal membiasakan membaca taraddhi di sela-sela shalat tarawih bertujuan untuk memudahkan saja, sebagaimana penentuan jadwal pengajian pada setiap hari Ahad atau menyebarkan buletin ke masjid-masjid setiap hari Jum’at. Jika hal itu dicari dalilnya mengapa harus hari Ahad atau mengapa harus hari jum’at, tentu tidak akan ditemukan dalilnya. Yang penting secara esensial pembacaan taradhdhi di sela-sela shalat tarawih, jadwal pengajian pada hari Ahad, dan pembagian buletin pada setiap hari Jum’at itu sama-sama berisi dakwah islamiyah yang sangat dianjurkan di dalam agama.

*) Dimuat di Majalah NU Aula edisi Juli 2011.

Kamis, 19 Juli 2012

Penentuan Awal dan Akhir Ramadlan dengan Rukyah

Sebagian kelompok menuduh orang NU yang menentukan awal dan akhir Ramadlan dengan metode rukyah tidak lagi relevan dengan zaman, sebab saat ini sudah ada ilmu astronomi modern. Mengapa NU masih tetap berpegang teguh pada metode itu?

Memang ada sebagian kelompok yang berpendapat bahwa penentuan awal dan akhir Ramadlan itu cukup dengan hisab. Salah satu dasar yang digunakan adalah Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda:
“Kami adalah umat yang tidak dapat menulis dan berhitung. Satu bulan itu seperti ini, seperti ini”. Maksudnya satu saat berjumlah dua puluh sembilan dan pada waktu yang lain mencapai tiga puluh hari.” (Shahih Al-Bukhari, [1780])

Menurut mereka, Hadits ini menjadi bukti bahwa Nabi SAW menggunakan rukyah dalam keadaan terpaksa, sebab umat beliau tidak mampu menulis, membaca serta melakukan hisab. Melihat kondisi umat yang seperti itu, wajar jika Nabi SAW menggunakan rukyah untuk menentukan awal dan akhir puasa. Ini dilakukan untuk memudahkan kaumnya agar mereka tidak menemui kesulitan ketika akan memulai atau mengakhiri puasanya. Atas dasar ini, menurut mereka, penggunaan rukyah sudah tidak relevan lagi, karena sekarang sudah banyak ahli hisab. Dan juga fasilitas untuk melakukan hisab sudah tersedia, sehingga tidak sulit lagi untuk melakukannya.

Pendapat ini sangat bertentangan dengan kesimpulan yang diambil oleh mayoritas ulama yang menyatakan bahwa penentuan awal dan akhir Ramadlan adalah dengan ru’yatul hilal. Ada beberapa alasan yang mengantarkan pada kesimpulan ini.

Pertama, didasarkan pada sabda Nabi SAW:
“Berpuasalah kalian apabila telah melihat bulan (tanggal satu), dan berbukalah (tidak berpuasa) kalian apabila telah melihat bulan. Namun jika pandanganmu terhalang oleh awan, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban itu sampai tiga puluh hari.” (Shahih Al-Bukhari [1776])

Hadits ini merupakan dasar yang sangat jelas tentang cara menentukan awal dan akhir bulan Ramadlan. Bahwa yang dijadikan pedoman adalah ru’yatul hilal, bukan hisab. Oleh karena itu, seseorang dilarang memulai puasa ataupun mengakhirinya sebelum ada rukyah.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, bahwa suatu ketika Rasulullah SAW bercerita tentang bulan Ramadlan. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA. Rasulullah SAW bersabda:
”Janganlah kalian berpuasa sehingga kamu sekalian melihat bulan, dan janganlah kamu berbuka (tidak berpuasa) sebelum melihat bulan. Namun jika pandanganmu tertutup mendung, maka perkirakanlah jumlah harinya.” (Shahih Al-Bukhari [1773]).

Jika Qadhi (pemerintah) sudah menetapkan untuk berpuasa, maka wajib bagi seluruh penduduk yang tinggal di daerah tersebut, dan sekitarnya yang sama mathla’nya (tempat terbit dan terbenamnya matahari) untuk berpuasa. Tidak termasuk orang-orang yang tinggal di daerah yang berbeda mathla’nya dengan daerah ketetapan Qadhi. Karena itu, kadangkala terjadi perbedaan dalam memulai dan mengakhiri puasa antara satu negara dengan negara yang lain, misalnya antara Indonesia dan Saudi Arabia, sebabnya karena perbedaan mathla’ tersebut. Adapun dasarnya ialah Hadits Nabi SAW:
Dari Kuraib ia berkata, “Aku mendatangi kota Syam untuk beberapa keperluan. Di sana aku kesulitan untuk menentukan bulan Ramadlan. Maka akupun melihat hilal pada malam Jum’at. Ketika aku kembali ke kota Madinah, sahabat Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku tentang kota Syam, termasuk di antaranya masalah hilal bulan Ramadlan. Ia bertanya, “Kapan kalian  melihat hilal? Aku menjawab, “Kami melihatnya pada malam jum’at”. Ia bertanya, “Engkau melihatnya sendiri?” Saya menjawab, “Iya, saya melihatnya, begitu pula penduduk yang lain. Kemudian mereka semua berpuasa dan Muawiyah pun berpuasa”. Kemudian ia berkata, “Tapi kami di sini melihat hilal pada malam Sabtu. Dan kami selalu berpuasa dengan menyempurnakan hitungan Sya’ban sebanyak tiga puluh hari atau jika telah melihat bulan. Akupun bertanya, “Apakah tidak cukup dengan ru’yah Muawiyah serta puasa yang dilakukannya?” Ia menjawab, “Tidak cukup, karena seperti inilah Rasulullah SAW memerintahkannya.” (Shahih Muslim, [2580])

Berdasarkan Hadits tersebut, Dr Ahmad Al-Syarbashi seorang ulama’ dari Al-Azhar Mesir memberikan kesimpulan. “Termasuk hal yang disepakati di kalangan jumhur ulama’ bahwa penetapan awal Ramadlan itu dilakukan dengan salah satu dari dua cara. Pertama, melihat hilal bulan Ramadlan, ketika tidak ada yang menghalangi pandangan, seperti mendung, awan, asap, debu atau yang lainnya. Cara kedua adalah dengan menggenapkan bulan Sya’ban sebanyak tiga puluh hari. Ini dilakukan jika hal-hal yang menjadi penghalang untuk melihat hilal pada malam ke tiga puluh karena ada mendung, awan atau yang lain.” (Yas’alunaka fi al-Din wa al-Hayah juz IV, Hal 35)

Alasaan kedua adalah dengan kembali pada sejarah. Apakah benar semua sahabat Nabi SAW tidak dapat membaca dan menulis? Dan apakah pada masa Nabi SAW tidak ada yang ahli ilmu hisab, sehingga harus menggunakan ru’yah?

Jawabannya tentu tidak. Karena ada beberapa sahabat yang diperintahkan Rasulullah SAW  belajar tulis-menulis untuk dijadikan sebagai juru tulis beliau, seperti sahabat Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Muawiyah dan lainnya. Oleh karena itu, yang dimaksud dalam Hadits  al-Bukhari 187 tersebut adalah mayoritas sahabat, bukan sahabat secara keseluruhan.

Selain itu, di negara Arab, jauh sebelum Rasulullah SAW diutus, telah ada tempat untuk mempelajari ilmu hisab. Lima ratus tahun sebelum Nabi Isa AS lahir, seorang filosof yang bernama Phitagoras yang hidup pada abad ke6 SM telah membangun suatu lembaga pendidikan khusus yang mengajarkan tentang ilmu hisab. Bahkan sebagian pakar mengatakan bahwa ilmu hisab merupakan ilmu tertua di dunia, karena ada sebelum terjadi banjir Nabi Nuh AS. Ini menunjukkan bahwa ilmu hisab telah ada sebelum zaman Rasulullah SAW. Dan di antara sahabat Nabi SAW, sebenarnya telah ada yang mahir dalam ilmu hisab, semisal Ibn Abbas.

Berdasarkan alasan ini, penggunaan ru’yatul hilal adalah sesuai dengan Sunnah Nabi SAW. Sementara pengunaan hisab sebagai pedoman utama di dalam menentukan awal bulan, lebih pada penalaran semata yang tidak ada tuntunan langsung dari Nabi SAW. Walaupun demikian kaum Aswaja masih tetap menekuni ilmu hisab dan diposisikan sebagai pemandu bagi pelaksanaan rukyah.

*) Dimuat di Majalah NU AULA edisi Juli 2011.

Sabtu, 07 Juli 2012

AULA Juli 2012


Ketika Umrah Ramadlan Jadi Pilihan

Antrian calon jama’ah haji di Indonesia makin panjang saja. Di daerah tertentu mencapai 13 tahun lamanya. Itupun mereka harus melunasi pembayaran seat lebih dulu yang jumlahnya juga tidak sedikit. Seiring dengan itu, umrah Ramadlan makin laris saja. Persaingan ibadah dan bisnis pun makin sulit dipisahkan.

Suatu ketika di Kabupaten Sidoarjo. Ada sebuah travel perjalanan wisata yang menawarkan paket umrah bersama Gus Abid (nama samaran seseorang yang cukup terkenal). Karena nama Gus Abid sedang ngetrend di tengah masyarakat, banyak orang terpikat dengan tawaran itu. Dalam waktu singkat banyak warga yang mendaftarkan diri dengan harapan dibimbing langsung oleh Gus yang banyak dikagumi orang tersebut. Sesuai rencana, mereka pun berangkat bersama Gus Abid.

Tapi apa yang terjadi kemudian, sepulang umrah bukannya mereka merasa puas, justru malah  banyak menumpahkan kekesalannya kepada orang lain. Kok bisa? “Di sana Gus Abid hanya diam, tidak membimbing, tidak ngurus jama’ah, seperti tidak kenal dengan kami, hanya mikir dirinya sendiri,” keluh salah seorang jama’ah. “Gus Abid hanya sibuk dengan dirinya sendiri,” keluh peserta yang lain. Rupanya keluhan serupa banyak berdatangan dari anggota rombongan yang lain. Secara kasat mata mereka tampak menyesal dan merasa diakali oleh travel yang memberangkatkan.

Yah, di sinilah tampak kepiawaian sales travel tersebut dalam memasarkan paket umrahnya. Ia sengaja ‘menjual’ Gus Abid untuk menarik konsumen agar mau berumrah melalui biro perjalanan miliknya. Dengan begitu ia mendapatkan untung besar, sementara Gus Abid tidak mau tahu dengan urusan itu. Akhirnya masyarakatlah yang menjadi korban. Travel untung, Gus Abid untung, masyarakat buntung.

Umrah adalah amalan yang sangat dianjurkan, sedangkan Ramadlan merupakan bulan paling mulia. Umrah di bulan Ramadlan adalah amalan yang sangat mulia dan sangat dianjurkan. Sebuah Hadits Rasulillah SAW yang masyhur dan shahih menyebutkan: “Barangsiapa yang umrah bersamaku di bulan Ramadlan nilainya sama dengan pergi haji bersamaku.” (HR Bukhari dalam Fathul Baari 4/ 74). Juga: “Jika bulan Ramadlan telah tiba, tunaikanlah umrah, sebab umrah di bulan Ramadlan menyamai ibadah haji.” (HR Bukhari Hadits No. 1782 dan Muslim Hadits No. 1258).

Banyak kelebihan yang didapat dalam umrah Ramadlan, karena bulan Ramadlan merupakan bulan istimewa; amal sunnah dinilai seperti amal wajib dan amal wajib pahalanya dilipatgandakan berlipat-lipat. Ramadlan juga merupakan kesempatan untuk koreksi diri dan memohon ampun atas segala dosa. Karena itulah umrah dalam bulan ini sangat dianjurkan bagi mereka yang mampu.

Baca ulasan lengkapnya di Majalah AULA Tab’ah Juli 2012, dapatkan juga liputan lainnya:

Ummurrisalah:
Ketika Umrah Ramadlan Jadi Pilihan (hal 9)
Berlomba Melayani Tamu Allah (hal 11)
Pengalaman Spiritual dengan Layanan Plus (hal 13)
Prof  Dr KH Ali Musthafa Ya’qub, MA: Waspadai Provokator Umrah (hal 15)
Prof Dr H Ahmad Zahro, MA: Jangan Semata Motivasi Bisnis (hal 17)

Assalamu’alaikum (hal 4)
Refleksi (hal 5)
Kotak SMS (hal 6)
Surat Pembaca (hal 7)

Ihwal Jam’iyah: Mantapkan Aswaja NU Sesuai Mainstream Indonesia (hal 19)
Dalam usia yang ke-89, Nahdlatul Ulama mengambil posisi strategis untuk memantapkan Aswaja sesuai mainstream NKRI. Banyaknya aliran keagamaan yang masuk ke Indonesia, membuat NU harus bekerja keras dalam menghadapi permasalahan ini. Mirip dengan suasana ketika pertama kali NU didirikan.

Liputan Khusus: Uji Kesabaran di Akhir Bulan (hal 21)
Penghujung bulan Mei lalu menjadi catatan tersendiri bagi keluarga besar PWNU Jawa Timur. Itu karena dua peristiwa kekerasan menimpa warganya. Pertama, di kawasan Mataraman Banser dibacok anggota Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT); kedua, di tapal kuda pengurus NU dilarang mengadakan pengajian hingga terjadi pembacokan di bagian kepala.

Tokoh: Prof Dr Rochmat Wahab, MA, MPd; Pendidikan sebagai Lompatan Hidup (hal 25)
Rochmat Wahab kecil lahir dari seorang ayah yang berprofesi sebagai petani di Jombang. Gigihnya perjuangan dan doa membuahkan lompatan hidup yang luar biasa. Berhasil meraih gelar profesor, menjadi rektor di universitas ternama dan Ketua PWNU. Bagaimana caranya?

Bahsul Masail: Puasa di Bulan Rajab (hal 28)
Kajian Aswaja: Keabsahan Tradisi Nishfu Sya’ban (hal 30)

Uswah: TMA Panglima Polim; Perintis NU Aceh yang Terlupakan (hal 32)
Sejak masa-masa awal kerajaan Islam, seluruh masyarakat, ulama dan para raja di Aceh adalah penganut madzhab Syafi’i yang taat. Namun tidak banyak orang tahu jika NU secara resmi masuk ke wilayah ini malah belakangan. Dibawa oleh salah seorang keluarga bangsawan kerajaan. Dia adalah TMA Panglima Polim

Nisa’: Hj Mutmainnah; Tetap Tirakat untuk Anak (hal 36)
Setiap orang tua selalu menginginkan anak-anaknya sukses. Untuk menjadikan mereka berhasil menggapai cita-cita, biasanya orang tua rela melakukan riadlah batiniah dan mendekat kepada orang-orang alim agar mendapatkan bimbingan. Sudah begitu, ketika anak telah sukses, orang tua malah tidak mau ngeriwuki. Kisah seperti itulah yang dijalani Hj Mutmainnah ini.

Pesantren: PP Darussa’adah Gubuk Klakah;  Berkah dari Ketaatan pada Habib (hal 38)
Bermula dari daerah merah dan Islam sebagai minoritas, pesantren itu didirikan dengan penuh keprihatinan. Tak kurang dari 40 orang telah gagal berdakwah di sana, kalah oleh kerasnya black magic orang pegunungan. Namun, rupanya kesuksesan dakwah baru dialami oleh orang ke-41. Dia adalah Nur Hasanuddin.

Pendidikan: MTs NU Joho Nganjuk; Jihad Akademis di Lereng Gunung Wilis (hal 40)
Mengelola lembaga pendidikan di pedalaman memang penuh tantangan. Bukan murid butuh sekolah, tapi sekolah yang harus mencari murid. Perjuangan itu pernah dilewati oleh MTs NU Joho yang berada di kawasan pegunungan. Alhamdulillah, kini kondisinya sudah jauh lebih baik. Bagaimana caranya?

Kancah Dakwah: Menyapa Mereka yang Ditinggal (hal 42)
Tidak banyak mubaligh yang mau tinggal bersama masyarakat binaannya di pelosok pegunungan. Biasanya mereka lebih suka tinggal di kota, di tengah komunitas masyarakat yang sudah islami. Tapi lain halnya dengan da’i kita ini. Ia dengan telaten menemani masyarakat binaannya di atas gunung dan berkabut selama bertahun-tahun.

Muhibah: Menemukan “Islam” di Swiss (hal 44)
Wakil Pemimpin Umum Majalah AULA Abdul Choliq Baya pada 10-24 Mei 2012 lalu mengunjungi enam negara di Eropa Barat; Jerman, Belanda, Belgia, Perancis, Swiss dan Italia. Berikut hasil laporan perjalanannya selama di Swiss semoga bisa dipetik hikmahnya.

Mimbar Aula (hal 47)

Nuansa: Ramadlan Berkah dengan Ngaji Kilatan (hal 49)
Ada yang berbeda dari bulan penuh berkah ini. Ya Memasuki Ramadhan, beberapa pesantren menyelenggarakan kilatan kitab kuning. Targetnya adalah bisa mengkhatamkan kitab-kitab besar dalam hitungan hari.

Wirausaha: Prospek Rebana Makin Cerah (hal 51)
Siapa bilang pengrajin rebana tinggal menghitung hari untuk gulung tikar. Tanpa banyak diketahui orang, ternyata masa depan mereka makin cemerlang. Pesanan terus datang, bahkan sampai kewalahan. Ternyata semua itu berkaitan erat dengan Gus Dur. Lho, kok bisa?

Lentera: Pakar Astronomi dan Matematika (hal 53)
Ibrah: Pidato Kiai Hasyim yang Menghebohkan (hal 54)
Wawasan: Perjanjian Hudaibiyah, NKRI dan Khilafah (hal 55)

Sembilan: Pesepakbola Muslim Terelit di Eropa (hal 58)
Gemerlap turnamen EURO 2012 baru saja berlalu. Permainan para bintang yang meliuk-liuk di atas lapangan mampu menyihir sebagian besar pasang mata di seluruh dunia. Di antara mereka, ada beberapa pemain yang beragama Islam. Mereka berhasil menembus persaingan ketat masuk ke klub elit maupun tim nasional di negara mereka.

Sekilas Aktivitas (hal 60)
Rehat: Habib Umar & Hj Siti Aniroh (hal 66)