Senin, 31 Oktober 2011

AULA Edisi Oktober 2011


Beda Hari Raya, Sampai Kapan ?

Lebaran Idul Fitri yang lalu masih menyisakan masalah hingga kini. Betapa peralatan dan teknologi canggih yang telah dimiliki pemerintah dan beberapa Ormas Islam ternyata belum mampu menjadikan umat Islam satu kata. Hanya karena beda cara, lebaran pun berbeda. Bila hal itu diteruskan, empat kali hari raya lagi akan berbeda lagi.

YUSUF, warga Perumahan Kepuh Permai, Waru, Sidoarjo adalah contoh orang yang bingung karena perbedaan hari raya. Sebagai orang yang dibesarkan dari keluarga NU ia seharusnya mengikuti petunjuk PBNU untuk berhari raya pada hari Rabu (31/8). Namun apa yang dilakukan oleh pemuda yang telah cukup lama ‘pindah pergaulan’ itu malah terdengar aneh. Pada hari Selasa (30/8) ia telah tidak berpuasa, karena mengikuti Muhammadiyah, tapi untuk shalat Id baru dilakukan esok harinya, mengikuti PBNU dan pemerintah. Tentu talfiq model Yusuf ini tidak dapat dibenarkan. Namun oleh karena kebingungan, hal yang terasa aneh itupun dapat terjadi.

Yah, perbedaan awal Ramadlan dan Hari Raya Idul Fitri memang selalu terjadi di Indonesia setiap tahun. Hanya saja biasanya terjadi pada komunitas kecil, seperti Islam Aboge di Madiun dan Nguling, Tarekat Kholidiyah di Peterongan Jombang, atau sebuah aliran di Sulawesi Selatan. Karena komunitas mereka hanya kecil sehingga dampak yang dirasakan masyarakat juga tidak seberapa.

Lain halnya ketika yang berbeda itu NU atau Muhammadiyah, dampak yang dirasakan akan luar biasa, karena keduanya merupakan Ormas terbesar dan memiliki jamaah yang banyak. Terlebih NU yang mempunyai basis massa riil hingga ke pelosok desa. “Kalau NU yang berbeda, pasti lebih ramai, karena massanya sangat banyak,” kata salah seorang kiai. Penatapan hari raya tahun 2011 adalah salah satu contohnya. Muhammadiyah memilih berbeda sikap dengan pemerintah dan Ormas-Ormas Islam lainnya.

Nah, bila dirunut lebih jauh, perbedaan hari raya terjadi karena perbedaan cara pandang. Meski bulan, bumi dan matahari hanya satu, namun karena berbeda cara menilai, berbeda pula hasil dan keyakinan yang didapatkan. Komunitas NU meyakini penentuan tanggal qamariyah harus dilakukan melalui rukyat, dengan dipandu sebelumnya oleh hisab. Muhammadiyah berkeyakinan tidak harus rukyat bil fi’li seperti NU, tapi cukup dilakukan dengan hisab. Perkara metode hisab juga banyak model, itu persoalan lain.

Komunitas Syi’ah lain lagi. Mereka sudah pathok bangkrong meyakini kalau bulan dan matahari di dunia ini hanya satu, sehingga hari jatuhnya tanggal juga harus sama di seluruh dunia. Mereka pun menunggu keputusan dari Iran sebagai induknya. Sebaliknya, komunitas salafi malah berprinsip hidup mati apa kata Saudi Arabia. Menurut mereka, Arab Saudilah yang paling tepat untuk memutuskan kapan umat Islam di seluruh dunia harus memulai Ramadlan dan berlebaran. Sementara para penganut Islam Aboge telah memiliki cara tersendiri dalam menetapkan hari raya.

Ketika perbedaan hari raya terjadi, banyak orang ‘berteriak’ agar para pemimpin umat dapat menyatukan pendapat dalam menentukan hari raya, demi umat. Cara yang ditawarkan adalah dengan menyamakan metode terlebih dahulu. Persoalannya, menyatukan pendapat yang telah menjadi keyakinan kuat bukanlah persoalan mudah. Namun bukan berarti tidak penting untuk dilakukan.

Sebab di tengah perbedaan hari raya selalu muncul tangan-tangan jahil yang ingin memanfaatkan kesempatan. Dalam hari raya 1432 yang lalu misalnya, muncul isu pemerintah Arab Saudi telah meminta maaf kepada kaum muslimin di seluruh dunia atas kekeliruannya menetapkan hari raya pada tanggal 30 Agustus 2011. Tidak hanya meminta maaf, pemerintah Arab Saudi, kata isu itu, juga bersedia mengganti seluruh kerugian yang ditimbulkan atas kekeliruan tersebut. Nah, hebat kan, si penyebar isu tersebut?

Ketika isu itu dilacak di internet, si pembuat isu menyatakan sumber berita adalah siaran berita dari Al-Jazeera yang berbahasa Arab. Namun ketika didengarkan dengan seksama, ternyata berita yang dimaksud tidak ada kaitan. “Penyebar isu itu adalah orang Yahudi, setelah saya lacak. Di Indonesia, yang pertama kali melemparkan isu tersebut adalah situs anu,” kata Gus Habib, yang mengaku telah melakukan ‘pengejaran’ di dunia maya.

Pada bagian lain juga terdengar isu (meski sayup-sayup) sebaliknya. Konon, Pemerintah Indonesia, menurut isu itu, juga meminta maaf atas keputusannya menetapkan hari raya tanggal 31 Agustus 2011. Nah?

Kalau para pemimpin umat tidak segera duduk satu meja membahas jalan keluar masalah tersebut, bukan tidak mungkin hari raya tahun depan akan muncul isu yang lebih sensitif lagi. Apalagi diperkirakan (hampir pasti) tiga hari raya yang akan datang akan berbeda lagi.q Mohammad Subhan

Liputan selengkapnya baca:

Refleksi: Zaman (hal 8)
Ummurrisalah:
- Beda Cara, Beda Hari Raya; Sampai Kapan? (hal 10)
- Isu Seputar Permintaan Maaf Arab Saudi (hal 13)
- Semua Bermuara pada Sidang Itsbat (hal 18)
- Wujudul Hilal yang Usang (hal 22)
- Evolusi Itsbat Versi Muhammadiyah (hal 26)
Liputan Khusus: Sidoarjo Memahami SK Wilayah (hal 29)
Ihwal: Soal Dolly, Gubernur Minta Maaf (hal 34)
Bahtsul Masail: Nadzar yang Terlupa (hal 38)
Mimbar Aula: Khutbah Idul Adha 1432 H (hal 43)
Muhibah: Perkenalkan Islam pada Mereka yang Antipati (hal 48)
Kancah Dakwah: Ketika Polisi Rajin Mengaji (hal 53)
Pesantren: PP Al-Makkiyyah Darussalam Jombang (hal 57)
Pendidikan: Universitas Islam Madura (UIM) (hal 61)
Tokoh: Drs H Moh Salim Al-Djufri, M.Sos.I (hal 65)
Khazanah: Khasiat si Merah, Lebihi Bentuk Fisiknya (hal 69)
Dirasah: Bulan dan Kalender Islam (hal 73)
Rehat: Merawat Kopiah Gus Dur (hal 81)
Uswah: KH Wahib Wahab (hal 84)
Iptek: Memulung Sampah di Luar Angkasa (hal 87)
Sekilas Aktivitas (hal 90)