Rabu, 16 Februari 2011

Sosok dan Janji Ketua Umum GP Ansor 2011-2016

Di hadapan peserta dan juga wartawan banyak media, ketua umum terpilih menyampaikan beberapa harapan dan komitmennya. Seperti yang harapkan, dia ingin kritik, bukan pujian.

LIMA tahun ke depan, saya ingin melakukan perubahan besar untuk citra dan wajah Ansor yang dikenal sebagai OKP politik,” kata Nusron Wahid yang secara meyakinkan terpilih sebagai Ketua Umum GP Ansor Periode 2011-2016. Didampingi Ketua PW GP Ansor Jatim, Alfa Isnaeni selaku Ketua Panitia Pelaksana Kongres, ia mengatakan perubahan citra itu tidak hanya dilakukan dengan pernyataan, tapi juga tindakan.

Dalam bidang politik, dia ingin mendisiplinkan perilaku kader-kader Ansor, kapan berpolitik, kapan berjam’iyah Ansor, sehingga Ansor tetap tercitrakan sebagai organisasi kemasyarakatan pemuda. Dia mengingatkan kader Ansor untuk berpolitik dengan disiplin yakni berpolitik secara individu, bukan membawa nama organisasi. Termasuk dengan mengubah paradigma politik yang berkembang.

Dia tidak setuju semisal ketika dirinya yang kebetulan politisi menjadi kandidat ketua umum, maka hal itu langsung dikaitkan sebagai adanya intervensi politik. Baginya, Ansor sebenarnya tidak mungkin melarang kadernya berpolitik, karena hal itu sama halnya dengan melarang kader Ansor menjadi pemimpin nasional. Dalam praktiknya, pemimpin nasional itu bersumber dari partai politik.

Dalam pandangan pengganti H Saifullah Yusuf (Gus Ipul) itu, politisi dari Ansor harus memiliki perbedaan, yakni politisi yang disiplin, tidak korupsi dan menjaga akhlak yang baik. Karenanya, Ansor tidak ada urusan dengan politik, tapi individu boleh saja berpolitik, asalkan tanpa menggunakan baju Ansor, stempel Ansor, dan atribut Ansor lainnya. Kalau berpikir 2014 (Pemilu/Pilpres) juga nanti pada tahun 2014 saja.

Mengenai hubungan Ansor dengan pemerintah, ia mengatakan hal itu sama dengan hubungan NU dengan pemerintah yakni bukan oposisional. Dengan pola hubungan tersebut, Ansor dapat mengkritik bila pemerintah bertindak dzalim, tapi juga mendukung bila melayani rakyat.

Cita-citanya adalah membenahi hubungan antara Ansor dengan PBNU yang selama kepemimpinan sebelumnya terkesan kurang harmonis. Namun demikian dia menandaskan bahwa hubungan NU-Ansor tidak ada masalah. Apa yang selama ini ada, hanya sebatas kesan orang. Sebagai Banom NU, tentunya ada cara berorganisasi tersendiri dalam sinergi pengkaderannya.

Oleh karena itu, NU dan Ansor hendaknya tidak dibenturkan, karena Ansor memiliki tugas merealisasikan cita-cita besar NU. Cita-cita ideal dimaksud adalah membangun peradaban dengan nilai ideologi ke-Islaman berbasis ke-indonesiaan, tentunya dengan menyelamatkan ideologi. Karenanya dia lebih mengharapkan program pemuda yang bersifat membangun peradaban melalui ideologi kebangsaan dan kenegaraan yang kritis, objektif, dan tidak radikal.

Didampingi mantan Ketua Umum GP Ansor yang juga salah seorang Ketua PBNU dan Wakil Gubernur Jawa Timur; Saifullah Yusuf, Nusron tidak lagi membutuhkan kalimat pujian dan sanjungan. Dia malah menantang para peserta kongres untuk melakukan kritik konstruktif terhadap kepemimpinan yang akan dia emban. Baginya, kritik lebih berarti dari sederet pujian dan sanjungan yang cenderung melupakan. “Kritik saya, dan tagih juga janji saya,” katanya kepada peserta kongres. “Pasti,” kata peserta menjawab dengan serempak.

Sosok Sarat Pengalaman

Banyak yang memprediksi, Nusron Wahid akan terpilih sebagai Ketua Umum GP Ansor. Kalau ditelisik dengan seksama, sebenarnya jam terbang politisi Partai Golkar yang kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 12 Oktober 1973 ini sarat dengan onak duri di dunia organisasi.

Pemuda asal Desa Mejobo, Kudus, yang juga alumnus Madrasah Qudsiyah dan SMA NU Al Ma‘ruf di Kudus itu menjadi Ketua Umum PP GP Ansor setelah memenangkan “all final politisi” bersama Marwan Jakfar (DPR/PKB).

Pada putaran pertama, Marwan Jakfar memperoleh 183 suara, sehingga berhak maju ke putaran kedua bersama Nusron. Sedang kandidat lain seperti Khatibul Umam Wiranu (Demokrat) yang hanya meraih 40 suara, kandas. Sebelumnya Umam diprediksi merupakan rival terkuat dari Nusron Wahid.

Begitu pula Syaifullah Tamliha (PPP) meraih 40 suara, Munawar Fuad dengan tiga suara, Malik Haramain (PKB) dengan satu suara, Andi satu suara, Choirul Sholeh Rasyid satu suara, dan Yoyo satu suara. Lalu pada putaran kedua, kandidat yang berhak mengikuti pemilihan harus mengantongi suara minimal 99 suara sehingga hanya tersisa dua kandidat yakni Nusron dan Marwan. Hasil putaran kedua akhirnya dimenangkan oleh Nusron Wahid dengan 345 suara dan Marwan Dja’far 161 suara.

Nusron akan menyusun kepengurusan didampingi sembilan formatur dari Jatim, Banten, Sumbar, Sulsel, Kalteng, Malut, Papua Barat, Maluku, dan NTT. “Kita mulai babak baru yang bukan akhir, tapi awal dari perjuangan, karena itu saya minta jangan mendukung saya lagi pasca-kongres, tapi justru mengkritik dan menagih janji saya,” katanya.

Mengenai rumor adanya orang Cikeas yang mau menjadi Penasehat PP GP Ansor, dia mengatakan hal itu tidak ada masalah, asalkan dia pernah aktif di Ansor atau NU. “Orang mau menasihati, kok tidak diterima, orang mau berbuat baik kok ditolak. Yang penting, dia tidak `ujug-ujug` (datang secara tiba-tiba), tapi dia pernah di NU atau Ansor. Kalau bukan NU ya di-NU-kan dulu, bukan langsung jadi penasihat,” katanya.

Tidak berlebihan kalau dibilang Nusron Wahid sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Kudus, Demak dan Jepara. Semenjak memutuskan untuk “pulang kampung” pada Pemilu 2004 dengan tampil sebagai calon anggota DPRRI nomor urut 1 (satu) mewakili Partai Golongan Karya di Daerah Pemilihan Jawa Tengah 2 yang meliputi Kabupaten Kudus, Demak dan Jepara, Nusron Wahid dengan tidak kenal lelah menyapa basis masyarakat sampai ke pelosok-pelosok kampung yang relatif susah di jangkau karena kondisi infrastruktur yang kurang memadai.

Setelah secara resmi dilantik, sebagai bentuk pertanggungjawaban dan komitmennya kepada masyarakat yang diwakili, satu persatu mereka disapa. Beragam permasalahan yang disampaikan, mulai dari permasalahan pribadi makan hanya dengan kerupuk hingga permasalahan kelangkaan pupuk. Termasuk juga masalah kondisi madrasah yang memprihatinkan, orang tua yang tidak mampu membiayai sekolah anaknya, pembangunan masjid yang terbengkalai, pengrajin dan pelaku usaha kecil yang kekurangan modal hingga terjerat rentenir dan sebagainya.

Dengan cermat, alumnus UI ini menangkap permasalahan tersebut, tidak saja karena mempunyai cukup pengalaman dalam hal penguatan institusi dan masyarakat sewaktu memimpin Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) selaku ketua umum, tetapi juga karena memang dia besar di lapis masyarakat bawah.

Berbagai langkah penting telah dilakukan Nusron untuk membantu masyarakat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Dengan segala potensi yang dimilikinya, satu-persatu permasalahan diurai untuk dicarikan jalan penyelesaian terbaik. Berbagai dana bantuan diupayakan untuk membantu madrasah diniyah, madrasah di semua tingkatan, perguruan tinggi, kelompok tani, kelompok usaha kecil, koperasi dan masih banyak lagi.

Memang harus diakui, upaya tersebut masih belum mampu menyelesaikan semua permasalahan, selain karena keterbatasan kemampuan juga karena kompleksitas permasalahan di masyarakat sehingga upaya penyelesaiannya harus bertahap. Sebagai salah satu upaya berkelanjutan untuk membantu masyarakat, utamanya pelaku usaha kecil, jebolan IPB Bogor ini bersama dengan teman sejawat yang satu pemahaman, mendirikan KSU BMT Bina Mitra Mandiri, agar masyarakat dapat mengakses fasilitas kredit modal usaha dengan bunga ringan dan prosedur pelayanan yang tidak berbelit-belit.

Tidak itu saja, di tingkat kebijakan, sebagai salah satu fungsi yang melekat sebagai anggota DPR, anggota Komisi VI ini dengan sungguh-sungguh menggalang kekuatan dengan anggota DPR lain yang mengerti kondisi masyarakat lapis bawah, untuk bersama-sama agar rancangan kebijakan pemerintah lebih berpihak pada rakyat miskin (pro poor). Baik kebijakan yang bersifat peraturan perundang-undangan (regulasi) maupun kebijakan yang bersifat alokasi anggaran. Sebagai contoh nyata, dalam situasi maraknya perusahaan raksasa retail modern (Carefour, Hypermart, dll) menyerbu pasar Indonesia hingga ke lapis bawah yang berpotensi besar mematikan pedagang pasar tradisional, pedagang warung kelontong dan pedagang kecil, Nusron dengan tegas meminta kepada pemerintah agar dilakukan pembatasan yang tegas terhadap ijin pendirian perusahaan retail modern.

Perjuangan yang tidak kalah pentingnya terkait dengan kelangsungan hidup petani adalah mengenai kelangkaan pupuk, benih dan bibit pada masa tanam, dan anjloknya harga jual gabah pada waktu panen. Di DPR, Nusron berjuang agar sistem distribusi pupuk dibenahi, perlunya pemerintah menyediakan benih secara gratis untuk petani, dan yang tergolong progresif adalah pengesahan UU No 9 tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang, yang memungkinkan petani mendapatkan dana pinjaman tanpa harus menjual hasil panennya dengan harga murah pada saat panen.

Khusus bagi masyarakat Kudus, perjuangan yang sangat penting adalah pada saat tarik ulur bagi hasil cukai tembakau dan rokok antara pemerintah pusat dengan daerah produsen rokok. Setelah melalui perjuangan panjang, alot dan melelahkan, akhirnya disepakati kenaikan bagi hasil bagi daerah produsen rokok sehingga daerah produsen mendapatkan bagi hasil sebesar 2 % untuk daerah produsen sesuai dengan UU No 39 tahun 2007 tentang cukai.

Di tingkat kebijakan anggaran, perjuangan berat dalam meyakinkan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran-anggaran yang lebih banyak untuk program yang terkait langsung dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, seperti peningkatan alokasi anggaran untuk kredit mikro, peningkatan anggaran pendidikan, termasuk untuk pendidikan agama, dan lain-lain.

Dengan pengalaman yang dimiliki, baik di organisasi kemasyarakatan maupun di lembaga wakil rakyat, termasuk jaringannya, maka akan banyak yang bisa diharapkan dari sosok Nusron Wahid. Kita akan lihat saja kiprahnya. Selamat mengabdi Bung! (s@if)

*) Dimuat di Majalah AULA Edisi Pebruari 2011