Senin, 09 Januari 2012

AULA Januari 2012


TETAP SIAGA SATU MENGHADAPI KOMUNIS

Globalisasi yang di dalamnya dibarengi dengan kemudahan akses informasi membawa dua dampak sekaligus. Bila tak membentengi diri, maka bukan manfaat yang didapat, justru mudharat. Hal ini juga berlaku bagi ideologi dunia, segalanya punya konsekuensi.

TAK kurang KH A Hasyim Muzadi mengingatkan bahwa bangsa ini harus meningkatkan kewaspadaan serta menyadari akan terus terjadinya pertarungan ideologi. Usai perang dunia dan perang dingin, maka sangat kecil akan terjadi perang fisik maupun pertarungan senjata. Bahkan sebagian kalangan menyatakan yang akan terjadi adalah pertarungan peradaban atau class of civilization.

“Menghadapi kondisi seperti ini, maka tidak ada jalan lain kecuali meningkatkan kewaspadaan,” katanya pada sebuah acara seminar neo komunisme beberapa waktu lalu. Kewaspadaan terhadap ancaman ideologi anti Tuhan ini semakin penting lantaran adanya kecenderungan keberadaannya yang ingin melakukan ekspansi dan meneguhkan jati diri.

Rais PBNU ini menilai, ideologi impor saat ini telah mengepung Indonesia, karena demokratisasi yang berjalan tanpa kendali di tengah padatnya penduduk. “Sebagai negara yang memiliki penduduk demikian padat serta demokratis, maka Indonesia menghadapi kepungan tantangan mulai dari ekonomi, politik, budaya, bahkan juga ideologi,” katanya.

Menurut Presiden Konferensi Agama-agama Sedunia untuk Perdamaian (World Conference on Religion for Peace/WCRP) itu, amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang telah memasuki fase keempat ternyata bukan menghasilkan kesejahteraan, melainkan suasana bangsa justru kian tidak kondusif. “Saat kondisi karut marut seperti ini, maka dapat dipastikan bangsa Indonesia dengan mudah mendapat intervensi asing, karena tindakan membatasi kemerdekaan orang akan dianggap melanggar HAM (hak asasi manusia), padahal HAM hanya dimanfaatkan untuk menghancurkan ideologi di sini,” kata Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars (ICIS) ini.

Partai Komunis di Indonesia memiliki romantisme usai kegagalan melakukan kudeta. Sebagai salah satu partai yang keberadaannya menjadi kekuatan dengan suara yang cukup signifikan tentunya masih banyak simpatisan dari partai ini. Pada Pemilu 1955 yang dicatat sebagai pesta paling demokratis, ternyata Partai Komunis Indonesia (PKI) mampu meraup suara yang cukup meyakinkan.

Dalam kajian tentang kebangkitan komunis gaya baru di Indonesia pasca reformasi, Arukat Djaswadi mengatakan, sejarah peristiwa pemberontakan PKI mulai tahun 1948 di Madiun, dan peristiwa G30S PKI tahun 1965 cukup sebagai pengalaman. Meskipun gerakan PKI dapat dikalahkan, tetapi mereka tidak mengakui kekalahan dan justru menuntut ganti rugi atau kompensasi dan pemutarbalikkan sejarah secara sistematis dengan memposisikan diri sebagai korban, bukan pelaku pemberontakan. Hal ini dapat dilihat pada kemunculan beberapa organisasi yang memiliki pola dan gerakan seperti layaknya PKI.

Arukat yang juga pegiat anti komunis ini menambahkan, sekarang ini orang-orang berpaham komunis sudah pada posisi “ring satu” di pemerintahan. Banyak kegiatan mereka yang diketahui oleh aparat keamanan atau aparat hukum, tetapi tidak ada yang diproses atau tersentuh hukum.

Terhadap hal ini, beberapa kalangan menyayangkan. Namun demikian, setiap warga negara memiliki status dan hak yang sama di depan hukum. “Oleh karena itu, siapa saja dari warga bangsa sudah selayaknya mendapatkan perlakukan yang layak, kendati dia PKI,” kata KH Shalahuddin Wahid. “Apalagi hanya sebagai anak atau cucu dari keluarga PKI. Mereka kan tidak salah?” lanjutnya.

Senada dengan itu, Kiai Hasyim Muzadi sependapat bahwa para eks PKI dan keluarganya sudah seharusnya diberikan ruang yang sama dalam konteks kewarganegaraan. “Namun demikian, kecurigaan terhadap kebangkitan neo komunis harus menjadi kesadaran bersama,” katanya.

Oleh karena itu yang layak dipertanyakan adalah keberadaan lembaga intelejen negara yang kurang mampu mendeteksi kemungkinan kebangkitan komunis tersebut. Beberapa dari mereka kini bahkan menjadi orang penting di negeri ini.

Sorotan dunia internasional yang mengharuskan pelaksanaan hak asasi manusia sebagai hal tak terhindarkan dalam keseharian sebuah negara, juga bisa berdampak positif dan negatif. Terjadinya pelanggaran terhadap HAM, apalagi sampai menghilangkan nyawa seseorang pastinya akan menjadi perhatian dunia. Dan celakanya, hal ini tidak berlaku fair. “Kalau ada hak warga yang hilang, maka dunia langsung merespons negatif. Namun jika yang menjadi korban adalah pihak keamamanan, maka tak ada yang melakukan pembelaan,” kata Kiai Hasyim menyayangkan. Isu pelanggaran HAM akhirnya dimanfaatkan berbagai pihak untuk memperkeruh keadaan. Dan ini juga berlaku bagi bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, disaat kondisi bangsa yang serba gamang seperti ini, tidak ada jalan lain kecuali adanya ketegasan dari pemerintah. Demikian pula pada saat yang bersamaan, peran masyarakat diharapkan juga memberikan informasi bila diindikasikan adanya gerakan yang akan mengarah kepada komunis gaya baru.

Bangsa yang besar adalah mereka yang mampu menghargai peran dan jasa para pahlawannya. Kejahatan kemanusiaan akibat ulah PKI di masa lalu adalah bukti sejarah yang jangan sampai terlupakan begitu saja. Keterbukaan yang menjadi bagian tak terhindarkan dari globalisasi hendaknya dimaknai dengan kemampuan membuka diri serta kesadaran untuk senantiasa waspada terhadap berbagai ancaman yang ada. “Hanya dengan ini kita bisa tetap survive,” tandas Kiai Hasyim. Bukan hanya kewaspadaan kepada komunis gaya baru yang menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa ini. Pemberantasan korupsi, penegakan hukum serta perbaikan mutu pendidikan adalah di antara persoalan pelit yang juga layak diperhatikan bagi bangsa Indonesia. Dan itu hanya bisa diselesaikan dengan tuntas bila antara pemerintah dan rakyat terjadi sinergi.

DAPATKAN JUGA LIPUTAN LAINNYA DI MAJALAH AULA JANUARI 2012:

Refleksi: Rotan (hal 8)

UMMURRISALAH:
- Tetap Siaga Satu Menghadapi Komunis (hal 10)
- Kenali Gerakan Komunis Gaya Baru (hal 12)
- Kejahatan Komunis Tak Semata Angka (hal 14)
- Neo Komunisme Bukan Isu Penting (hal 17)

Ihwal Jam’iyah: Pemerintah Abai, Nasib Petani Kian Tercekik (hal 19)
Kancah Dakwah: Geliat Berjam’iyah di Pulau Sapi Bag. 1 (hal 21)

MUHIBAH: Sensasi Plong Muslim Wollongong (hal 25)
Satu bulan berada di Australia dan New Zealand memberikan kesan mendalam bagi KH M Cholil Nafis, Ph.D. Apalagi pria kelahiran Sampang, Madura, ini melakukan safari dakwah selama Ramadlan dan Idul Fitri di sembilan kota. Beliau mengisahkan tentang kehidupan muslim di Wollongong yang berkembang pesat.

Kajian Aswaja: Dasar Tradisi Kenduri Kematian (hal 28)
Bahsul Masail: Mempercayai Sialnya Rebo Wekasan? (hal 30)
Wirausaha: Aneka Camilan New Sehati (hal 32)

SEMBILAN: Universitas Pertama di Dunia (hal 36)
Kejayaan peradaban umat Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan zaman dahulu memang mendominasi. Dalam konteks ini, universitas adalah salah satu unsur penting yang patut dijadikan ukuran. Dari sembilan universitas tertua di dunia, pendirian tiga kampus di antaranya didominasi oleh umat Islam.

Mimbar Aula: Membiasakan Hidup Sederhana (hal 38)
Pendidikan: SMK Al-Islah Surabaya (hal 40)
Tokoh: KH. Mahfudz Syaubari (hal 42)
Wawasan: Bangga dengan Aswaja Nahdliyah (hal 45)
Uswah: KH Abdul Halim (hal 48)

KHAZANAH: Melebihi Nutrisi Susu Sapi (hal 50)
Susu sapi, susu kambing, atau susu kedelai mungkin sudah biasa dikonsumsi, tetapi bagaimana dengan susu dari kedelai? Padahal menurut hasil penelitian, susu keledai jauh lebih bernutrisi daripada susu sapi dan mengandung sedikit lemak.

Rehat: Nur Shodiq & Agus Zainal Arifin (hal 52)
Dirasah: MK dan Wewenang Memutus Persoalan Agama (hal 53)
Lentera: Bapak Ilmu Optik Dunia (hal 56)
Info Sehat: Korelasi Gaya Marah Terhadap Kesehatan (hal 59)
Sekilas Aktivitas (hal 90)